The Reason

By radivya

170K 13.5K 874

[FINISH] ----- "Seseorang yang berada di depan, akan tetap kalah dengan yang berada di belakang sana dan teta... More

First Reason
Second Reason
Third Reason
Fourth Reason
Fifth Reason
Sixth Reason
Seventh Reason
Eight Reason
Ninth Reason
Tenth Reason
Eleventh Reason
Twelfth Reason
Thirteenth Reason
Fourteenth Reason
Fifteenth Reason
Sixteenth Reason
Seventeenth Reason
Eighteenth Reason
Nineteenth Reason
Twenty Reason
Twenty First Reason
Twenty Two Reason
Twenty Third Reason
Twenty Fourth Reason
Twenty Fifth Reason
Twenty Sixth
Twenty Seventh
Twenty Eight
Twenty Ninth
Thirty
Thirty First
Thirty Two
Thirty Third
Thirty Fourth
Thirty Fifth
Thirty Sixth
Thirty Seventh
Thirty Eighth
Thirty Ninth
Forty
Forty First
Forty Third
Forty Fourth
Forty Fifth
Forty Sixth
Forty Seventh
Forty Eighth (The Last Reason)

Forty Two

1.8K 151 4
By radivya

Asrama terlihat sepi, pintu kamar yang lain masih tertutup rapat, hanya ada satu dua orang saja yang keluar dan berpapasan dengannya. Sepertinya pagi ini hanya dia yang sibuk. Satu minggu absen di saat UTS, membuatnya harus ujian susulan di saat yang lain menikmati masa liburan.

Sabiya bergegas ke kamar untuk mengambil tas. Setelah memotong mangga yang sudah dikupas tadi, dia memasukanya ke wadah bekal. Hari ini buah mangga dari Mbah Sarip menjadi andalan kalau nanti soal ujian bikin kepalanya mumet.

"Gak mau diantar, Sa?" tanya Ashila.

Perempuan itu sedang asik menonton drama korea, melanjutkan maraton film yang tertunda, katanya.

Sabiya menggeleng, dia memakai tas kemudian berjalan keluar. Sebelum benar-benar menutup pintu, dia ingat ada hal yang harus dikatakan.

"Jangan lupa makan, salat dan tilawahnya juga awas bablas. Oppa-mu itu gak bisa nolong kalau kamu mati kelaparan terus masuk neraka," ujarnya dan langsung pergi.

Sabiya bisa mendengar Ashila setengah berteriak bilang iya. Biar terdengar dan meyakinkan kalau dia akan melakukan perintahnya.

Belum selesai dia memakai sepatu, ponselnya berdering dan menunjukan nama kakaknya.

"Assalamualaikum, Mas. Ada apa?" tanyanya sambil mengikat tali sepatu.

Pendengarannya tetap fokus meski suara gerbang sempat menggangu. "Syukur deh kalau gitu, berarti untuk WO udah aman ya." Sabiya berjalan masih dengan ponsel menempel di telinga. Di seberang sana Rais sedang menjelaskan terkait temannya yang siap membantu pernikahan Sabiya.

"Udah dulu ya, Mas. Aku lagi mau ke kampus nih, ada ujian susulan. Doakan abi bisa mengerjakan soal-soalnya, dan gak keburu mumet lihat tulisan-tulisan Arabnya." Terdengar tawa dilanjutkan ucapan-ucapan motivasi. Setelahnya Sabiya mengucap salam dan memastikan sambungan telepon sudah terputus sebelum dia memasukam ponsel ke dalam tas.

Enaknya kasih kabar ke Daris juga kali ya, pikirnya.

Sabiya ingat kalau Daris sudah meminta kakaknya membuatkan grup untuk memfasilitasi mereka dalam berkomunikasi, itu artinya dia tidak boleh lagi mengirim pesan secara personal.

Sabiya: Untuk WO alhamdulillah sudah aman, dibantu Mas Rais.

Selesai. Sabiya memasukan ponsel dan bergegas menuju kampus.

▲▽▲

Suasana kampus cukup berbeda dari biasanya. Tidak terlalu banyak orang berlalu lalang seperti pada hari-hari jadwal kuliah, hanya ada beberapa yang mungkin datang untuk memperbaiki nilai atau sekadar wifi-an.

Tidak terasa sudah hampir memasuki masa akhir program pertukaran pelajar, ujian tengah semester akan berlalu. Sekitar dua atau tiga bulan lagi setelah ujian akhir selesai, maka selesai pula perkuliahannya di sini, kecuali jika dia tetap memilih program satu tahun.

Sabiya melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. Masih sekitar 30 menit lagi waktu janjiannya dengan pak Yayan selaku ketua jurusan. Sebelum menghubungi dosen-dosen yang bersangkutan, ia harus melapor dulu kepada ketua jurusan agar proses ujian susulannya tidak dipersulit.

Ponsel berdering membuatnya beranjak pergi ke tempat duduk di bawah pohon.

"Assalamualaikum, Mas. Ada apa?" Sabiya menyimpan tas di pangkuannya. "Oh iya, sebentar, tadi kumatiin karena lagi di jalan. Iya aku aktifkan lagi ini," ujarnya seraya menutup sambungan telepon setelah membalas ucapan salam.

Sabiya mengaktifkan data internetnya. Benar saja ada tiga panggilan masuk dari Rais, ditambah beberapa pesan di grup Persiapan Pernikahan.

Daris: Alhamdulillah. Makasih banyak, Mas.

Daris: Kalau untuk baju pengantin gimana ya Mas? Saya dan Sabiya masih di sini dan tentu gak memungkinkan ke Bandung untuk sekedar fitting baju.

Rais: Itu juga yang mau diomongin. Temanku udah nanya tuh katanya kapan mau fitting baju, terus mau pilih yang kayak gimana.

Daris: Perawakan saya gak beda jauh sama Mas Rais, sepertinya bisa diwakilkan oleh Mas saja, bagaimana?

Rais: Hmm.. bisa juga sih. Tapi yakin nih?

Daris: InsyaAllah, Mas. Kalau Sabiya bagaimana ya?

Rais: Gimana, Dek?

Rais: Dek?

Rais: Adekku, cintaku, kasihku.

Daris: Ehm. Mungkin Sabiya lagi gak pegang hp, Mas. Kita tunggu saja.

Sabiya tertawa. Apa-apaan kakaknya itu, bagaimana kalau Daris cemburu dengan panggilannya. Eh, cemburu? Rasanya geli. Bagaimana ya ekspresi Daris kalau sedang cemburu? Ah, Sabiya jadi terlalu membayangkannya. Astagfirullah, gak beres nih.

Sabiya: Aku juga baru ingat soal baju. Di keluarga gak ada yang sama persis perawakannya denganku ya, Mas?

Rais: Ibumu gimana, Dek?

Sabiya: Beda, Mas.

Daris: Coba nanti di sana barangkali ada pegawai yang hampir mirip-mirip perawakannya dengan Sabiya, Mas. Jadi bisa mengira-ngira.

Sabiya: Nah iya, setuju. Gitu aja Mas. Kalau untuk model bajunya nanti difotokan saja ya.

Rais: Kamu kapan ke Bandung lagi, Dek?

Sabiya: InsyaAllah dekat-dekat hari H, Mas. Biar gampang juga izinnya gak terlalu lama, gak enak kemarin sudah izin seminggu.

Sabiya menyimpan ponselnya dan beranjak pergi melihat waktu sekitar sepuluh menit lagi. Dia berjalan menuju ruangan ketua jurusan. Di sana Sabiya melihat beberapa orang teman sekelasnya. Setelah bertegur sapa, dia langsung masuk ketika dipanggil oleh pak Yayan.

"Assalamualaikum, Pak," ujarnya seraya duduk di kursi yang telah dipersilakan.

"Gimana keadaan ibunya, Nak? Sudah baikan?" tanyanya. Sosok di depannya ini sangat bijaksana, sorot matanya teduh, sikapnya begitu tenang.

"Alhamdulillah sudah lebih baik dari saat pertama kali saya menemuinya, Pak. Terima kasih banyak sudah mengizinkan saya untuk pulang." Sabiya tersenyum tulus, ketua jurusannya benar-benar baik, bahkan saat ini masih mau membantunya mengurusi ujian susulan.

"Syukur kalau begitu. Bagaimana sudah siap untuk melaksanakan ujian susulan? Bukan hanya satu lho, tapi kamu harus ujian susulan semua mata kuliah yang kamu ambil."

Sabiya mengangguk, paham ini sudah menjadi konsekuensinya. "InsyaAllah siap, Pak."

"Baik. Kalau begitu, kamu silakan langsung menghubungi dosen-dosen yang bersangkutan dan berikan surat keterangan ini. Setelah itu kamu bisa mengikuti ujian susulan sebagaimana mestinya," jelasnya seraya memberikan amplop putih. "Jangan lupa diperbanyak dulu sesuai kebutuhan, ya."

Sabiya mengangguk lagi dan mengambil amplop yang kemudian ia masukan ke dalam tas. "Sekali lagi terima kasih banyak, Pak."

Ketua jurusan itu mengangguk seraya mempersilakan Sabiya setelah pamitan.

Baru beranjak dari kursi, sebuah suara membuatnya kembali terdiam sebelum sampai di depan pintu.

"Benar nih gak ada acara lamaran? Tapi kok sampai jatah seminggu bablas dihabiskan," ucapnya dibarengi tawa.

Sabiya tertegun. Ketua jurusannya ini ada-ada saja, tapi memang ini kesalahannya. Seharusnya Sabiya segera kembali setelah kondidi Ibu lebih baik, setidaknya dia cukup menghabiskan waktu tiga hari. Namun, itu berlaku kalau kejadian bersama Daris itu tidak terjadi, sehingga harus membuatnya tinggal lebih lama.

Sabiya hanya bisa menunjukkan deretan giginya, malu-malu dia menjawab, "Bonus tidak terduga, Pak."

Bapak itu mengangguk seraya menyunggingkan senyuman terbaik, "MasyaAllah, baarakallah, Nak. Semoga diberi keberkahan dalam setiap prosesnya."

Sabiya mengangguk, dan langsung pamit keluar ruangan. Hatinya benar-benar tersentuh, bapak ketua jurusan sangat baik.

Semangat. Kata itu yang kini muncul dalam kepalanya, seolah menguatkan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan akan bisa ia lalui. Waktunya koan berlalu. Satu bulan itu bukan waktu yang cukup untuk mempersiapkan sebuah pernikahan, menurutnya. Entahlah, Sabiya terlalu mengambil pusing, kenyataannya banyak orang yang membantu dan mendoakannya.

Satu per satu. Iya. Dia hanya perlu menyelesaikan satu per satu urusan yang masih ada, agar isi kepalanya tidak terlalu penuh. Untuk beberapa hari ini dia akan fokus pada ujian susulannya terlebih dahulu. Setelah itu baru dia fokus pada pernikahannya.

Sungguh, pernikahan adalah sebuah impian yang pernah ia harapkan. Namun, satu hal yang tidak pernah terduga. Ternyata seseorang yang diharapkannya benar-benar datang, di saat dia sudah mencoba ikhlas menerima kalau nantinya takdir tidak mempersatukan mereka.

Continue Reading

You'll Also Like

209K 11.7K 30
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...
948K 29.3K 58
Kesalahan karena kabur dari Mesir saat pendidikan membuat seorang gadis terpaksa dimasukkan ke sebuah pesantren ternama di kota. namun karena hadirny...
464K 57.1K 16
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...
6.1M 424K 57
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...