The Reason

Von radivya

170K 13.5K 874

[FINISH] ----- "Seseorang yang berada di depan, akan tetap kalah dengan yang berada di belakang sana dan teta... Mehr

First Reason
Second Reason
Third Reason
Fourth Reason
Fifth Reason
Sixth Reason
Seventh Reason
Eight Reason
Ninth Reason
Tenth Reason
Eleventh Reason
Twelfth Reason
Thirteenth Reason
Fourteenth Reason
Fifteenth Reason
Sixteenth Reason
Seventeenth Reason
Eighteenth Reason
Nineteenth Reason
Twenty Reason
Twenty First Reason
Twenty Two Reason
Twenty Third Reason
Twenty Fourth Reason
Twenty Fifth Reason
Twenty Sixth
Twenty Seventh
Twenty Eight
Twenty Ninth
Thirty
Thirty First
Thirty Two
Thirty Third
Thirty Fourth
Thirty Fifth
Thirty Sixth
Thirty Seventh
Thirty Ninth
Forty
Forty First
Forty Two
Forty Third
Forty Fourth
Forty Fifth
Forty Sixth
Forty Seventh
Forty Eighth (The Last Reason)

Thirty Eighth

1.9K 216 29
Von radivya

Waktu terlalu cepat berlalu, rasanya baru kemarin Daris datang menemui orang tuanya, sedangkan dia meminta waktu untuk memantapkan diri sebelum memberikan jawaban. Dua malam terakhir Sabiya terus meminta Allah memantapkan hatinya jika memang ini jalan terbaik. Keputusan yang diambil tak lepas dari saran kedua orang tua serta bude dan pakdenya. Ah, satu orang terakhir yang paling banyak berperan aktif mendorongnya untuk memilih jawaban, siapa lagi kalau bukan Rais. Katanya sang kakak sudah mendapat alasan yang cukup selama mengantarkan calon adik ipar ke rumah temannya.

"Terima, Dek. Pokoknya harus, demen nih Mas sama orang macam dia," katanya disela-sela diskusi malam kemarin dengan keluarga.

Entah apa saja yang sudah mereka obrolkan sampai-sampai Rais ngotot membujuk Sabiya untuk menerima laki-laki itu. Padahal sebelumnya Rais yang seringkali mengkhawatirkan dirinya dan menyuruhnya untuk berhati-hati.

Seperti ucapannya pada Daris, bahwa dia meminta waktu dua hari untuk memikirkan semuanya. Setelah seluruh keluarga sepakat dengan jawaban Sabiya, Rais langsung menghubungi Daris untuk mengundangnya makan malam hari ini.

Siang ini Sabiya ditemani Rais berbelanja beberapa kebutuhan yang diperlukan untuk nanti malam. Sabiya membaca sebuah catatan dari bude berisi bahan-bahan masakan yang harus mereka beli.

"Lumayan banyak," celetuknya.

"Apa?" tanya Rais.

Sabiya menunjukan catatan itu kepada orang di sampingnya.

Jalanan hari ini cukup padat, mobil yang ditumpanginya masih tetap bertahan di posisi, hanya berpindah sesekali.

Rais bilang nanti malam Daris akan datang bersama orang tuanya yang menyusul ke Bandung beberapa saat lalu. Begitu mendapat kabar dari Rais, dia langsung menghubungi orang tuanya. Sabiya terus mendengarkan cerita Rais saat dia menghubungi laki-laki itu. Sampai saat ini dia masih tidak percaya kalau jalannya bersama Daris seolah semakin terbuka.

"Mas, aku takut," ucapnya tiba-tiba.

Rais menatap dirinya dan bertanya kenapa. Namun, Sabiya malah diam. Dia menatap kosong ke samping kaca mobil. Entah kenapa perasaan ragu justru muncul setelah dia melontarkan jawaban pada Daris. Padahal sejak awal kepastian inilah yang ia tunggu-tunggu.

"Kenapa, Dek? Kamu nyesel udah bilang iya?"

Sabiya melihat tatapan mata penuh keseriusan. Rais tidak bercanda, benar-benar ingin tahu apa yang dirasakannya. Tapi Sabiya sendiri tidak yakin dengan apa yang dirasakan, masa iya dia menyesal karena telah menerima seseorang yang selama ini dia  tunggu.

"Apa ini namanya ujian sebelum nikah ya, Mas? Ya kayak cerita teman-temanku yang katanya mendadak mereka jadi ragu setelah dikhitbah," ujarnya.

Sabiya menangkap notifikasi masuk di layar ponselnya, nama Daris tertera di sana dengan satu pesan bahwa orang tuanya sudah sampai. Kata-kata itu memicu gemuruh di dada, tiba-tiba saja Sabiya teringat bagaimana penantiannya selama ini, juga bagaimana perjuangan Daris yang mungkin saja tidak ia ketahui.

"Eh gak jadi deh, Mas. Aku gak ragu, aku yakin, insyaAllah dia yang terbaik dari Allah."

Rais menggeleng disertai decakan, "Labil banget sih yang mau nikah, abis dapat pesan aja bisa langsung yakin begitu." Dia mengusap kepala Sabiya seraya berkata, "Bagus deh kalau udah yakin, pertahankan ya, jangan sampai bisikan setan itu mempengaruhimu," ujarnya.

Rais tertawa mengingat kata-katanya tadi, wajah adiknya kini sudah mulai tenang tidak terlihat gelisah seperti sebelumnya.

"Mas gak apa-apa nih?" tanya Sabiya.

"Apanya?"

"Yaa... aku ngelangkahi Mas lho ini nikahnya, Mas baik-baik aja 'kan?"

Rais menatap lawan bicaranya, "Sebenarnya sih Mas kecewa banget kamu tega-teganya melangkahi Mas, tapi ya karena Mas baik hati jadi santai aja."

"Apa sih Mas ini, ya udah deh aku undur aja nikahnya."

Rais terbahak, dia tidak menyangka Sabiya akan bereaksi sampai sebegitunya.

"Ngaco kamu ini, pernikahan udah mau di depan mata kok diundur. Mas bercanda tau, habisnya kamu nanya begitu seolah ngejek Mas."

Sabiya terdiam, dia mungkin hanya merasa sedikit takut dengan kenyataan yang harus dihadapinnya saat ini. Pada akhirnya setiap langkah yang dia ambil selalu memiliki konsekuensinya sendiri. Sekarang dia harus menghadapi perasaan tidak enak pada Rais, dia juga merasa kehilangan karena sadar nantinya tidak bisa terus ditemani kakaknya itu setiap saat. Bagi Sabiya, Rais adalah pelindungnya dari berbagai hal, sejak kecil jika ada yang mengganggunya Rais adalah orang pertama yang akan datang untuk menceramahi orang itu.

"Mas, terima kasih ya, terima kasih untuk semuanya. Aku sayang, Mas," ucapnya.

"Apa sih, mendadak melow gini."

Meski Rais berkata seperti itu, Sabiya tahu bahwa kakaknya merasakan hal yang sama. Rasa kehilangan itu pasti ada. Namun, apapun yang terjadi, Rais tetaplah kakaknya.

🍀

Selepas Magrib perasaan gelisah itu semakin jelas. Degub jantungnya semakin tak karuan ketika mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Bapak dan Pakde sudah keluar untuk menjemput para tamu. Sedangkan Sabiya masih enggan beranjak dari kamar tidurnya, meskipun sedari tadi ibunya sudah terus membujuk.

"Tuh, mereka sudah datang, Bi," ujar ibunya.

Sabiya mengatur nafasnya. "Deg-degan, Bu," ujarnya.

Ibu mengusap punggungnya, memeluknya singkat seraya berkata, "Dia sudah memberanikan dirinya, Nak. Ayo sekarang temui dia."

Tangannya dingin gemetar, rasanya belum siap untuk bertemu dengan orang itu lagi. Tapi setelah istikharah dan melihat respon keluarganya, Sabiya siap meyakinkan diri bahwa ini skenario terbaik dari Allah.

Sabiya menuju ruang tamu ditemani ibunya. Sesaat dia melihat ruangan itu sudah penuh, ada pakde dan bapaknya, Rais juga bude. Di hadapan keluarganya ada Daris yang duduk di samping ayah dan ibunya, juga Nizar yang masih setia menemaninya.

Dalam beberapa saat, semua pasang mata tertuju pada Sabiya, seolah dia menjadi pusat perhatian. Sabiya tersenyum canggung. Tatapannya bertemu dengan perempuan yang duduk di samping Daris, ia tersenyum hangat.

"Nah, ini yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga," ujar Rais.

Sabiya duduk di samping Bapak, ditemani Ibu yang duduk di sampingnya. Dia memperkenalkan diri kepada keluarga Daris. Rasanya benar-benar tidak karuan, dia sangat berdebar.

"Sebelum melanjutkan pembicaraan, kita siap-siap dulu untuk salat Isya. Bapak ingin Daris menjadi imam salat kali ini," ujar Bapak.

Wow. Seorang Bapak meminta Daris untuk menjadi imam salat, apa ini bagian dari ujian calon mantu. Sabiya hampir kelepasan tertawa memikirkannya.

Setelah ucapan Bapak tadi, semua segera bersiap untuk melaksanakan salat isya kecuali Sabiya dan ibu Daris yang kebetulan sama-sama sedang halangan. Meski begitu, dia memilih menunggu di saf terakhir bukan di ruang tamu, alasannya karena ingin mendengarkan bacaan Daris.

"Daris sayang sekali sama kamu, Nduk," ujar ibunya Daris.

Sabiya menatap perempuan di sampingnya, "Uhm, apa benar, Bu?" tanyanya yang masih ragu.

Terlihat anggukan yang mengiyakan. "Nanti kamu juga tau," ucapnya disertai senyuman.

Sabiya hanya tersenyum tanpa membalas apa-apa lagi. Dia sedang menikmati lantunan surah ar-Rahman yang dibacakan Daris, sesekali dia mendengar suaranya seperti orang menangis, membuat Sabiya tanpa sadar menitikan air matanya.

Setelah ini, mungkin akan ada perbincangan cukup panjang. Sabiya harus bersiap mendengar pernyataan dan memberikan jawabannya.

🍀

Daris terlihat gugup, dia membenarkan posisi duduknya. Meninum air di gelas yang ada di depannya.

Sebelumnya terlihat sang ayah akan berbicara lebih dulu, dan ternyata benar saja.

"Kami datang ke sini bermaksud meminang putri ibu dan bapak untuk anak kami Daris," ucapnya. "Selebihnya biar Daris sendiri yang menyampaikan lebih jelas lagi."

Suasana mulai serius, setelah sebelumnya acara makan-makan selepas salat Isya. Hening mulai terasa, beberapa saat terdengar dehaman dari seseorang.

"Bismillah. Seperti yang dibilang Papa, saya bermaksud untuk meminang putri Bapak dan Ibu. Sudah cukup lama saya mengenal Sabiya, meski baru-baru ini saya melihatnya secara langsung. Sebelumnya saya sudah ceritakan bagaimana saya bisa mengenal Biya. Sejatinya Allah-lah yang Maha membolak-balikkan hati, meski cukup lama kami belum bertatap muka secara langsung, ternyata diam-diam masih saling menunggu dan memperjuangkan. Selama ini saya belum berani mengambil langkah karena merasa masih belum pantas untuk menjemput dan meminta Biya menjadi istri saya. Namun, sekarang saya bersama keluarga bermaksud baik untuk mengajak Sabiya membangun hubungan lebih baik yang diridhai Allah. Bagaimana menurut Bapak dan Ibu?" ujarnya panjang lebar dan diakhiri dengan pertanyaan.

Oh, sesuai dugaan, Ibu dan Bapak menyerahkan keputusannya pada Sabiya. Tentu saja dia sudah menyiapkan momen ini. Namun, tiba-tiba lidahnya kelu untuk sekedar mengucapkan sepatah kata.

"Gimana, Bi?" tanya Bapak.

"Uhm, i-iya, Biya mau."

Duh, Sabiya menahan rasa malu. Kenapa hanya itu yang keluar dari mulutnya, padahal sejak tadi dia sudah merangkai kata.

Rais tertawa, diikuti yang lainnya. Suasana tegang perlahan mulai mencair dan santai, kali ini diisi dengan obrolan-obrolan ringan seputar kedua keluarga. Selain itu, mereka mulai menentukan langkah selanjutnya, termasuk tanggal pernikahan.

Sabiya terlalu bahagia, dia masih tidak percaya sekarang semua hal ini terjadi padanya. Dulu dia hanya bisa membayangkan tanpa tau kapan waktunya. Namun, malam ini Daris telah membuktikan padanya bahwa penantiannya selama ini tidaklah sia-sia.

Malam ini, di tengah dua keluarga yang sedang berbahagia, tatap mereka bertemu dan saling melempar senyum. Seolah keduanya berkata, akhirnya Allah benar-benar berikan jalan terbaik.

Sedikit lagi. Ayo kita berjuang lagi.

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

614K 26.5K 45
Cerita ini murni dari pikiran dan imajinasi ku Plagiat dilarang mencuri karya !!! Cinta pada pandangan pertama itu memang nyata, seperti yang terja...
118K 9.4K 38
"Yayah! Mau kan jadi Yayah benelannya Aila?" tanya Aira dengan begitu gemas. Fadhil tersenyum lembut sambil mengusap puncak kepala gadis kecil di gen...
ALIF Von Ismaawtn

Spirituelles

6.1M 424K 57
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
232K 14K 42
FOLLOW TERLEBIH DAHULU!! SEBELUM BACA! 📌 Dilarang untuk plagiat karena sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat. kisah ini menceritakan...