The Reason

By radivya

170K 13.5K 874

[FINISH] ----- "Seseorang yang berada di depan, akan tetap kalah dengan yang berada di belakang sana dan teta... More

First Reason
Second Reason
Third Reason
Fourth Reason
Fifth Reason
Sixth Reason
Seventh Reason
Eight Reason
Ninth Reason
Tenth Reason
Eleventh Reason
Twelfth Reason
Thirteenth Reason
Fourteenth Reason
Fifteenth Reason
Sixteenth Reason
Eighteenth Reason
Nineteenth Reason
Twenty Reason
Twenty First Reason
Twenty Two Reason
Twenty Third Reason
Twenty Fourth Reason
Twenty Fifth Reason
Twenty Sixth
Twenty Seventh
Twenty Eight
Twenty Ninth
Thirty
Thirty First
Thirty Two
Thirty Third
Thirty Fourth
Thirty Fifth
Thirty Sixth
Thirty Seventh
Thirty Eighth
Thirty Ninth
Forty
Forty First
Forty Two
Forty Third
Forty Fourth
Forty Fifth
Forty Sixth
Forty Seventh
Forty Eighth (The Last Reason)

Seventeenth Reason

3.1K 293 12
By radivya

Gadis itu menunduk. Balutan mukena menghangatkan tubuhnya, seiring cairan hangat yang melewati pipinya. Dia mengusapnya berkali-kali, tetap saja air mata keluar. Tangisnya tak bersuara, cukup untuk menyesakkan dada. Membuat kerongkongannya tercekat.

"Bi, buka pintunya dong."

Suara yang sama diiringi dengan ketukan pintu, berkali-kali tak mendapat jawaban.

Sabiya masih tertunduk. Keningnya bertumpu pada pinggiran ranjang. Jari-jari tangannya bergetar, pikirannya saling beradu argumen. Hati masih merasakan perihnya luka, melebihi luka yang pernah membekas di kakinya. Dia saja merasa terpukul, bagaimana dengan Daris di sana. Memikirkannya membuat Sabiya semakin terpukul. Daris tidak mengangkat teleponnya sedari tadi, hal itu menambah kegelisahannya.

"Bi, buka dulu pintunya. Mas mau ngomong."

Suara Rais masih terdengar di depan pintu. Pun ketukan yang tidak berirama.

Di luar sana Rais terlihat kelabakan, dia mondar-mandir tak tentu arah. Sabiya mengunci diri di kamar. Bude juga masih belum pulang, membuat Rais semakin kebingungan. Dia menatap ponsel di tangan, tanpa berpikir panjang, dia segera menekan tombol hijau pada salah satu nomor tanpa nama.

"Angkat, angkat. Duh, buruan angkat," ujarnya. Kaki jenjangnya masih saja mondar-mandir tak menentu.

"Ah. Assalamualaikum. Ris? Daris?" panggilnya setelah mendapat jawaban dari pemilik nomor.

"Alhamdulillah, akhirnya diangkat juga. Ris ini Rais, kakaknya Sabiya yang tadi nelepon," jelasnya. Rais mendengar jawaban dengan saksama, pikirannya masih gelisah tentang Sabiya.

Terdengar Daris mengiyakan, menandakan bahwa dia ingat. Meskipun keadaannya sedang tidak baik, Rais tidak punya pilihan lain. Dalam pikirannya, Daris bisa membujuk Sabiya untuk berhenti menangis dan mengurung diri.

"Dari tadi kamu gak angkat telepon adik saya. Kenapa?"

Rais mendengarkan penjelasan Daris. Katanya dia tidak mau membuat Sabiya khawatir, apalagi saat ini keadaannya begitu buruk. Kehilangan Aisha menbuat Daris tidak bisa mengontrol emosinya, dia takut menangis saat berbicara dengan Sabiya. Atau, yang paling ditakutkan kalau dia tiba-tiba melampiaskan emosinya.

"Tapi, sekarang Sabiya ngurung diri. Pintu kamarnya dikunci, nangis gak berhenti-berhenti. Tolong dong, gitu-gitu juga dia adik saya, meskipun nyebelin."

Rais bersikeras meminta Daris untuk membujuk Sabiya. Tanpa dia tahu laki-laki di sana merasa lemah, tak berguna. Aisha pergi meninggalkannya, dan kini gadis yang dikaguminya terbebani karena dirinya.

"Maaf kalau kesannya saya memaksa. Tapi, sekarang Sabiya butuh kamu. Setidaknya kabar dari kamu, sebentar saja," tuturnya penuh permohonan.

Terdengar helaan napas panjang, sebuah kata 'Iya' meluncur dari mulutnya.

"Thanks ya, Bro. Kalau kamu mau sama Sabiya, saya dukung," ucapnya. Hal itu berhasil membuat Daris terbatuk-batuk, sedang Rais terbahak mendengarnya.

Rais menanti di depan pintu kamar. Masih menunggu Sabiya membuka kuncinya, agar dia bisa masuk dan menenangkan gadis itu. Sabiya itu ya, giliran masalah laki-laki dia tidak pernah cerita. Tahu-tahu sudah begini, sampai harus ada kejadian buruk baru terbongkar ada seseorang yang dekat dengannya.

Rais menajamkan pendengarannya ketika ada suara obrolan dari dalam kamar Sabiya. Dia menempelkan telinganya pada celah pintu.

Terdengar isak tangis yang mulai mereda, setelah amarah yang keluar begitu saja. Terakhir, Rais mendengar permintaan maaf yang teramat panjang dari gadis itu. Setelahnya, suara-suara obrolan itu menghilang. Rais yakin pendengarannya tidak terganggu, dia lebih mendekatkan lagi untuk memastikan.

Tiba-tiba, tubuhnya terdorong masuk ketika pintu dibuka, Sabiya menatap Rais dengan penuh tanya.

"Mas ngapain di sini? Dari tadi nguping, ya?" tuduhnya tepat sasaran.

Matanya menyipit, seiring dengan cengiran yang membuat lesung pipitnya semakin terlihat. Rais berdiri dari posisi jatuhnya yang tidak keren. Apalagi tertangkap basah sedang menguping pembicaraan adiknya sendiri.

"Gimana? Sudah baikkan, 'kan?" tanya Rais, melihat Sabiya sudah cukup tenang dibanding tadi.

"Tahu, ah."

Sabiya meninggalkan Rais yang masih bersandar pada dinding. Gadis itu berjalan menuju kamar mandi, tentu saja Rais yang mengikutinya sontak berhenti, tepat di depan pintu berwarna merah muda.

"Ngapain ikut-ikut, pergi sana," ucap Sabiya sebelum menutup pintu.

Rais memutuskan untuk menunggunya di ruang tengah. Penasaran dengan akun media sosial Daris, dia mencoba mencari di instagram. Sayangnya, dia tak menemukannya. Mencari di instagram Sabiya, juga tidak ada. Dia jadi benar-benar tertarik untuk mengulik kisah di antara Sabiya dan laki-laki yang belum pernah ditemuinya.

Baru kali ini Sabiya terlihat kacau bukan karena tugas kuliah, atau masalah dengan organisasinya. Seorang laki-laki asing telah mengubahnya, Sabiya terlihat begitu mengkhawatirkannya. Bahkan terlalu peduli, sampai-sampai berakibat pada diri sendiri.

Rais mengalihkan pandangannya ketika mendengar langkah kaki mendekat. Sabiya terlihat lebih segar, meskipun tetap saja wajahnya terlihat kusut.

"Mau jalan-jalan?" tawarnya saat Sabiya duduk.

Gadis itu menggeleng. "Gimana bisa aku jalan-jalan, senang-senang di sini. Di sana Daris lagi berduka, Mas."

Rais bungkam. Sabiya benar-benar bukan adik yang dikenalnya. Dia bukan lagi gadis rusuh dan cerewet ketika diganggu, dan bersemangat ketika di ajak jalan keluar. Rais tak habis pikir, bagaimana Sabiya bisa merasa begitu empati pada Daris yang bepum pernah ditemuinya.

"Bi, kenapa kamu segitu pedulinya sama cowok itu, sih? Dia siapa? Pacar?"

Akhirnya Rais mulai terpancing untuk mengorek kisah mereka. Dia sudah tidak tahan lagi melihat Sabiya seperti orang yang kehilangan jati dirinya. Rais tidak bisa melihat adiknya yang bagai matahari itu terbenam.

Sabiya terbelalak, kenapa Rais menanyakan hal seperti itu. Di saat kondisinya sedang terlalu buruk untuk menjelaskan.

"Aku gak punya pacar!" sanggahnya. Sabiya tidak mau ada kesalahpahaman, tapi untuk saat ini dia tidak mau menjelaskan.

"Terus cowok itu siapa? Kenapa kamu sampai segitunya peduli sama dia?"

Rais membolak-balikkan pertanyaan awalnya, benar-benar tidak kreatif. Kalau saja dalam keadaan normal, Sabiya akan terbahak dan mengulang pertanyaan-pertanyaan Rais yang selalu saja sama. Hal itu dilakukan untuk mengejek kakaknya. Sayangnya, Sabiya tidak bisa melakukan hal itu saat ini.

"Dia ... teman. Cuma teman," ucap Sabiya pada akhirnya. Kepalanya tertunduk, jari-jari tangannya saling bertautan.

Rais mengembuskan napas, menggeleng tak percaya mendapati kenyataan bahwa seorang teman laki-laki bisa membuat Sabiya jadi sedemikian rupa. Apa ini yang namanya teman terbentur cinta?

"Teman dari mana?" Rais melanjutkan investigasinya.

"Satu grup chat."

Ah. Rais lagi-lagi menggeleng, ini yang namanya grup chat membawa rasa. Rais pernah membaca postingan di salah satu akun media sosialnya, tentang bahaya grup chat yang bercampur. Bisa jadi ada yang modus, tiba-tiba personal chat, kemudian berlanjut sampai tingkat baper-baperan, dan akhirnya tersisa dua pilihan, tetap bertahan atau menghilang karena kesadaran. Hal seperti ini terjadi juga pada Sabiya? Rais benar-benar tak habis pikir.

"Dek," panggilnya.

Sabiya menoleh, mendapati keseriusan yang ditunjukkan sang kakak. Rais terlihat menghirup napas panjang, sebelum mengembuskannya perlahan.

"Mas gak tahu pernyataan ini benar atau salah. Bukannya kamu gak seharusnya bersikap seperti ini?"

Tatapan mereka bertemu, Sabiya menatap penuh tanya. Tak mengerti apa yang Rais bicarakan. Lagi-lagi Rais mengembuskan napasnya perlahan. Dia sadar dirinya belum mempunyai dalil yang kuat, jadi menyesal tidak ikut lembaga dakwah yang bisa membantunya. Saat ini Rais rindu ocehan ceramah dari adiknya, yang selalu menjadi pengingat bagi dirinya. Seharusnya juga, saat ini Rais bisa memberikan penjelasan dengan penuh keyakinan, disertai argumen-argumen yang kuat. Rasanya ilmu agama yang dia miliki belum terlalu mumpuni untuk menasehati.

Satu pesan masuk membuatnya berpaling. Rais melihat nomor yang dia beri nama Daris tertera di layar ponselnya.

From: Daris
Lakukan apa yang Mas bisa. Tak usah terbentur ilmu. Sampaikan saja apa yang Mas Rais ketahui.

Giliran Rais yang terbelalak, bagaimana lagi-laki itu bisa tahu. Itu tidak penting, sekarang yang terpenting menyampaikan kepada Sabiya tentang kesalahannya.

"Mas, mau ngomong apa tadi?" tanya Sabiya, melihat Rais belum juga melanjutkan ucapannya.

"Iya, kamu gak seharusnya bersikap kayak gini, Dek. Apa Allah suka?"

Kalimat itu sukses membuat Sabiya termenung. Rais benar, dia tak seharusnya seperti ini, Allah sudah mengatur semuanya. Dia-lah yang sudah membuat rencana dengan begitu sempurna. Apa yang sudah Sabiya lakukan, apa dia melupakan kekuasan Tuhannya? Teriring doa bukankah sudah cukup, mungkin hanya itu yang Aisha butuhkan, bukan sekadar tangis yang meledak-ledak.

"Dia bukan siapa-siapa. Tunggu dia jadi mahram kamu, biar menangis tak sia-sia," ujar Rais.

Tiba-tiba saja hatinya menghangat, Sabiya mengangguk perlahan. Apa yang dikatakan Rais benar, dia tidak seharusnya menangis karena seseorang yang belum tentu menjadi qawwam-nya kelak.

Selalu saja, tanpa sadar hati kita menyalahi dan menyalahkan kehendak-Nya.

Continue Reading

You'll Also Like

36.3K 3.1K 27
Lagi asik-asiknya panen mangga eh malah denger lelaki ngucap akad pakai namanya??? HAH! KOK BISA? .... ⚠️ FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ ... Di keluarga...
857K 78.1K 30
Menikah dengan seseorang yang pernah kamu cintai dalam diam saat hatimu sedang dirundung kecewa? Bukankah itu indah? Begitulah harapan Keisya saat me...
Hakim By ul

Spiritual

1.2M 72.7K 53
[Revisi] Kalian percaya cinta pada pandangan pertama? Hakim tidak, awalnya tidak. Bahkan saat hatinya berdesir melihat gadis berisik yang duduk satu...
4.6M 282K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...