The Reason

By radivya

170K 13.5K 874

[FINISH] ----- "Seseorang yang berada di depan, akan tetap kalah dengan yang berada di belakang sana dan teta... More

First Reason
Second Reason
Third Reason
Fourth Reason
Fifth Reason
Sixth Reason
Seventh Reason
Eight Reason
Ninth Reason
Tenth Reason
Eleventh Reason
Twelfth Reason
Thirteenth Reason
Fourteenth Reason
Fifteenth Reason
Sixteenth Reason
Seventeenth Reason
Eighteenth Reason
Nineteenth Reason
Twenty Reason
Twenty First Reason
Twenty Two Reason
Twenty Third Reason
Twenty Fourth Reason
Twenty Fifth Reason
Twenty Sixth
Twenty Seventh
Twenty Eight
Twenty Ninth
Thirty
Thirty First
Thirty Third
Thirty Fourth
Thirty Fifth
Thirty Sixth
Thirty Seventh
Thirty Eighth
Thirty Ninth
Forty
Forty First
Forty Two
Forty Third
Forty Fourth
Forty Fifth
Forty Sixth
Forty Seventh
Forty Eighth (The Last Reason)

Thirty Two

2.2K 245 38
By radivya

Aroma khas menyapa indra penciuman. Sudah lama dia tidak menginjakkan kaki di gedung dengan dominan cat warna putih. Koridor rumah sakit masih terlihat seperti sebuah lorong seram yang sering ia lihat di film-film horor. Beberapa pengunjung terlihat duduk di ruang tunggu, dengan ekspresi wajah yang beragam. Tak jarang ia menemui anak-anak berlarian diikuti orang dewasa yang mengejarnya.

Sabiya melihat sekeliling, ditemani Rais yang berjalan di samping kanan. Mereka sampai dikira pasangan oleh perawat yang mengantar ke ruang rawat ibunya. Selama itu juga dia menjelaskan tentang hubungannya dengn Rais. Hal itu membuat Sabiya mencetuskan sebuah ide, agar kakaknya itu cepat-cepat mencari tulang rusuk. Atau mungkin dia yang harus cepat-cepat ditemukan oleh tulang punggungnya?

Perempuan itu menggeleng. Lagi-lagi selintas bayangan seorang lelaki melewati alam pikiran. Masih dengan bayangan orang yang sama, sama sekali tak berubah.

"Kenapa, Dek?"

"Gak kenapa-kenapa," jawabnya seraya tetap melanjutkan langkah.

Mereka mengikuti seorang perawat yang berjalan santai di depan, dengan pakaian serba putih dan topi seperti perahu terbalik di atas kepala. Tangannya memegang sebuah papan berisi lembaran kertas data. Apakah akan jadi seperti itu jika dulu Sabiya memilih kuliah di jurusan keperawatan? Memikirkannya saja dia tidak mau.

Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu bertuliskan Ruang Melati. Sebelum meninggalkan mereka, perawat mengatakan kondisi ibu Sabiya sudah semakin baik dibandingkan hari-hari sebelumnya.

Perlahan Sabiya menyentuh gagang pintu. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan, hingga terdengar decitan pintu. Di sana terlihat Ibu sedang duduk di atas ranjang, Bapak yang berada di kursi sampingnya, keduanya tengah mengobrol. Dan adiknya yang sedang bermain di lantai. Kegiatan mereka terhenti ketika Sabiya mengucapkan salam. Seluruh pandangan tertuju padanya, binar bahagia yang terpancar membuat air mata tak terasa luruh begitu saja.

"Ibu, Bapak," ucapnya seraya memeluk keduanya bergantian.

Jarak dan waktu membuat rindu semakin terasa. Intensitas bertemu yang tidak lagi sesering dulu, tentu membuat momen ini menjadi lebih istimewa.

Sabiya duduk di dekat kedua orang tuanya, menanyakan kondisi Ibu. Setelahnya mereka bertukar cerita. Sabiya terus menerus memberitahu tentang keadaannya selama di Malang. Menceritakan bagaimana rutinitas kuliah dan kegiatan bersama teman-teman baru.

Hari ini senyuman di bibir seolah tak henti mengembang. Bahagia itu terus terasa, sebab bisa berkumpul lagi bersama keluarganya. Jadi begini rasanya jauh dari orang tua, ketika bertemu ada rindu yang terlampiaskan.

"Is, ngapain diam disitu?" tanya Bapak.

Sabiya menoleh ke belakang, ternyata Rais masih berdiri di depan pintu. Dia tertawa, kemudian berjalan menghampiri.

"Habisnya gak mau ganggu nih," ujarnya seraya duduk setelah menyalami kedua orang tua Sabiya.

"Ibu sehat, Is?" tanya Ibu.

Rais mengangguk. "Sehat, Bulik. Tapi sering ngeluh karena Sabiya gak ada. Katanya gak ada teman bergosip."

Terdengar tawa, namun Sabiya merengut ketika mendengar itu. Sejak kapan dia senang menggosip, lagipula itu hanya sekadar bercerita dengan Budenya. Rais terlalu berlebihan. Akhirnya mereka menghabiskan waktu untuk saling bercengkrama dan berbagi kisah. Sudah lama suasana seperti ini tidak Sabiya rasakan.

*

Laki-laki itu terlihat gelisah sejak berdiri di depan sebuah bangunan. Dia sudah berada di sana sejak satu jam yang lalu, mengamati setiap perempuan yang berjalan melewatinya, berharap dapat menemukan sosok yang dicari.

Setelah melakukan konsultasi dengan ustaz Syamil, Yassar semakin memantapkan niatnya untuk taaruf dengan perempuan pilihannya. Semua dukungan dan saran dari guru spiritualnya itu menambah keyakinan dan keberaniannya untuk mencoba selangkah lebih dekat.

Harap-harap cemas dia masih menunggu, meski tidak bisa dipungkiri rasa lelah mulai menyapa. Yassar sudah mengirim pesan pada Sabiya sejak kemarin malam, namun tak kunjung mendapat balasan. Dia juga tidak memiliki kontak teman perempuan itu. Saat ini hanya doa yang terus ia lantunkan, semoga Allah memudahkan jalannya.

Waktu terus berlalu, sudah hampir dua jam dia masih berdiri dan tak kunjung bertemu dengan orang yang dimaksud. Yassar hampir putus asa dan memilih untuk kembali ke rumah. Mungkin Sabiya memang sudah melupakan dirinya. Jelas saja, hanya seseorang yang kenal lewat dunia maya tanpa tahu rupanya, bagaimana mungkin perempuan itu masih menunggu setelah setahun berlalu tanpa kabar.

Mau bagaimana lagi, terus menunggu di depan gedung ini pun belum tentu mendapatkan hasil yang dia harapkan. Daripada terus menunggu, lebih baik dia kembali ke rumah dan menenangkan pikiran sejenak.

"Lho, Yassar?"

Dia berbalik, tatapannya bertemu dengan sosok perempuan yang kelihatannya terkejut akan kehadiran dirinya. Yassar hendak menyapa, namun dia lupa nama perempuan di hadapannya.

"Ashila. Kamu ngapain di sini?" tanyanya.

Yassar terlihat ragu, dia menggaruk kepala. "Uhm, anu... Sabiya mana ya?"

"Sabiya? Dia lagi pulang ke Bandung," ujarnya.

Matanya membulat, dia tidak tahu hal seperti ini akan terjadi. Kenapa? Katanya dia satu tahun di sini, lagipula musim ujian belum dimulai, kenapa dia sudah pulang?

"Pulang? Kenapa? Bukannya dia juga lagi kuliah di sini?"

Ashila mengangguk. "Benar. Tapi kemarin dia pulang dulu, katanya sih mau ada yang melamar," ucapnya seraya tersenyum jahil.

Degub jantungnya tidak lagi seirama, terlalu kaget, terlalu cepat, ada apa ini sebernarnya. Apa dia sudah kalah? Yassar tidak tahu lagi harus bagaimana. Saat ini lututnya lemas, seolah tidak bisa menahan beban tubuhnya.

"Oh. Terima kasih infonya." Dia pergi begitu saja tanpa mau mendengarkan lagi.

Sayup-sayup terdengar Ashila memanggil namanya, namun Yassar tidak bisa lagi berbalik. Saat ini yang ada dipikirannya adalah cepat sampai rumah. Ada bangunan yang hancur di dalam hatinya, seolah dirombak habis. Harapannya hilang begitu saja. Rasa menyesal mulai berdatang silih berganti untuk menyapanya. Menyesal kenapa tidak sejak awal dia tahu kalau Sabiya berada di sini, kenapa tidak sejak awal menyadari hal itu dia langsung menemui Sabiya dan memberitahu kalau Daris itu sebenarnya dirinya. Sekarang setelah kabar itu terdengar, Yassar tidak bisa apa-apa.

Langkahnya menuju parkiran terasa berat, pikirannya tidak terkontrol. Satu informasi yang masuk tadi ternyata mampu merusak sistem pikirannya. Seolah mengobrak-abrik segala rencana yang sudah disusun secara matang. Harapan dan keyakinan seolah pupus begitu saja. sekarang apa lagi yang harus dia lakukan jika sudah ada yang lebih cepat untuk melamar Sabiya?

Yassar merasa tidak berdaya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan.

Motornya melaju di tengah keramaian, namun suara bising itu terdengar senyap. Pikiran di kepala jauh lebih berisik. Bahkan berkali-kali ponselnya berdering pun dia abaikan.

Butuh waktu lebih lama untuk sampai di rumah ketika jalanan padat merayap. Yassar memutuskan untuk singgah di sebuah masjid sebelum meneruskan perjalanan pulang.

Dia ingin marah, namun sadar semua adalah kesalahannya karena sudah terlalu menyimpan harap kepada perempuan itu. Tapi dia sudah berusaha menggantungkan harapan dan menyerahkan semua pada Allah, krnapa ini yang didapatkannya sekarang?

Apa Allah tidak adil?

"Astagfirullah." Yassar mengusap wajah, dia harus berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif yang datang menghampiri.

Boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk untukmu. Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu.

Yassar harus selalu ingat ayat tersebut. Iya, bisa jadi ini memang yang terbaik menurut Allah. Dia harus menerima semua dengan ikhlas.

Notifikasi pesan dari Nizar muncul ketika dia menyalakan ponsel, selain itu ada lima panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.

Nizar: Yas ada panggilan job dari Bandung untuk besok lusa. Tempatnya di masjid Al Furqon UPI. Gimana? Mendadak emang.

Pesan itu membuatnya terkejut sekaligus membuka kembali harapan yang sempat meredup. Mungkin saja dia bisa berusaha sekali lagi.

Ya. Sekali lagi, untuk memastikan.

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 565K 72
|| FiksiRemaja-Spiritual. || Rabelline Maheswari Pradipta. Wanita bar-bar, cuek dan terkadang manja yang terpaksa masuk pesantren sang kakek karena k...
36.5K 3.1K 27
Lagi asik-asiknya panen mangga eh malah denger lelaki ngucap akad pakai namanya??? HAH! KOK BISA? .... ⚠️ FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ ... Di keluarga...
118K 9.4K 38
"Yayah! Mau kan jadi Yayah benelannya Aila?" tanya Aira dengan begitu gemas. Fadhil tersenyum lembut sambil mengusap puncak kepala gadis kecil di gen...
68.5K 7.8K 30
[Spin off Hakim, bisa dibaca terpisah] Bahagia seperti apa yang diinginkan semua orang? Apa bahagia mereka sama seperti definisi bahagia yang Husna...