The Reason

By radivya

170K 13.5K 874

[FINISH] ----- "Seseorang yang berada di depan, akan tetap kalah dengan yang berada di belakang sana dan teta... More

First Reason
Second Reason
Third Reason
Fourth Reason
Fifth Reason
Sixth Reason
Seventh Reason
Eight Reason
Ninth Reason
Tenth Reason
Eleventh Reason
Twelfth Reason
Thirteenth Reason
Fifteenth Reason
Sixteenth Reason
Seventeenth Reason
Eighteenth Reason
Nineteenth Reason
Twenty Reason
Twenty First Reason
Twenty Two Reason
Twenty Third Reason
Twenty Fourth Reason
Twenty Fifth Reason
Twenty Sixth
Twenty Seventh
Twenty Eight
Twenty Ninth
Thirty
Thirty First
Thirty Two
Thirty Third
Thirty Fourth
Thirty Fifth
Thirty Sixth
Thirty Seventh
Thirty Eighth
Thirty Ninth
Forty
Forty First
Forty Two
Forty Third
Forty Fourth
Forty Fifth
Forty Sixth
Forty Seventh
Forty Eighth (The Last Reason)

Fourteenth Reason

3.6K 310 12
By radivya

Gemericik hujan masih mendominasi dalam keheningan. Bandung sedang musimnya diguyur hujan. Waktunya selalu sama, setiap bakda Asar langit mulai mendung dan perlahan tiap tetesannya siap membuat genangan di jalanan berlubang.

Kata orang, hujan itu 1% air dan 99% kenangan.

Gadis di balik kaca mobil menarik sudut bibirnya, ketika teringat kata-kata yang dia jumpainya di salah satu akun media sosial.

Ungkapan itu ada benarnya juga. Ketika memandangi tetesan air yang jatuh berulang kali, seolah memutar kenangan yang sejatinya ingin disembunyikan. Tidak untuk dilupakan, karena hal itu terlalu berharga jika dilupakan begitu saja. Hanya sekadar ingin disimpan di dalam jurang pikiran, agar tak terangkat ke permukaan di waktu yang tidak tepat.

Ternyata datang ke undangan pernikahan bisa menghabiskan cukup banyak waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk beristirahat. Sebenarnya bukan datang ke undangannya yang membuat lama, bahkan hingga berjam-jam. Tapi, budaya temu kawan-kawan yang selalu menyita waktu. Apalagi kalau bertemu dengan teman-teman satu kampus. Sabiya heran, padahal mereka masih bisa bertemu di kampus, tapi semua terlihat layaknya acara reuni.

Kalau tahu akan begini jadinya, seharusnya tadi gadis itu menolak saja ketika Rais mengajaknya pergi. Namun, seperti pepatah lainnya, bahwa penyesalan selalu datang di akhir. Untuk hal ini Sabiya memang setuju, tapi dia punya tambahan tersendiri.

Meski selalu ada penyesalan. Tetap ada hikmah yang terselip dalam setiap kejadian yang dialami, juga keputusan yang diambil. Kalau saja bisa sedikit lebih sabar dan teliti, maka nikmatnya hikmah di balik semua itu akan terasa.

Meski saat ini ada penyesalan karena waktu istirahatnya terganggu. Namun, hikmah yang didapat juga tak kalah nikmat. Bisa makan gratis dan wisata kuliner, misalnya. Hal yang tidak akan didapat hanya dengan berdiam diri di rumah.

Mobil yang ditumpangi Rais dan Sabiya masih betah berdiam diri di tengah jalan. Hanya sesekali melaju, lalu berhenti. Tentu saja hal ini bukan yang mereka inginkan,  melainkan tuntutan kemacetan yang masih melanda kota kembang.

"Dek mau makan dulu gak? Macetnya masih panjang, nih. Mas lapar."

Menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya, Rais mendapati bola mata setengah bulan itu menatap lurus ke depan. Sepertinya tidak mendengar apa yang diucapkannya tadi.

"Dek," panggilnya sekali lagi.

Barulah kali ini gadis itu menoleh. Mengalihkan pandangannya pada sumber suara, yang ternyata sedang menatap dengan segaris kerutan di dahinya.

"Eh, ada apa?"

Garis kerutan yang sama nampak di dahi gadis dengan kerudung dusty pink yang menutup kepalanya. Seolah tatapannya memancarkan sebuah tanda tanya di depan layar pandangan.

"Mas tadi ngajak makan. Lapar ini. Macetnya masih panjang kayaknya."

Rais mengulang ucapannya dengan kata yang sedikit berbeda, tapi memiliki arti yang serupa.

Gadis itu terkekeh. Menatap lekat pada laki-laki yang selama ini sudah menjadi kakak sedarahnya secara tidak langsung.

"Gak salah dengar, nih? Kita kan baru aja dari undangan teman Mas, baru perasmanan, udah lapar lagi?"

Matanya membulat sejenak, lalu menyipit ketika sudut-sudut bibirnya tertarik. Tidak hanya membentuk lengkungan senyum, tetapi tawa renyah yang menghiasi wajah lelahnya.

"Hallo! Kita udah hampir setengah jam ya terjebak di ruang nostalgia. Eh, ralat. Hampir setengah jam kita kejebak macet, Dek. Gimana gak lapar coba?"

Tak mau kalah, Rais mencari-cari alasan agar argumennya nampak kuat dan tidak bisa dipatahkan. Padahal ini hanya soal makan.

Sabiya menggeleng. Bukan berarti dia tidak mengizinkan kakaknya makan lagi, hanya saja dia tidak percaya kalau laki-laki dengan perawakan ideal itu benar-benar perut karet. Meskipun dia tahu Rais tipe-tipe orang yang doyan makan, tapi tetap saja hal itu mengundang tawa yang akan dibalas decakan kesal oleh orang yang ditertawakan.

Setelah Sabiya mengiyakan ajakan Rais untuk makan. Mobil yang ditumpangi mereka berdua menepi di salah satu rumah makan di pinggir jalan. Bukan Rais namanya kalau mau buang-buang uang untuk sekadar mentraktir adiknya di rumah makan mewah. Di tempat bakso pinggir jalan saja sudah terbilang mahal untuk ukuran uang dalam dompetnya.

Meski tidak terlahir dari rahim yang sama. Sabiya selalu bersyukur Allah sandingkan dia dengan Rais yang merupakan saudara seibu susu. Dalam diri keduanya terdapat ikatan darah meski bukan ikatan seperti saudara kandung lainnya, karena mereka menginap dalam rahim yang berbeda

Cara makan yang terbilang cukup cepat membuat keduanya langsung kembali ke dalam mobil dalam waktu 45 menit. Bisa seperti itu karena Sabiya tidak ikut makan. Porsi nasi sepiring penuh bisa dihabiskan Rais dalam waktu kurang dari setengah jam. Apalagi hanya semangkuk bakso. Kalau Sabiya? Jangan ditanya, dia selalu lelet dalam hal makan. Seringkali gadis itu yang mulai makan duluan, tapi Rais yang selesai lebih dulu.

Jalanan mulai sedikit lengang. Meski ada beberapa titik yang masih terkena kemacetan. Untungnya tidak terlalu padat seperti tadi, sehingga mereka bisa sampai rumah sebelum azan Magrib.

Mobil berwarna silver sudah terparkir di halaman depan rumah, disambut senja yang kian menguning. Tetesan air dari dedaunan di pohon menetes dan mengenai pipi gadis yang baru saja turun dari dalam mobil. Mengusapnya pelan, Sabiya merasakan sensasi segar embun dari sisa hujan beberapa jam yang lalu.

Baru saja Sabiya menginjakkan kaki di teras, decit pintu terdengar seraya menampakkan sosok Bude di hadapannya.

"Akhirnya pulang juga. Gimana, Bi, nemu bakal calon mantu buat Bude?"

Bude terlihat lucu saat tatapannya menggoda Rais, dengan alis yang naik turun berulang kali. Sabiya tertarik untuk menoleh ke belakang dan melihat reaksi Rais saat Bude berkata demikian.

"Apa sih, Bu. Aku ke sana bukan mau cari mantu buat Ibu. Ngebet banget," kilahnya cepat dan langsung masuk ke dalam rumah.

Sabiya yang melihat ekspresi wajah yang tiba-tiba cengo dan manyun bebek, sontak menahan tawa dan melepaskannya ketika Rais sudah benar-benar masuk ke dalam rumah. Hal serupa juga dilakukan oleh Bude.

"Cepat masuk, Nduk. Udaranya dingin, nanti kamu masuk angin."

Langkah kaki menuntunnya masuk, menutup pintu yang dilengkapi pagar tralis di luarnya. Menguncinya dari dalam, kemudian berjalan menuju kamarnya.

Satu hal yang ingin Sabiya lakukan cepat-cepat. Mandi sebelum azan berkumandang. Badannya terasa lengket setelah seharian tadi menghabiskan waktu di luar ruangan.

Tidak sempat mendidihkan air untuk mandi, Sabiya memutuskan menggunakan air dingin. Awalnya segar, hingga waktu Magrib tiba.

Selepas salat Magrib, terdengar suara Bude yang menyuruhnya untuk makan. Namun ditolaknya ecara halus, dengan alasan sudah makan tadi di luar bersama Rais.

Mukena putih dengan renda dan bordiran bunga di setiap ujungnya masih membalut tubuh kurus Sabiya. Sembari menunggu azan Isya agar sekalian, Sabiya mengecek ponselnya. Hal bodoh yang berulang kali gadis itu lakukan. Melihat Whatsapp, membuka pesan dari satu nama. Melihat kapan terakhir kali pemilik nomor itu aktif. Setelah itu dia menekan tombol kembali ke menu utama. Mematikan data selular, dan menyimpan ponsel di atas nakas.

Rutinitas itu sudah beberapa kali Sabiya lakukan. Gadis lemah yang selalu bersembunyi di balik kekuatan yang selalu dia tampakkan pada setiap orang. Termasuk pada laki-laki di seberang sana.

Sabiya jadi berpikir, bagaimana kalau Daris tahu bahwa sebenarnya dia lemah, tidak sekuat yang laki-laki itu bayangkan. Bagaimana kalau ekspektasi Daris tentangnya terlalu tinggi, sehingga dia akan terkejut melihat realita yang jauh dari dugaannya.

Rindu.

Satu kata berjuta rasa. Kata yang kian mencekik ketika terus menerus disembunyikan. Sabiya punya Allah untuk menceritakan kerinduan yang dia rasakan. Tapi bagaimana jika rindu itu tetap saja datang, terutama di waktu yang tidak tepat?

Gadis itu sudah berjanji. Janji yang dia ikat dengan dirinya sendiri. Tidak akan menghubungi laki-laki itu lagi, sebutuh apa pun Sabiya padanya. Dan hal itu berhasil dia lakukan. Setidaknya dia berusaha untuk tidak bergantung pada Daris lagi. Meski kenyataannya hanya Daris yang bisa mendengarkan—lebih tepatnya membaca—setiap keluhannya.

Kesendirian itu kian terasa mencekam ketika masalah datang bertubi-tubi. Sabiya butuh seseorang yang bisa menenangkannya, setidaknya meringankan beban pikirannya meski sedikit. Bercerita pada Rais? Hal itu tidak bisa Sabiya lakukan setiap saat.

Jari-jari tangannya gatal untuk mengetikkan beberapa kata. Bahkan rentetan kalimat yang berisi cerita tentang masalah yang dialaminya, atau hanya sekadar kesedihan yang datang tiba-tiba. Namun, hal itu selalu urung dilakukannya. Mengingat janji yang dia ikrarkan sendiri.

Segala macam hal yang berhubungan dengan Daris, sebisa mungkin dia hindari. Status di akun media sosial laki-laki itu, berusaha untuk diabaikan. Meski tak dapat dipungkiri, rasa penasaran kerap menyusup. Namun, pikirannya yang lain sudah terikat dengan janji. Bahwa janji itu tetaplah janji, meski hanya dengan diri sendiri. Bagaimana mungkin Sabiya ingkar, itu sama saja mengkhianati dirinya sendiri 'kan?

Segala tentangnya. Tentang masa lalu yang pernah dilewati dengan tawa di balik ponsel saat bersamanya. Kian lama kian memudar. Bukan karena sengaja dilupakan. Namun, sengaja ditahan agar tidak memberatkan.

Kenyataannya, meski sudah berusaha menghindar ....

Rindu itu masih ada ....

Rindu itu masih terasa.

Benar, rindu itu bukan untuk dilawan.

Continue Reading

You'll Also Like

943K 29K 58
Kesalahan karena kabur dari Mesir saat pendidikan membuat seorang gadis terpaksa dimasukkan ke sebuah pesantren ternama di kota. namun karena hadirny...
6.1M 424K 57
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
68.5K 7.8K 30
[Spin off Hakim, bisa dibaca terpisah] Bahagia seperti apa yang diinginkan semua orang? Apa bahagia mereka sama seperti definisi bahagia yang Husna...
208K 11.6K 30
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...