The Reason

By radivya

170K 13.5K 874

[FINISH] ----- "Seseorang yang berada di depan, akan tetap kalah dengan yang berada di belakang sana dan teta... More

First Reason
Second Reason
Third Reason
Fourth Reason
Fifth Reason
Seventh Reason
Eight Reason
Ninth Reason
Tenth Reason
Eleventh Reason
Twelfth Reason
Thirteenth Reason
Fourteenth Reason
Fifteenth Reason
Sixteenth Reason
Seventeenth Reason
Eighteenth Reason
Nineteenth Reason
Twenty Reason
Twenty First Reason
Twenty Two Reason
Twenty Third Reason
Twenty Fourth Reason
Twenty Fifth Reason
Twenty Sixth
Twenty Seventh
Twenty Eight
Twenty Ninth
Thirty
Thirty First
Thirty Two
Thirty Third
Thirty Fourth
Thirty Fifth
Thirty Sixth
Thirty Seventh
Thirty Eighth
Thirty Ninth
Forty
Forty First
Forty Two
Forty Third
Forty Fourth
Forty Fifth
Forty Sixth
Forty Seventh
Forty Eighth (The Last Reason)

Sixth Reason

5K 396 2
By radivya

Menunggu angkutan umum di pinggir jalan sudah menjadi rutinitas bagi Sabiya. Untuk sampai ke kampus dia memang harus naik angkot satu kali. Rais mana mau mengantarnya kalau bukan Bude yang menyuruh. Namun, Sabiya juga sadar, dia diberi tumpangan di rumah Bude saja sudah alhamdulillah. Lagipula dia tidak ingin terlalu merepotkan, meski kadang dia senang merepotkan Rais.

Berangkat pagi dan satu mata kuliah adalah hal yang kurang disukai. Sabiya pikir, tanggung kalau begitu. Dia harus balik ke rumah dan sorenya harus berangkat mengajar. Seharusnya dia bersyukur masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk melakukan semua hal itu. Sabiya memang belum terlalu pandai bersyukur.

Tidak perlu menunggu lama, angkot di sini sudah cukup banyak. Hingga Sabiya bebas memilih mau naik yang mana. Karena setiap angkot jurusan apapun akan melewati kampusnya. Tak jarang Sabiya menemui angkot yang masih kosong, dan dia menjadi penumpang pertamanya.

Butuh sekitar sepuluh menit untuk sampai dan turun dari angkot. Itu pun kalau jalanan lancar jaya tanpa kemacetan. Jalan kaki ke fakultas butuh waktu sepuluh menit juga dari persimpangan. Belum lagi Sabiya harus naik tangga ke lantai tiga untuk sampai di kelasnya.

Dilihatnya teman-teman masih duduk lesehan di depan kelas. Belum juga sampai di depan, Sabiya sudah dipanggil Triska dan Sarah.

"Eh, Bi, tau gak?" tanya Sarah.

Sabiya menggeleng. Ini orang pagi-pagi udah mau pada gosip aja. Tadinya Sabiya tidak tertarik dan ingin pergi, tapi Triska mencegahnya.

"Nanti bulan Mei, Nanda mau nikah," ujar Triska, dan itu sukses membuat Sabiya terkejut.

"Beneran?" tanyanya tak percaya.

Sarah mengambil posisi menghadap Sabiya sepenuhnya. "Beneran, Bi. Kamu gak lihat tadi snapgram dia. Ada dua cincin, nama dia sama nama calon suaminya."

Masih tidak percaya. Sabiya ragu dengan ucapan teman-temannya kalau belum melihat buktinya sendiri.

"Sumpah? Beneran ih," ulangnya. Sabiya tahu kalau mereka itu suka bercanda.

"Beneran. Ya, masa kita bohong sih." Triska terlihat antusias.

"Wah, alahamdulillah dong," ucap Sabiya pada akhirnya, meski dia masih setengah percaya.

"Nah, kamu kapan, Bi?" celetuk Sarah.

Sabiya yang mendengar itu bergeming sesaat. Sepertinya ada yang salah dengan pertanyaan itu. Ah, tidak. Mungkin saja Sabiya yang merasa salah.

"Ha-ha-ha ... naon, sih," tukasnya. (Apa, sih)

Dosen yang datang menjadi penyelamat bagi Sabiya di saat-saat seperti itu. Tanpa menunggu lama dia langsung masuk tanpa menghiraukan tawa dari teman-temannya. Sabiya merasa sedang dipermainkan kalau begitu caranya. Padahal mereka berdua juga belum punya pasangan, tapi senang menggoda Sabiya.

Sabiya bukannya tidak suka digoda seperti itu. Hanya saja pikirannya langsung terkoneksi pada sosok yang sebenarnya tidak tampak di depan mata. Pada dia yang Sabiya tidak tahu rupanya. Namun, satu hal yang Sabiya yakini. Meski perasaannya terasa salah, Allah akan membersamainya.

Sabiya tidak merasa iri melihat teman-temannya yang terlibat cinta lokasi di kelas. Dia juga tidak iri dengan mereka yang bergandengan tangan di sepanjang jalan. Satu hal yang membuatnya sangat iri. Ketika melihat orang yang sangat kuat keimanan dan pengabdiannya pada Allah.

Sabiya sadar, rasa cinta itu bisa menyusup kapan saja. Dia merasakan hal itu. Kalau saja saat itu dia cukup kuat untuk menahan, tak akan ada kata rindu yang harus tertahan. Karena baginya, rasa itu membunuh secara perlahan. Meski ucapnya mampu menghapus sepenuhnya, nyatanya masih ada sedikit asa.

▲▽▲

Sabiya berjalan sendiri, biasanya dia akan bersama temannya. Namun, karena tugas kuliah Rida tidak bisa pergi mengajar bersama Sabiya hari ini.

Jarak dari kampus ke Al-Hikmah tidak terlalu jauh, itu sebabnya Sabiya memilih untuk jalan kaki. Menyusuri trotoar di jalanan kampus, hingga trotoar di jalan raya. Menyeberang jalan dan melewati gang-gang kecil di perkampungan.

Di dekat masjid Al-Furqan Sabiya bertemu dengan Rahmi yang kebetulan akan pergi mengajar. Sehingga mereka berangkat bersama. Setidaknya ada teman mengobrol, pikir Sabiya.

Sampai di pertigaan, Sabiya melihat seorang wanita paruh baya menenteng dagangannya. Daster bermotif bunga dan kerudung cokelat membalut tubuh ringkihnya.

"Sebentar, Teh Rahmi."

Sabiya menyeberang untuk menghampiri wanita itu.

"Mau beli, Neng?" tanyanya ketika melihat Sabiya datang.

Tersenyum, Sabiya berjongkok menyejajarkan dirinya dengan pedagang itu. Sabiya mengangguk, "Berapa, Bu?"

"Tiga ribu, Neng. Ada lemper sama lapis," ujarnya seraya menunjukkan barang dagangannya.

"Beli lima ya, Bu. Lempernya dua, lapisnya tiga."

Sabiya memerhatikan pedagang itu memasukan pesanannya ke dalam plastik. Dia mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan dan memberikannya.

"Kembalian lima ribu ya, Neng. Five thousand," ujarnya. Sabiya sedikit terkejut mendengarnya.

"You can speak English?" tanya Sabiya didorong rasa penasarannya.

"Yes, a little," jawabnya mantap.

Sabiya tersenyum, "Oh, it's good." Dia mengambil plastik yang diangsurkan sang pedagang.

"Neng, kuliah jurusan apa?" tanyanya ketika Sabiya hendak pergi.

"Pendidikan Bahasa Arab, Bu," jawabnya setelah menoleh kembali.

"Semoga jadi perempuan salihah."

Sabiya tersenyum dan mengaminkannya.

"Thank you, ya, Neng."

Setelah mengangguk Sabiya menghampiri Rahmi yang menunggu di seberang jalan.

"Eh, kamu nangis, Bi?" tanya Rahmi ketika melihat embun di mata Sabiya. "Kenapa?"

Padahal Sabiya hanya berkaca-kaca, karena dia menahannya agar tidak menetes.

Sabiya menoleh pada pedagang itu sekali lagi.

"Kasihan aja, Kak. Aku kadang suka mikir, anak-anaknya pada ngapain ya sampai ibunya masih harus jualan di usianya saat ini," jelas Sabiya.

"Terus kamu beli karena kasihan gitu? Itu sama aja kayak ngasih ke pengemis dong," ujar Rahmi.

Sabiya menggeleng, "Nggak, Kak. Pengemis itu cuma minta, kita ngasih pun gak ada timbal baliknya dari dia. Aku mendingan jajan di pedagang asongan ketimbang ngasih ke pengemis."

Sepanjang perjalanan mereka terus mengobrol, sesekali berhenti ketika berpaspasan dengan mobil atau motor yang melintas.

"Lah kenapa gitu, Bi?"

Rahmi membetulkan letak kacamatanya yang melorot.

"Karena meskipun namanya pedagang asongan, mereka itu ada usahanya. Ya, berdagang itu. Sementara pengemis, hanya duduk manis dan menunggu orang memberinya uang," jelas Sabiya. Terlihat Rahmi mengangguk paham.

Berjalan kaki sambil mengobrol memang efektif untuk membunuh waktu. Hingga tak terasa kini mereka sudah sampai di tempat mengajar. Terdengar anak-anak sedang melantunkan doa-doa harian, dipandu oleh Faith.

Sabiya menyimpan tasnya di kantor yang terletak di lantai atas sebelum bergabung bersama anak-anak di bawah. Ketika sampai, Sabiya berpaspasan dengan Salman. Salman merupakan pengajar senior juga di sini, dia adalah wali kelas tiga.

Sabiya hendak menuruni tangga ketika sebuah suara menahannya.

"Biya." Sabiya menoleh, didapatinya Salman yang berdiri menatapnya.

"Kenapa, Kak?" tanya Sabiya, kakinya masih berdiri di tangga bagian atas.

"Nanti Kakak bakal agak sibuk, jadi kamu bisa bantu ngajar di kelas tiga, ya? Biar Putri yang ngajar di kelas dua," ujarnya.

Sabiya bergeming, sesaat dia berpikir untuk menerima atau menolak. Namun, Sabiya sadar kalau dia pengajar baru, tidak enak juga kalau menolak. Akhirnya, Sabiya mengangguk menyetujui permintaan Salman.

"Terima kasih." Salman melemparkan senyumnya yang hanya dibalas anggukan dan senyum simpul dari Sabiya.

▲▽▲

Setelah selesai mengajar Sabiya tidak langsung pulang ke rumah. Dia memutuskan untuk pergi ke kosan Rida, menceritakan kalau dia dipindah tugaskan ke kelas tiga.

"Wah, beneran, Bi?" tanya Rida ketika Sabiya bercerita tentang Salman yang memintanya untuk membantu di kelas tiga.

Sabiya mengangguk, dia mencomot keripik singkong yang disuguhkan Rida. Rida sendiri sedang bermain game di ponsel Sabiya. Sesekali dia berteriak ketika pertahanannya mulai diserang.

"Aku gak enak aja, Rid, kalau nolak." Sabiya meneguk air minum di hadapannya.

"Kamu kan emang gitu orangnya, Bi. Gak enakan. Sesekali kamu harus jadi orang yang tega dong," ujar Rida tanpa menoleh. Mata dan jari-jarinya fokus pada layar ponsel.

Sabiya mendengus, Rida kalau sudah bermain game di ponselnya tidak bisa diganggu. Meskipun Rida mendengarkan ceritanya, Sabiya kesal juga kalau tidak diperhatikan.

"Yah!" teriaknya, "Padahal udah mau menang. Eh, malah ada pesan," keluhnya. "Nih, Bi." Rida menyodorkan ponselnya.

"Dari siapa?" tanya Sabiya sebelum mengambil alih ponsel berwarna rose gold dari tangan Rida.

Rida kembali menarik ponselnya dan melihat nama yang tertera.

"Siapa ini? Namanya Drs doang," ujarnya.

Matanya terbelalak, jantungnya yang semula berdetak normal tiba-tiba bekerja lebih cepat. Tanpa aba-aba Sabiya langsung menarik ponselnya dari tangan Rida. Mengetukkan jarinya beberapa kali di layar hingga menampilkan pesan dari kontak bernama Drs itu.

"Dih, orang teh. Rida mau ke depan dulu ya, beli minum."

Sabiya bergeming. Isi pesan tersebut membuatnya tidak bisa berkata apapun lagi. Sekadar membalasnya pun Sabiya merasa tangannya kaku untuk mengetikkan kata.

From: Drs

Ijinkan Allah yang menentukan untuk sekarang. Aku hanya bisa berikhtiar. Aku tidak mengerti, mengapa rasa itu masih sering datang. Tapi aku selalu percaya bahwa rencana Allah jauh lebih baik. Terima kasih sudah mau menunggu.

Tanpa disadari, Sabiya menahan napasnya saat membaca pesan itu. Menghembuskannya pelan, Sabiya kembali menekuri pesan di layar yang masih menyala. Satu pesan masuk mengejutkannya lagi.

From: Drs

Satu lagi. Sabiya, kuatlah.
Jika di sini aku menjaga, kuharap di sana kau menanti. Aku sedang berusaha. Kuharap kau mendoakanku.

Setetes.

Lagi.

Decitan pintu tak membuat tetesan itu berhenti. Terlihat Sabiya yang duduk memeluk kaki, menyembunyikan wajah di antara kedua lututnya.

"Biya, kamu nangis? Eh, kenapa, Bi? Sabiya?" Rida mememeluknya seraya mengusap punggungnya.

Sabiya tidak bisa memberi jawaban. Bahkan untuk sekadar menghentikan tangisnya pun dia tidak bisa.

Seandainya sabar bisa dibeli, tentu tangis takkan menjadi saksi.

Sabiya merutuki dirinya. Mengapa rindu itu masih saja ada. Seberapa kuat pun dia menahan, rindu tetap datang tanpa permohonan. Dan, Sabiya tidak suka itu.

Bukan tanpa alasan gadis remaja tidak menyukai rindu yang datang tanpa undangan.

Alasannya ....

Sabiya akan semakin sulit mencoba untuk ikhlas, jika laki-laki itu masih kerap muncul dalam bayang-bayangnya. Menguar rindu yang bahkan sengaja ditimbun dalam ruang terdalam tanpa cahaya sedikit pun.

Rindu ada karena jarak yang menjadi perantara. Dan doa akan menjadi perantara di antara jarak yang menguar rindu. Rindu bukan untuk dilawan.

Continue Reading

You'll Also Like

357K 30.9K 36
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
72.7K 8.4K 39
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
4.6M 282K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...
208K 11.6K 30
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...