The Reason

Da radivya

170K 13.5K 874

[FINISH] ----- "Seseorang yang berada di depan, akan tetap kalah dengan yang berada di belakang sana dan teta... Altro

First Reason
Second Reason
Third Reason
Fifth Reason
Sixth Reason
Seventh Reason
Eight Reason
Ninth Reason
Tenth Reason
Eleventh Reason
Twelfth Reason
Thirteenth Reason
Fourteenth Reason
Fifteenth Reason
Sixteenth Reason
Seventeenth Reason
Eighteenth Reason
Nineteenth Reason
Twenty Reason
Twenty First Reason
Twenty Two Reason
Twenty Third Reason
Twenty Fourth Reason
Twenty Fifth Reason
Twenty Sixth
Twenty Seventh
Twenty Eight
Twenty Ninth
Thirty
Thirty First
Thirty Two
Thirty Third
Thirty Fourth
Thirty Fifth
Thirty Sixth
Thirty Seventh
Thirty Eighth
Thirty Ninth
Forty
Forty First
Forty Two
Forty Third
Forty Fourth
Forty Fifth
Forty Sixth
Forty Seventh
Forty Eighth (The Last Reason)

Fourth Reason

6K 427 7
Da radivya

Pagi hari, Sabiya terlihat sedang duduk di halaman belakang rumah. Ditemani laptop dan secangkir cokelat panas. Membuka youtube dan mencari saluran kesukaannya.

Sabiya mendengarkan video dengan judul "Sejarah itu Penting". Pembahasan kali ini tentang runtuhnya Turki Utsmani.

Sabiya mendengarkan dengan saksama. Sesekali menyeruput cokelatnya.

"Biya, iki lho pisang gorengnya."

Teriakan yang berasal dari lantai atas membuat Sabiya mem-pause videonya.

"Iya, Bude. Nanti lagi aja," teriak Sabiya.

Sabiya tidak ingin diganggu kalau sedang serius. Dia masih sibuk mendengarkan video di laptopnya. Headphone terpasang di kepalanya yang tertutup khimar berwarna merah muda.

"Para mujahid perang itu tidak gentar sama sekali melawan musuh. Kenapa? Karena mereka yakin bahwa Allah akan menjaga mereka. Lantas apa yang harus mereka takutkan? Para mujhid itu berperang di jalan Allah, tentu saja Allah akan membantunya. Maka tidak ada sedikit pun keraguan."

Video berdurasi satu jam itu terhenti ketika seseorang mengejutkannya dari belakang.

"Astagfirullah." Sabiya membulatkan mata, hampir saja laptopnya tersenggol dan jatuh. "Mas, apa-apaan, sih. Kaget tau," kesalnya.

"Ya, sori. Nih, pisang gorengnya." Ia menaruh piring berisi pisang goreng ke atas meja. "Kamu dipanggil Ibu dari tadi juga," ujarnya.

"Kan tadi aku bilang nanti aja." Sabiya mengerucutkan bibirnya.

"Lagi apa, sih? Serius amat kayaknya." Ia mengintip laptop yang menghadap ke belakang. "Jangan-jangan kamu nonton ...." lelaki itu menunjukkan telunjuknya tepat di depan hidung Sabiya.

"Apa sih, Mas. Orang aku lagi dengerin kajian di youtube," sergahnya. "Mas ini, pikirannya negatif mulu."

"Kajian siapa sih? Ya, habisnya kamu nonton kok laptopnya kebalik gitu." Ia menarik kursi kosong di samping Sabiya.

"DM," jawabnya singkat. Sabiya mencomot pisang goreng di hadapannya.

"DM apaan? Direct Message?" ia ikut mencomot pisang goreng.

"Dhabith Muyassar, Mas, youtuber dakwah. Isi kajiannya keren-keren. Makannya kalau youtube-an itu cari yang bermanfaat, jangan yang ro—"

"Iya deh, iya. Udah jangan diterusin ceramahnya. Masih pagi juga," potongnya. "Terus itu kenapa laptopnya ngadep ke belakang?"

"Ya, karena youtuber-nya itu cowok. Jadi, cuma dengerin kajiannya aja. Lagian aku juga niatnya dengerin, bukan mau lihat wajahnya." Sabiya mematikan laptopnya. Kalau kakak sepupunya sudah mengganggu, dia tak bisa meneruskan kegiatannya dengan tenang.

"Lah, kok gitu?" tanyanya menatap heran pada Sabiya.

"Gadhul bashar dong, Mas," jawabnya santai. "Terus, kata teman-teman aku dia ganteng. Udah ganteng, shalih, pendakwah, ah pokoknya calon yang potensial–katanya. Tapi, aku belum lihat. Gak niat lihat juga, sih."

"Menjaga pandangan? Lah itu kan cuma di video, Dek? Dan itu tuh kata teman-temn kamu, boleh juga tuh. Kayaknya kamu harus sama dia aja deh. Kamu mau gak Dek kalau sama dia?"

Sabiya mengambil posisi nyaman. Menyeruput sisa cokelat yang sudah dingin.

Meletakan cangkir, Sabiya menggeser kursi agar bisa menatap lawan bicaranya.

"Nih ya, Mas. Mau itu di video, televisi, atau foto sekalipun, itu sama aja. Kalau Mas Rais lihat foto cewek cihuy di instagram, reaksi Mas gimana?" tanya Sabiya.

"Wah, semangat dong, Dek. Apalagi nih ya, kalau cewek itu punya lesung pipit, kulitnya bersih, wajahnya bersinar, terus—"

"Setop, Mas. Aku tahu lanjutannya. Nah, itu yang bahaya." Sabiya menjentikkan jarinya. "Dari foto aja bisa panjang gitu lamunannya, apalagi kalau dari video 'kan?" Sabiya menaik-turunkan alisnya.

Rais bergeming, merasa dirinya sudah kalah telak.

"Jadi, itu sebabnya kamu gak mau masang foto di sosmed?"

"Yup! Aku gak mau orang berandai-andai tentang aku," jelas Sabiya. "Kalau ada ikhwan yang berandai-andai karena fotoku, aku juga kena dosanya, Mas. Terus ya, Mas, udah banyak buktinya kejahatan yang dipicu dari gambar visual."

Rais mengangguk paham. Tidak ingin melanjutkan kajian dadakan bersama adik sepupunya, dia menanyakan persoalan lain.

"Dek," panggilnya.

"Hm," sahut Sabiya.

"Mas mau tanya dong." Rais menatap Sabiya dengan serius.

"Tanya apa?"

Sabiya mengunyah pisang goreng kedua yang masuk ke dalam mulutnya. Pendengarannya awas menanti Rais berucap.

"Itu, pertanyaan tadi ada yang belum terjawab." Tatapannya menyelidik.

Mendengar itu, Sabiya mengembuskan napasnya dan bertopang dagu. "Pertanyaan yang mana?"

"Itu lho yang calon potensial. Kmu mau gak sama DM-DM itu?" tanyanya.

Sabiya mengerutkan dahinya. Memicingkan mata, menopang dagu dengan tangan kanan.

"Kok nanya itu, sih?" Sabiya menatap Rais, kerutan di dahinya belum juga hilang.

Bukannya menjelaskan, Rais malah terbahak.

"Ya, Mas pengin nanya aja. Kali aja dia beneran calon yang potensial, kan lumayan buat melepas masa kejombloanmu, Dek." Rais menyentil kening Sabiya dan berlari.

Matanya membulat, Sabiya tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan kakak sepupunya barusan.

"Mas Rais!" teriaknya.

Suara tawa Rais masih terdengar.

"Ada apa toh ya, kalian berisik amat," ujar Bude yang turun dari tangga.

"Mas Rais tuh, Bude," keluh Sabiya.

"Rais, kamu seneng banget ya jailin adekmu," ujarnya.

Di belakangnya Sabiya memeletkan lidah, merasa menang.

"Kamu juga, Bi. Kalian udah gede masih aja seneng guyon."

Kali ini giliran Rais yang memeletkan lidah. Sabiya memutar matanya malas.

Pada akhirnya Sabiya tidak meneruskan kajian youtube-nya. Bude meminta bantuannya membuat kue pesanan tetangga.

▲▽▲

Rida mengetuk meja di depannya, seraya memanggil orang yang duduk di sana.

"Ada apa?" berbalik, orang itu bertanya.

"Nanti mau ke kosan Rida gak?" tanyanya.

"Hayu," ia kembali berbalik, memerhatikan dosen yang sedang menjelaskan tentang Al-Asmaul Khomsah.

Rida kembali memanggil teman di depannya. Namun, dia tidak menghiraukan. Gadis itu tidak suka diganggu saat sedang serius.

"Bentar, bentar. Belajar dulu," ujarnya.

"Sabiya! Ada apa?" terlihat pak Masor menatapnya.

"Eh? Enggak, Pak. Itu tadi ada yang tanya," jawabnya.

"Perhatikan atau keluar!" tegasnya.

Tersenyum, Sabiya mengangguk kembali memerhatikan.

Sabiya berbalik, tatapan matanya seolah berkata, "Tuh, kan!"

▲▽▲

Rida melipat mukena dan meletakkannya di samping Sabiya. Terlihat dia sedang membaca buku yang sama dengan kemarin.

"Bi ... Biya ... Woi, Sabiya!" teriaknya kesal karena Sabiya tidak urung menjawab.

"Apa sih, apa?" jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku bersampul merah cerah.

Rida tahu kalau Sabiya tidak suka diganggu saat sedang serius. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar membeli batagor Mang Udin di depan kosan.

Saking sibuknya, Sabiya tidak menyadari kepergian Rida. Sampai temannya itu kembali membawa dua plastik berisi batagor. Tercium wanginya, membuat Sabiya mendongak. Mendapati jajanan yang dibawa Rida, dia langsung menaruh bukunya.

"Giliran makan aja, langsung nge-gas," ledeknya.

Tanpa menjawab, satu plastik batagor sudah berpindah tangan pada Sabiya.

Kedua orang itu mempunyai perbedaan yang tidak sedikit. Tak jarang hal itu membuat mereka sering berdebat, bahkan untuk hal sepele. Namun, keduanya tak akan lagi sama jika salah satu tidak ada.

Pertama kali yang Rida ketahui, Sabiya adalah orang yang ceroboh dan sulit mengambil keputusan. Bahkan dia harus mengingatkan Sabiya hampir setiap waktu. Karena kecerobohannya, Sabiya pernah terjatuh di stage saat acara FIKAR, akibat kakinya tersandung kabel mik. Padahal saat itu dia tengah menjadi pembawa acara. Bukannya malu, gadis itu malah bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.

Satu hal yang Rida suka.

Sabiya apa adanya.

Meski terkadang Sabiya membuatnya kesal dengan sikap kekanakkan yang muncul tiba-tiba. Namun, Sabiya lah yang selama ini menjadi pengingatnya agar tetap semangat.

"Bi," panggilnya.

Sabiya menoleh. Gelas berisi air minum masih menempel di mulutnya.

"Kamu gak chat-an lagi?" tanyanya.

Sabiya menatapnya heran, "Chat-an apa?" Sabiya menghadap Rida yang menatapnya serius.

Sok serius, gumamnya menahan tawa.

"Ya, mana Rida tahu. Setiap Rida tanya kenapa, dulu kamu jawabnya cuma, nggak, nggak apa-apa. Ini ada orang. Gitu, kan? Ya, berarti si orang lah," katanya.

Sabiya bergeming. Ingatannya bekerja mencari memori tentang hal itu. Membelalakkan mata ketika sadar orang yang dimaksud Rida.

"Kenapa emang?" tanya Sabiya tanpa memberitahu tentang orang itu.

"Gak apa-apa, sih. Biasanya kalau ke kosan, kamu main HP, terus ketawa-ketawa sendiri. Giliran ditanya, jawabnya kayak gitu. Orang juga punya nama kali," tuturnya.

Terdiam sejenak. Sabiya teringat saat dia benar-benar bisa tertawa hanya dengan membaca pesan singkat yang tertera pada layar ponselnya. Teringat saat bibirnya tak bisa ditahan untuk melepaskan senyuman.

Astagfirullah. Jangan lagi, pikirnya.

"Ya, gak tahu. Udah, ah. Apa sih tanya-tanya yang begitu," ujarnya mengakhiri perdebatan yang akan terus terjadi jika tidak ada yang menyudahi.

Rida menatap Sabiya. Menelisik ke dalam matanya, kebohongan itu terlihat. Bagaimana bisa seorang Sabiya menyembunyikan perasaan. Sorot matanya selalu bisa ditebak.

"Apa sih lihat-lihat, nanti cinta," ujar Sabiya kesal.

"Ingat kata Aa, berbohong itu dosa!" katanya meniru gaya salah satu ustaz saat kajian.

"Ingat juga, bahwa menunjukkan kesedihan pada orang lain itu tidak baik. Kalau bisa, hanya Allah saja yang mengetahui hal itu," kilahnya.

Rida mengangkat kedua jempolnya. Mengangguk-angguk tanda mengiyakan. Dia juga tidak mau berdebat dengan Sabiya. Orang itu kalau tidak mau bercerita, ya, akan susah. Meski dengan cara paksa.

Hanya perlu mengetahui kalau kesedihan itu ada, tampak dirasakan oleh jiwa. Namun, tak perlu memaksa untuk melihatnya.

"Bi, kenapa sih nutup-nutupin masalah kamu? Emangnya gak takut apa kalau sakit gara-gara banyak pikiran?"

Mendengar hal itu, Sabiya tersenyum. Baru saja pagi tadi sebelum ke kampus dia mendengarkan kajian yang bisa mngalirkan energi positif pada dirinya.

"Kata Dhabith, Allah akan selalu menjaga hamba-Nya. Terus kenapa harus takut, padahal Allah sendiri yang turun tangan untuk menjaga hamba-Nya. Dan aku yakin Allah bakan jaga aku, Rid. Sebesar apa pun masalah yang datang, tapi kita punya Allah yang Maha Besar. Betul apa benar?"

Mendengar itu Rida hanya mengangguk, menyetujui pernyataan dari temannya. Dia juga tidak bisa menyanggah hal tersebut.

Sabiya berkata begitu bukan tanpa alasan.

Alasannya ....

Sabiya benar-benar ingin dijaga Allah, meskipun ketaatannya belum sempurna. Dia ingin lebih mendekatkan diri pada-Nya, meskipun terkadang khilaf menghampiri dirinya.

Jangan merasa takut, karena Allah akan selalu bersama dan membantu hamba-Nya yang berusaha.

Continua a leggere

Ti piacerΓ  anche

34.5K 4.5K 74
Adeeva Humaira Laskar Khaizuran. Seorang wanita yang jauh dari kata agama dan tidak mengenal apa itu agama, selain tidak ada niat untuk berubah dia j...
2.5M 290K 69
ZINNIA : CINTA TANPA KOMA Novelnya masih bisa dipesanπŸ“Œ β‰ͺβ€’β—¦ ❈ ◦‒≫ Fyi: alurnya masih berantakan, yang rapi versi novelnya. Gak maksa kamu buat baca...
463K 57K 16
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...
357K 30.9K 36
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...