The Reason

By radivya

170K 13.5K 874

[FINISH] ----- "Seseorang yang berada di depan, akan tetap kalah dengan yang berada di belakang sana dan teta... More

First Reason
Third Reason
Fourth Reason
Fifth Reason
Sixth Reason
Seventh Reason
Eight Reason
Ninth Reason
Tenth Reason
Eleventh Reason
Twelfth Reason
Thirteenth Reason
Fourteenth Reason
Fifteenth Reason
Sixteenth Reason
Seventeenth Reason
Eighteenth Reason
Nineteenth Reason
Twenty Reason
Twenty First Reason
Twenty Two Reason
Twenty Third Reason
Twenty Fourth Reason
Twenty Fifth Reason
Twenty Sixth
Twenty Seventh
Twenty Eight
Twenty Ninth
Thirty
Thirty First
Thirty Two
Thirty Third
Thirty Fourth
Thirty Fifth
Thirty Sixth
Thirty Seventh
Thirty Eighth
Thirty Ninth
Forty
Forty First
Forty Two
Forty Third
Forty Fourth
Forty Fifth
Forty Sixth
Forty Seventh
Forty Eighth (The Last Reason)

Second Reason

10.1K 568 5
By radivya

Langkah pendeknya terhenti saat ponsel di saku gamis maroon miliknya bergetar, menampakkan panggilan Line dari kontak dengan nama Rida. Menggeser tombol hijau, Sabiya meneruskan langkahnya.

Suara yang tak asing itu memenuhi pendengarannya. Pertama ucapan salam seperti biasanya.

"Waalaikumsalam. Iya mau. Kenapa Rid?"

Baru saja Sabiya hendak melangkah menuruni tangga, kakinya terhenti. Dilihatnya ponsel yang masih tersambung dengan panggilan masuk dari Rida.

"Eh, kok aku gak sadar. Tadi aku lihat masih jam sembilan." Sabiya melirik arloji di tangannya. "Astagfirullah, jam tanganku mati ternyata. Udah ada dosen belum?"

Segera setelah panggilan itu dimatikan, Sabiya mempercepat langkahnya.

Siapa sangka dia akan telat masuk kelas. Arloji di tangannya ternyata sudah tak bernyawa, Sabiya asyik mengerjakan tugas di sekre karena merasa waktunya masih lama.

Kelas Qiraah dimulai pukul 10.20., saat ini sudah pukul 10.55.

Sabiya telat.

Mempercepat langkahnya, Sabiya hampir terpeleset di tangga kalau saja tangannya tidak segera menahan pada pegangan tangga.

Astagfirullah, gumamnya.

Sabiya sudah berniat untuk berlari ketika sampai di fakultas. Namun, niatnya terhenti saat ucapan seseorang masuk ke dalam kepalanya.

Kalau udah tahu bakal telat. Ya udah, jangan buru-buru. Toh bakal telat juga. Kamu hati-hati.

Sabiya menggeleng keras.

Nggak, nggak, pikirnya melawan.

Bagaimana bisa ada susara seperti itu di dalam pikirannya. Mungkin Sabiya harus benar-benar tidur dan istirahat yang cukup.

Membulatkan tekad, setengah berlari Sabiya mengejar waktu.

Tak hentinya Sabiya terus menggumamkan kalimat istigfar. Menggelengkan kepala berkali-kali.

Ucapan yang masuk ke dalam pikirannya terus saja mengoceh seolah sebuah peringatan.

Tanpa bisa dihindari, Sabiya menabrak seseorang hingga terjatuh. Tepat di halaman depan fakultas. Rasanya sakit, karena berbenturan langsung dengan paving block. Susah payah Sabiya berjalan menaiki tangga hingga ke lantai tiga untuk sampai ke kelasnya. Kalau saja lift bisa digunakan oleh mahasiswa dari lantai satu, Sabiya tidak perlu memaksakan kakinya yang mulai terasa sakit.

Sesampainya di lantai tiga, gadis itu berjalan menuju Ruang 25. Suasana di dalam kelas terdengar ricuh, dengan pintu yang masih terbuka. Alamat belum ada dosen.

Menampakkan setengah wajahnya, Sabiya mengintip. Benar, belum ada dosen. Atau mungkin dosen sudah keluar sebelum Sabiya masuk?

Dengan langkah terseret, dia masuk dan langsung duduk, menahan rasa sakit yang semakin terasa. Sabiya melepas sepatunya. Terasa sakit saat dia memegang pergelangan kakinya, sepertinya terkilir.

Jangan buru-buru. Toh bakal telat juga.

Lagi-lagi ucapan itu merasuki pikirannya.

Oke. Kali ini Sabiya mengaku salah.

Ucapan yang melintasi pikirannya bagaikan fantasi yang berubah nyata. Kenyataannya Sabiya benci hal itu. Membuatnya teringat pada hal yang seharusnya dilupakan.

Kamu hati-hati.

Masih saja peringatan itu melintas di pikirannya. Membuat Sabiya menggeram.

"Iya aku gak hati-hati. Iya, aku salah. Harusnya aku hati-hati, 'kan?!"

Hening.

Kelas yang tadinya ramai oleh suara nyanyian dari beberapa laki-laki dan obrolan-obrolan mahasiswi rumpi, seketika terhenti.

"Biya kenapa?" tanya Mia yang duduk di sampingnya.

"Sabiya kenapa?" tanya Siska yang duduk di belakangnya.

"Woi, Bi. Ngapa lu?" suara cempreng khas Fakhri dengan tatapan tajamnya.

"Ada apa?" tanya Hasbi yang tak lain adalah ketua kelas.

Semua yang ada di dalam ruangan menatap Sabiya dan mengajukan pertanyaan sejenis.

Duduk di barisan ketiga. Di tengah-tengah. Sabiya serasa sedang dihakimi.

Rasanya tadi dia hanya menggerutu. Ternyata tidak. Tanpa Sabiya sadar, dia menggebrak meja dan menarik perhatian yang lain.

Sabiya cangar-cengir seraya mengibaskan tangan kanannya. "Gak, gak. Gak kenapa-kenapa. Itu, tadi iklan aja. Silahkan lanjut nyanyinya."

"Etdah emang, lu. Kebiasan, Bi." Fakhri kembali bernyanyi dengan teman-teman lainnya.

"Ih, Sabiya bikin khawatir aja." Mirna yang duduk di depan menuturkan pikirannya.

"Bi, istigfar wae lah." Riki berkata dengan cengiran lebarnya.

"Sabiya, kurang piknik. Mantai geura, yuk." Imron yang sedang makan ikut berkomentar.

"Gandeng, ih, maraneh." (Berisik, ih, kalian.) Salma yang sedang memainkan ponselnya ikut berkata untuk menyudahi aksi ribut di dalam kelas.

Cengiran yang terkesan dipaksakan menghiasi wajahnya. Mendaratkan kening di atas meja. Sabiya mengetuknya tiga kali.

Sabiya pintar, gumamnya.

▲▽▲

Halaqah sedang berlangsung.

Melingkar, Sabiya duduk pada posisi ketiga dari musyrifah.

"Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang: Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara. Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu. Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu. Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu. Hidupmu sebelum datang matimu."

Sabiya memandangi kakak tingkat yang juga merupakan mentornya. Memerhatikan dan sesekali mengangguk saat mendengar penjelasan materi.

Sudah satu jam lebih mereka berdiskusi mengenai memanfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara.

Menyudahi halaqah, Asyifa mengucap salam dan menuturkan rasa terima kasih karena mereka sudah mengikuti mentoring hari ini.

Setelah selesai, Sabiya langsung pamitan pada Asyifa. Terlihat seseorang menghampiri ketika Sabiya berjalan menuju tangga.

"Bi, mau ke sekre dulu?" tanya Intan.

Intan adalah teman se-angkatannya. Sama-sama sedang mengikuti mentoring, hanya saja berbeda kelompok.

"Enggak kayaknya, Tan. Aku ngajar hari ini," ujarnya.

"Ya udah, aku duluan, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Baru saja Sabiya hendak pergi meninggalkan tempatnya. Seseorang memanggilnya. Seorang wanita berusia 22 tahun berjalan ke arahnya.

"Eh, assalamualaikum Ustazah." Sabiya mencium punggung telapak tangannya. "Ustazah kapan ke sini?"

"Barusan. Sekalian ngecek anggota UKDM yang sekarang pada aktif gak. Oh ya, ke sekre dulu, ya. Ada yang perlu saya bicarakan," ujarnya.

"Eh? Hari ini Biya ngajar, Ustazah."

Sabiya menatap wanita yang masih berdiri di hadapannya. Beliau adalah Fatimah, dulunya merupakan aktivis yang gencar sekali melakukan dakwah ke berbagai tempat, juga mengharumkan nama UKDM hingga semakin terkenal, melanjutkan perjuangan-perjuangan sebelumnya.

Awal mula Sabiya kenal dekat dengan beliau, ketika itu dia masih semester satu dan baru bergabung dengan UKDM. Saat itu anak perempuam Fatimah menangis karena jatuh di depan masjid Al-Furqan, Sabiya yang melihatnya segera menggendong dan berusaha mendiamkannya. Gadis kecil itu bernama Ameera, berusia tiga tahun. Usaha takkan mengkhianati hasil. Setelah membujuk Ameera untuk tidak menangis lagi, akhirnya dia diminta untuk menemaninya bermain.

Cukup lama Sabiya menemani Ameera, hingga seorang wanita bercadar menghampirinya. Meminta Ameera untuk ikut dengannya. Ketika itu Sabiya menatap curiga, karena sedang maraknya kasus penculikan anak. Namun, melihat Ameera yang berlari menghampiri dan memanggil wanita itu Umi, akhirnya Sabiya meminta maaf karena telah berburuk sangka.

Setelah kejadian itu, Ameera semakin dekat dengannya. Hal itu membuat Sabiya dekat dengan ibu gadis itu—Fatimah. Tidak ada yang kebetulan, ternyata rumah mereka berdekatan. Di satu komplek yang sama, terhalang oleh tiga rumah. Sabiya jadi sering mengikuti kajian rutin di rumah ustazah dengan dua anak itu, membuatnya semakin dekat dengan Ameera dan kakaknya Khalid yang berusia lima tahun. Terkadang Ameera datang berkunjung ke rumah Bude hanya untuk bermain dengan Sabiya.

"Ehm."

Dehaman itu membuat Sabiya menatap ke sumber suara. Wajah Fatimah terlihat serius, Sabiya jadi merasa gugup. Sebelumnya ustazah muda itu belum pernah seserius ini.

"Uhm, ada apa ya Ustazah? Jujur lho ini Biya kok jadi takut," ujarnya disertai tawa untuk mencairkan kegugupannya.

"Lho, kok takut? Santai aja, anggaplah lagi ngobrol kayak biasanya."

Fatimah belum memulai pembicaraan pada intinya, dia masih menunggu orang-orang yang berada di sekre untuk keluar. Karena ini merupakan hal yang cukup serius untuk dibicarakan hanya empat mata.

"Ustazah, kita pamit ya. Assalamualaikum."

Tiga orang perempuan keluar bergantian setelah menyalami Fatimah.

"Waalaikumsalam. Nah, Sabiya."

Panggilannya membuat Sabiya langsung mendongak, mengalihkan perhatian dari ponselnya yang masih berkedip-kedip. Setelah mengetikkan beberapa kalimat yang menyatakan bahwa dia izin telat ke DTA, tempatnya mengajar.

"Iya, Ustazah?"

Pandangannya terfokus pada Fatimah yang melirik ke depan pintu.

"Kalian belum pulang? Bukannya tadi udah pamit?" ujarnya.

Meski pintu sudah tertutup, namun terdengar bisik-bisik dari luar. "Oh iya, maaf Ustazah. Kita lagi pakai sepatu," tutur salah satu dari mereka.

Fatimah menggeleng. Dia tahu itu hanya alibi yang digunakan untuk menguping pembicaraannya. Setelah memastikan tidak ada orang di depan pintu, Fatimah kembali menatap Sabiya yang duduk bersila di depannya.

"Saya langsung aja, ya. Udah ada yang datang?"

Pertanyaan itu disambut kerutan di kening Sabiya dan tatapannya seolah berkata apa maksudnya. Melihat reaksinya, Fatimah mengembuskan napas pelan.

"Maksudnya, udah ada yang datang melamar? Atau ngajak taaruf gitu?"

Sabiya segera menggeleng.

"Beneran?" tanyanya penuh penekanan.

"Iya, ngapain Biya bohong Ustazah. Lagian juga siapa." Sabiya berkata seolah membubuhi tanda tanya pada kalimat akhirnya.

"Oke oke, saya percaya. Tapi, kamu ada niatan nikah muda?"

Lagi-lagi pertanyaan itu mendapat gelengan dari Sabiya. "Enggak, Ustazah. Tadinya sih ada, cuma sekarang kayaknya enggak deh."

Fatimah semakin tertarik mendengar alasan dari gadis yang menjadi kandidat adik iparnya.

"Lho kenapa?" tanyanya seraya menatap lekat, penuh keingintahuan. Atau mungkin karena memang penasaran?

"Kenapa, ya? Ya, enggak aja Ustazah. Kayaknya Biya belum siap."

"Kalau tiba-tiba ada yang ngajak taaruf gimana, Sa?"

Sabiya memandangi Fatimah, merasa heran dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya. Semua menjurus pada satu titik.

"Ya gak gimana-gimana, Ustazah. Emang gimana?"

"Aduh, kok jadi berbelit-belit gini." Fatimah memijat pelipisnya. "Langsung aja deh, ya. Nih." Amplop putih yang tadi berada di dalam tasnya, kini ada di hadapan Sabiya.

"Eh, ini apa Ustazah? Masa iya Biya gajian?" tanyanya dengan nada gembira yang terselip dalam ucapannya

"Astagfirullah, Sabiya. Saya gak tahu kenapa Faruq bisa kepincut sama kamu."

"Eh? Faruq? Siapa?"

Sabiya urung mengambil amplop putih yang disodorkan kepadanya.

"Itu proposal taaruf dari Faruq, dia titipkan ke abinya anak-anak. Faruq itu adik bungsu saya, saat ini sedang kuliah di ITB, gak jauh 'kan dari UPI? Sekarang semester enam. Kemarin dia minta tolong buat sampaikan proposal ini ke perempuan yang suka lewat masjid, yang suka ikut kajian di rumah. Pertamanya saya mikirin siapa perempuan yang dimaksud Faruq. Tapi, setelah dia bilang perempuan yang tinggal di rumah bu Hasna, saya tahu yang dimaksudnya itu kamu. Faruq bilang, awalnya beberapa kali dia lihat kamu lewat depan masjid, pasti saat kamu berangkat dan pulang kuliah 'kan? Faruq lihat kamu kalau dia sedang main ke rumah. Setelah itu, dia tanya-tanya tentang kamu ke suami saya. Kemarin malam, tiba-tiba Faruq bilang sekaligus minta izin sama Abah–sebutan untuk bapak saya–mau kirim proposal taaruf. Kata Abah, dia kaget anak bungsunya tiba-tiba udah mau taaruf aja. Karena sebelumnya dia gak cerita tentang kamu. Nah, begitu. Jadi gimana, Sa?"

Mendengar penjelasan dari Fatimah seolah sedang mendengar cerita dari novel-novel yang pernah dibacanya. Sabiya bahkan masih belum bisa percaya dengan apa yang terjadi sekarang. Bagaimana mungkin bisa, Sabiya tidak tahu laki-laki itu, meskipun dia adik dari seseorang yang kini dekat dengannya. Melihatnya saja belum pernah, tapi bagaimana bisa?

Bukan itu yang menjadi poin utama saat ini. Tapi, bagaimana Sabiya harus mengambil langkah.

"Biya masih semester dua lho Ustazah, dan kayaknya Biya juga gak bisa," tolaknya secara gamblang.

"Kenapa? Banyak kok mahasiswa yang menikah di usia kamu, malah dulu teman saya ada yang menikah saat masih semester satu. Tapi, ya saya gak bisa memaksakan juga. Kamu bawa dulu aja proposalnya, barang kali nanti berubah pikiran."

Tidak mengurangi rasa hormatnya kepada Fatimah, Sabiya mengangsurkan amplop putih di depannya.

"Maaf, Ustazah. Biya gak bisa, jadi mending langsung dibalikin aja ke orangnya. Sampaikan juga maaf dari Biya, ya. Oh ya, Ustazah, Biya udah telat. Sekarang harus ngajar ke DTA. Biya pamit ya, Usatazah." Gadis itu bergegas memakai tasnya. "Assalamualaikum."

Debaran jantungnya tidak bisa diredam, bulir bening dari matanya meluncur begitu saja tanpa terelakkan. Mengusapnya pelan, Sabiya segera memakai sepatunya.

Tiba-tiba saja Sabiya merasa takut. Berawal dari proposal taaruf pertama yang dia dapatkan dari Fatimah. Membuka lubang ketakutannya semakin besar. Ketakutan itu bukan tanpa alasan.

Alasannya ....

Sabiya belum siap. Dia ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Dia takut belum bisa me-manage waktu dengan baik. Bagaimana nanti kalau dia harus kuliah juga mengurus suami, terlebih kalau hamil di saat masih kuliah. Kemungkinan-kemungkinan itu seolah menjadi beban baginya saat ini. Selain itu, ada seseorang yang Sabiya tunggu untuk menepati niatan yang pernah disampaikan padanya.

Jodoh itu unik. Kita tidak bisa menebak dari arah mana dia datang.

Continue Reading

You'll Also Like

942K 29K 58
Kesalahan karena kabur dari Mesir saat pendidikan membuat seorang gadis terpaksa dimasukkan ke sebuah pesantren ternama di kota. namun karena hadirny...
344K 14.9K 70
Azizan dingin dan Alzena cuek. Azizan pintar dan Alzena lemot. Azizan ganteng dan Alzena cantik. Azizan lahir dari keluarga berada dan Alzena dari ke...
355K 20.6K 84
"Manusia saling bertemu bukan karena kebetulan, melainkan karena Allah lah yang mempertemukan." -Rashdan Zayyan Al-Fatih- "Hati yang memang ditakdirk...
462K 56.9K 16
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...