RADION

cindeyaur द्वारा

66.6K 6K 1.8K

"Gue sekarang udah jadi ketua di sini, mau gimana pun, lo harus patuh sama gue." -Radion Geraldo. **** Radion... अधिक

PROLOG
RADION || 01
RADION || 02
RADION || 03
RADION || 04
RADION || 05
RADION || 06
RADION || 07
RADION || 08
RADION || 10
RADION || 11
RADION || 12
RADION || 13
RADION || 14
RADION || 15
RADION || 16
RADION || 17
RADION || 18
RADION || 19
RADION || 20
RADION || 21
RADION || 22
RADION || 23
RADION || 24
RADION || 25
RADION || 26
RADION || 27
RADION || 28
RADION || 29
RADION || 30
RADION || 31
RADION || 32
RADION || 33
RADION || 34
RADION || 35
RADION || 36
RADION || 37
RADION || 38
RADION || 39
RADION || 40
RADION || 41
RADION || 42
RADION || 43
RADION || 44
RADION || 45
RADION || 46
RADION || 47
RADION || 48
RADION || 49
RADION || 50
RADION || 51
RADION || 52
RADION || 53
RADION || 54
RADION || 55
RADION || 56
RADION || 57

RADION || 09

1.5K 149 61
cindeyaur द्वारा

Hari ini rumah Radion kosong. Hanya ada supir, satpam, serta beberapa pelayan di dalamnya. Mami dan papinya tentu saja sedang bekerja.

Setelah meminta kepada pelayan untuk menyediakan makanan dan minuman yang banyak, mereka pun pada akhirnya memutuskan untuk nge-gym di ruang gym rumah Radion. Galen pun juga sudah menyusul ke sini. Rupanya benar, cowok itu menyusul dengan waktu kurang dari satu jam.

"Gila, lo berasa tinggal di istana, Rad. Rumah gue aja nggak sampai ada lapangan golf nya gitu." Zean sedari tadi hanya takjub kepada lapangan golf di belakang rumah Radion.

"Nanti kita main golf, ya!"

Sebesar-besar rumahnya, tidak pernah dirinya merasakan rumah yang belakangnya ada lapangan golf yang sangat besar.

"Lo anak satu-satunya, Rad?" Tanya Daplo.

"Iya. Emang lo pada anak ke berapa?"

"Cuma lo, Arlan, Raiden, sama Galen doang yang anak satu-satunya. Gue punya adik cewek sama kakak cowok. Kalau Daplo punya adik cowok," jelas Zean.

"Gimana rasanya jadi anak tunggal lo berempat, hah?!" Zean bertanya kepada Radion, Raiden, Arlan, dan Galen.

"Biasa aja," jawab mereka secara bersamaan.

"Gue pengen banget ngerasain jadi anak satu-satunya. Ya walaupun bokap nyokap gue juga selalu kasih apapun yang gue mau."

"Kalau jadi anak satu-satunya, rintangan terberatnya adalah kesepian. Gue sering banget bosen di rumah dan sendirian di rumah. Nggak ada temen."

"Bener, gue juga setuju." Raiden menyetujui.

"Gue mau kok jadi adik lo, Rad."

Galen menoyor kepala Zean keras. "Radion nya yang nggak mau punya adik kayak lo."

"Jahat banget."

"Kenapa jadi curhat? Kita kan mau olahraga." Daplo menyadarkan mereka semua.

"Gih sana lo pada olahraga! Gue mah nggak dulu." Galen malah duduk di salah bangku yang ada di sana sambil meluruskan kakinya.

"Gue lihatin lo pada hidup sehat aja, bro. Soalnya badan gue udah bagus," lanjutnya lagi dengan bangga.

"Apaan badan kerempeng aja di bilang bagus," sindir Arlan.

"Badan lo sama gue aja sebelas dua belas, Lan."

"Tapi kecilan lo. Tenaganya juga kuatan gue."

"Lo nggak boleh terlalu pede gitu, Lan. Mungkin yang lo lawan kemarin-kemarin nggak ada apa-apanya. Makanya lo mikir kalau tenaga lo kuat."

"Mau nyobain? Sini gue buktiin. Samsaknya lo."

Galen langsung bergidik. "Ya elah, Lan. Bercanda. Lo mah nggak bisa di ajak lucu-lucuan sedikit. Iya, walaupun badan lo masih keliatan kurus, tapi tenaga lo nggak bisa di ragukan. Bismillah di bayarin makan besok di kantin."

"Sadar, Len! Orang tua lo udah kaya.
Stop pura-pura miskin dan nggak modal." Zean menyadarkan cowok itu.

"Lo sendiri juga nggak modal, Ze. Gue tahu ya, di rumah lo punya motor trail lebih dari satu, kan? Cuma lo nggak pernah bawa aja ke sekolah."

"Udah, yuk! Kepala gue pusing dengerin mereka debat." Raiden lalu mengajak Radion, Arlan, dan Daplo untuk cepat-cepat melakukan kegiatan olahraga mereka.

Jangan salah, walaupun mereka pemalas di sekolah, tetapi untuk olahraga, mereka sangat bersemangat. Terkadang Raiden, Arlan, dan Daplo menyempatkan waktunya untuk pergi ke tempat gym. Kadang Zean dan Galen juga ikut serta, walaupun sebenarnya mereka jarang berolahraga ke tempat gym.

"Yuk! Lo pada santai aja di sini. Pake apapun yang mau lo pada pake. Anggep aja rumah sendiri," ujar Radion.

"Rad, boleh gue makan nggak?!" Teriak Galen sambil menunjuk beberapa makanan di depannya.

"Makan aja."

"Widih, makasih banyak, Rad." Galen terlihat sangat senang. Cowok itu lalu mengambil salah satu cemilan sambil membuka ponselnya.

"Sisain buat yang lain juga woi!" Teriak Raiden.

Galen berdecak. "Iya, gue sisain. Gue nggak serakus itu kali, Den."

"Lo ngapain duduk di sebelah gue?" Tanya Galen ketika menyadari bahwa Zean tiba-tiba saja duduk di bangku sebelahnya. Bahkan cowok itu juga mengambil salah satu cemilan lalu memakannya.

"Emang nggak boleh? Ini kan bukan rumah lo," Zean melengos sambil menatap Galen sekilas.

"Lo nggak gabung, tuh?!"

"Nggak dulu."

"Dasar pemalas."

"Sibuk banget lo kayaknya. Ngapain? Dapet cewek baru?" Zean mengintip ponsel Galen sedikit.

"Ada sih cewek baru mah. Cewek yang deketin gue kan nggak ada habisnya."

"Tapi menurut gue sih, yang paling mantep di antara cewek-cewek simpenan lo itu cuma si Ruby," imbuh Zean.

"Gue akuin dia masuk ke salah satunya. Tapi ada juga Shanon yang menurut gue spek bidadari. Gue lagi deket sama dia. Sekalian juga biar gue move on dari Shafa."

"Shanon? Yang mana, tuh? Kayaknya nggak pernah denger. Anak kelas berapa?"

"Anak kelas sepuluh. Nih bentar gue tunjukin fotonya dari akun instagramnya. Kemarin dia baru aja follow gue." Galen lalu mencari-cari instagram Shanon. Setelah menemukan akun instagramnya, cowok itu lalu memberikan ponselnya kepada Zean.

"Tuh! Cantik, kan?"

Zean mengamati foto Shanon di ponsel Galen lamat-lamat. "Lumayan. Tapi menurut gue, masih cakepan si Ruby. Dia masih kayak anak-anak banget. Masih kelas sepuluh juga."

"Justru adik kelas itu lebih menggoda, Ze." Galen kembali mengambil ponselnya dari tangan Zean.

"Tapi lo belum pernah ketemu dia, kan?"

"Belum. Kemarin gue mau nyamperin dia sama Daplo, tapi dia lagi rapat osis. Besok mau anterin gue nggak, Ze?"

"Ogah, Len. Lo kalau mau ngapelin cewek, banyak gayanya. Males gue."

"Lo juga kalau mau ngapelin Archa sama Nara kayak gitu, kan?"

"Rad, lo kan pindah dari Bali. Terus kenapa lo milih buat ke Jakarta? Emangnya kenapa lo nggak di sana aja?" Tanya Raiden menghampiri Radion. Cowok itu mengelap keringatnya dengan handuk kecil yang dipinjamkan oleh Radion.

"Ada masalah yang buat gue pindah ke Jakarta."

"Apaan, tuh?"

"Gue punya mantan di sana, Den. Rumit pokoknya. Gue putus juga karena terpaksa. Karena suatu hal." Raiden hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak mau bertanya lebih lanjut. Lagipula ia baru saja dekat dengan Radion. Mungkin belum waktunya bagi dirinya untuk mengetahui masalah pribadi Radion.

"Pasti lo sayang banget sama mantan lo. Maaf kalau bikin lo keinget lagi sama masalah lo itu." Raiden menepuk bahu Radion pelan.

"Santai, Den. Nanti gue ceritain, tapi nggak bisa sekarang."

"Woi, kalau lo habisin makanannya, abis lo sama gue, Ze!" Teriak Arlan ke arah Zean yang kali ini sudah mengambil bungkus cemilan ke tiga.

"Kok gue doang yang di teriakin? Galen juga makan, tapi nggak lo ancem kayak gitu, Lan." Zean memberenggut.

"Jangan serakah, Ze. Cukup soal cewek aja lo serakah," lanjut Arlan lagi.

"Sialan! Kenapa jadi bawa-bawa cewek, sih? Gue abisin beneran nih makanannya." Galen di sebelahnya hanya bisa tertawa puas.

"Makan aja, nanti gue beliin lagi kalau kurang."

"Gue ke kamar dulu ya sebentar! HP gue ketinggalan di sana," ucap Radion.

****

"Udah, kan? Emangnya buat apa sih pake minta nomor HP aku segala?"

"Bukan buat chat lo, kok. Cuma buat di simpen aja. Siapa tahu ada yang darurat." Radion tersenyum singkat.

"Emangnya aku pemadam kebakaran? Pake darurat segala."

Radion tertawa mendengarnya.

"Makasih ya sekali lagi udah bantuin aku. Sebenernya kamu nggak usah repot-repot."

"Lo masih di ganggu mereka?"

"Di ganggu siapa?"

"Anak-anak cowok di kelas gue."

"Maksudnya temen kamu?"

Radion mengedikkan kedua bahunya. Entahlah ia sudah menganggap Raiden, Arlan, Zean, Galen, dan Daplo sebagai temannya atau belum. "Ya pokoknya mereka. Chlo sama temen-temennya juga gangguin lo, tuh."

"Aku kan pernah bilang, kalau mereka seneng gangguin aku. Mereka nggak akan berhenti gangguin aku."

"Lo bisa bilang ke gue kalau lo masih digangguin. Apalagi di gangguin sama anggota inti Camelion."

"Emangnya kalau aku bilang ke kamu apa bedanya? Apa ngaruhnya juga?" Tanya Alula polos.

"Gue bakal kasih peringatan ke mereka. Gue cuma mau bantu lo, Alula."

"Aku nggak mau di bantuin kamu. Kamu udah banyak bantu aku kemarin."

"Segitu nggak cukup. Gue bakal bikin mereka yang suka gangguin lo, berhenti buat gangguin lo," kata Radion dengan serius.

"Gimana caranya?"

"Lo nggak perlu tahu. Gue bakal pikirin gimana caranya nanti."

Alula mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi, kamu masuk ekskul musik cuma gara-gara ada aku di sini?"

Radion membelalakkan matanya. Cowok itu lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Kata siapa? Gue masuk ke sini karena suka main gitar. Dasar kepedean."

Alula tersenyum kecil mendengarnya. "Kirain karena aku."

"Ya nggak, lah."

Radion membuang nafasnya pelan. "Gue pulang duluan, ya! Lo hati-hati baliknya!"

"Iya, Radion. Kamu juga hati-hati bawa motornya."

"Gue bawa mobil," ralat Radion.

"Kalau gitu, hati-hati bawa mobilnya, Radion."

"Hm." Cowok itu lalu melangkahkan kakinya meninggalkan ruang musik. Juga meninggalkan Alula sendirian di sini.

"Dasar aneh."

Alula lagi-lagi tersenyum mengingat kejadian tadi sore di ruang musik bersama Radion.

Entah kenapa dirinya merasa senang Radion bersifat baik kepadanya. Sebelumnya semua orang selalu jahat kepadanya. Tidak ada rasa simpati sama sekali.

Radion bahkan sesekali menolongnya walaupun mereka belum dikatakan dekat.

"Emang dia bakalan chat gue?" Gumam Alula.

Seperti biasa, kehidupannya di sekolah dan di rumah sangat berbanding terbalik. Alula sangat ingin menunjukkan yang sebenarnya kepada orang-orang di luar sana. Tetapi ada satu hal yang mengurungkan niatnya.

"Kalau dia nggak chat gue, kenapa dia minta nomor HP gue? Dia pasti mau chat gue, lah."

Tiba-tiba saja Alula teringat akan Chlo. Perempuan menyebalkan yang tadi berhasil mengerjainya habis-habisan. Untung saja dirinya sudah membalas tingkah perempuan itu dengan memasukkan tikus kecil ke dalam tasnya.

"Apa Chlo demen sama si anak baru itu? Kenapa tadi dia bawa-bawa nama Radion?"

"Bodo, ah. Laper banget gue. Gofood kali, ya?!" Alula langsung menyambar ponselnya yang berada di atas meja. Gadis itu bangkit dari kasurnya lalu pergi keluar dari kamarnya.

Untuk apa ia memikirkan si anak baru itu?

****

"Lo mau ngapain sih, Bro? Nggak ajak anak-anak yang lain?" Tanya Cakra melirik Abimanyu yang tengah berjalan santai di sebelahnya.

"Bahkan lo juga nggak ngajak si Nevan, Bim."

"Berisik lo! Si Nevan aja lagi bucin di kelas ceweknya. Lihat aja nanti, dia bakal habis sama gue!"

"Jangan gitu, Bim. Kasian si Nevan."

"Gue mau samperin si anak baru itu."

"Radion maksud lo?"

"Siapa lagi?"

"Lo masih mau dia masuk ke Blidvinter? Kemarin kan dia udah bantuin Camelion, Bim. Akhir-akhir ini mereka juga sering bareng. Gue curiga kalau dia sekarang udah jadi bagian dari Camelion," ujar Cakra.

"Kacau, sih. Si anak baru itu kuat banget. Apalagi kita udah bayar orang buat bantuin kita. Tapi kita masih aja tetep kalah pas dia tiba-tiba dateng nolongin Camelion."

"Iya, tuh cowok jago banget. Kita masih bisa ambil Radion. Gue yakin, anggota Camelion belum narik Radion buat jadi salah satu dari anggotanya."

"Tapi gimana lagi cara buat kita yakinin si Radion itu, Bim? Dari kemarin dia juga selalu nolak kita. Bahkan dia juga pernah bilang kalau dia nggak akan pernah mau gabung ke Blidvinter ataupun Camelion."

"Kenapa jadi lo yang pusing? Ini biar jadi urusan gue. Pokoknya gue bakal terus ajakin Radion biar dia mau gabung ke Blidvinter. Dia bisa jadi salah satu kekuatan Blidvinter buat ngalahin Camelion."

Cakra hanya diam. "Setuju nggak lo?"

Cakra langsung mengangguk ketika Abimanyu menyikut lengannya. "Setuju, Bos."

Baru saja dibincangkan, mereka berdua sudah berpapasan dengan Radion di depan kelas ips lima. Panjang umur.

Abimanyu terkekeh ketika melihat Radion bersama dengan anak-anak inti Camelion.

"Mau ngapain lo? Jalan mah jalan aja, nggak usah pakai berhenti segala di depan kita." Raiden maju selangkah ke depan Radion.

"Lo sendiri berhenti."

"Tumben lo nggak rame-rame. Mana anak buah lo?"

Abimanyu menepuk bahu Raiden pelan. "Gue nggak ada urusan sama lo, Den."

"Terus? Urusan lo sama siapa?"

Siswa-siswi yang sedang duduk di sekitar mereka atau bahkan yang baru saja ingin melewati lorong yang sama, seketika bubar. Lebih baik mereka memililih jalan lain atau menunggu urusan selesai, dari pada mengganggu anggota Camelion dan Blidvinter.

Ada pula yang diam-diam menguping, menggosip, dan bahkan mengambil vidio mereka.

"Anak baru di belakang lo."

Raiden melirik Radion sekilas. "Udah cukup deh lo bikin masalah sama anak-anak Camelion. Mau bikin masalah lagi sekarang?"

"Gue bilang sekali lagi, kalau gue nggak ada urusan sama lo atau temen-temen lo! Gue cuma punya urusan sama anak baru di belakang lo. Emangnya dia udah jadi bagian dari anggota Camelion? Belum, kan?"

Arlan, Zean, Galen, dan Daplo di belakang mereka pun hanya bisa saling tatap.

Radion menepuk bahu Raiden. Menarik cowok itu agar berdiri mundur dan gantian Radion yang berdiri di hadapan Abimanyu.

Abimanyu tersenyum menatap Radion.

"Ada urusan apa sama gue?"

"Ya lo pasti udah tahu lah urusan gue sama lo apa. Tapi, lo masih inget kan kalau sebenernya Camelion itu lebih lemah dari pada Blidvinter?"

"Sialan lo! Bilang sekali lagi!" Teriak Raiden.

"Den, sabar dulu!" Arlan langsung menahan tubuh cowok itu.

"Mana buktinya? Kemarin aja gue lihat di depan gue sendiri, kalau Blidvinter kalah."

"Itu karena lo bantuin mereka. Lagian buat apa sih lo bantuin Camelion? Lo di bayar berapa sama mereka?"

"Lo sendiri bayar orang berapa buat lawan Camelion? Sedangkan, semua orang-orang bayaran lo itu kalah sama gue." Abimanyu berhasil di buat malu oleh Radion.

"Oke, lupain aja tentang kemarin. Tapi sekarang, tujuan gue ketemu lo tetep sama kayak kemarin. Gue ngajak lo gabung ke Blidvinter."

Raiden, Arlan, Zean, Galen, dan Daplo terkejut mendengar permintaan Abimanyu yang sangat terang-terangan di hadapan mereka.

"Ayo lah, Rad! Gue bakal kasih apa aja deh sama lo kalau lo mau masuk ke Blidvinter. Pokoknya apapun yang lo mau, bakal terpenuhi."

"Gila lo, ya?! Gue tahu otak-otak licik lo. Gue juga udah yakin kalau misalnya lo pasti mau Radion masuk ke geng sampah lo!" Zean mendengus.

"Emang kenapa kalau gue ngajak dia buat gabung ke Blidvinter? Lagian kan dia belum masuk ke Camelion. Bebas, dong?"

"Atau lo pada takut, kalau misalnya Radion gabung ke Blidvinter, Camelion bakal kalah?" Abimanyu memasang tampang meledeknya.

"Lo kali yang takut kalah. Buktinya lo mau si Radion gabung ke Blidvinter. Pasti lo mau jadiin dia salah satu kekuatan di sana, kan?" Arlan tersenyum sinis.

"Ya elah, Lan. Lo sensi banget kayaknya kalau lihat Blidvinter berjaya. Dari dulu lo nggak berubah-berubah, ya?!" Abimanyu geleng-geleng kepala.

"Lo kan punya urusan sama gue, jadi lo ngomongnya sama gue, jangan sama mereka!"

"Oke." Abimanyu kembali menatap Radion.

"Dengerin gue baik-baik!" Abimanyu mengangguk.

"Gue kan pernah bilang, kalau gue nggak akan terima tawaran lo buat gabung ke Blidvinter sampai kapan pun itu."

"Dan gue juga nggak butuh apa-apa dari lo!"

"Mampus lo!" Umpat Zean dari belakang. Cowok itu merasa puas karena Radion menolak ajakan Abimanyu dengan sarkas untuk bergabung ke dalam Blidvinter.

"Gue pikir lo udah berubah pikiran. Tapi ternyata, lo tetep teguh pendirian, ya?! Apa gara-gara sedikit lagi lo mau jadi bagian dari Camelion, makanya lo nolak ajakan gue? Atau karena lo udah di manfaatin sama temen-temen lo itu?"

"Bangsat lo!" Arlan dan Daplo kembali menahan tubuh Raiden yang ingin meledak sekarang juga. Omongan cowok itu benar-benar sangat menyebalkan dan membuatnya dongkol.

Radion menatap teman-temannya di belakang. "Kalau gue gabung Camelion emang kenapa? Lo takut?!"

"Kita takut, Bim? Yakali," tawa Cakra.

"Mereka ngapain, sih?" Alula sedari tadi memandang ke luar kaca kelasnya secara diam-diam.

Gadis itu tengah membaca buku di kelas, tetapi tiba-tiba saja dirinya mendapati Radion dengan teman-temannya di depan kelasnya. Juga ada Abimanyu dan Cakra dari anggota Blidvinter. Tentu saja Alula tahu bahwa Camelion dan Blidvinter adalah rival.

Apa yang akan mereka lakukan? Apakah mereka akan berantem di koridor? Pasti akan sangat menyeramkan.

"Radion beneran udah gabung ke Camelion? Kirain cuma main bareng sama mereka karena mereka temen sekelas." Alula mulai risau ketika mendengar Radion berbicara bahwa cowok itu telah bergabung ke dalam Camelion.

Entahlah, ia hanya takut Radion berubah seperti teman-teman yang lainnya. Yang suka mengganggunya dan meledekinya. Walaupun Alula tahu bahwa Radion pernah bilang bahwa cowok itu tidak akan seperti teman-temannya.

Alula menatap Radion yang tengah berbicara serius dengan Abimanyu. Sepertinya mereka memang sedang ada masalah. Terlebih lagi Raiden dan teman-teman di belakangnya yang menyorot Abimanyu dan Cakra dengan tatapan penuh permusuhan.

Lama Alula menatap Radion, gadis itu jadi tersadar, bahwa sebenarnya Radion tampan juga jika di lihat-lihat.

****

"Kenapa sih muka lo kayak sedih gitu, Kez?" Tanya Mora saat mereka sedang berjalan menuju kelas sehabis dari kantin. Tentu saja bersama Archa dan Nara juga.

"Tau, pas di kelas lo juga kayaknya bete banget. Gue sih kalau jadi Mora bakal pindah tempat duduk."

Kezia mendengus. "Jahat banget sih lo!"

"Terus lo kenapa, sih? Ada masalah?" Kali ini Nara yang bertanya.

"Sejak kapan Kezia ada masalah? Dia aja have fun mulu setiap hari. Kemarin baru aja shopping sendirian. Gue yakin si Kezia ngabisin duit banyak. Gila!" Mora geleng-geleng kepala.

Ya, karena terlahir dari keluarga yang kaya raya dan juga anak konglomerat satu-satunya, Kezia jadi sangat di manjakan oleh kedua orang tuanya.

Kadang kala orang tuanya melarang Kezia untuk tidak terlalu boros. Tetapi Kezia tidak peduli dan hanya melakukan hal sesukanya. Jika menurutnya ada sesuatu yang ingin ia beli, maka gadis itu akan langsung membelinya tanpa pikir panjang.

"Justru itu, Mor. Masalahnya ada di shopping."

"Kenapa? Bokap lo nggak akan bangkrut, kan?"

Kezia mendengus. "Ya nggak, lah. Jangan sampai."

"Kemarin tuh gue abis shopping lagi," cerita Kezia.

"What?!" Ketiganya langsung terbelalak kaget.

Bagaimana tidak? Hampir setiap pulang sekolah Kezia selalu menghabiskan waktunya ke mall. Mall adalah tempat kesukaan Kezia. Bahkan Mora, Archa, dan Nara saja sampai lelah menemani Kezia berbelanja.

"Tadinya gue cuma mau beli tas yang lagi gue incer, terus pulangnya makan. Eh, gue malah muter-muter ke toko lain dan malah ke goda beli yang lain juga. Abisnya barangnya bagus-bagus," kekeh Kezia.

"Terus yang jadi permasalahannya apa? Gue nggak heran lo kayak gitu, Kez. Ada barang bagus sedikit aja pasti mata lo langsung berbinar-binar."

"Yang jadi masalahnya itu, bokap gue marah besar, Ra. Bokap gue ngomel-ngomel abis gue selesai pulang belanja. Terus bokap gue ambil kartu atm gue dan cuma kasih gue uang seperlunya. Nyokap gue udah bantuin gue, tapi bokap gue tetep aja keras kepala. Katanya dia mau ngelatih gue biar nggak terus-terusan boros," jelas Kezia dengan tampang memelas.

"Tadi sih nyokap gue diem-diem kasih uang tambahan buat gue. Tapi mana cukup sih buat belanja-belanja? Palingan cuma cukup buat makan doang."

"Kali ini gue setuju sama bokap lo, Kez. Gue nggak perlu lagi tuh ngadu-ngadu ke bokap lo kalau lo sering belanja banyak." Mora terlihat puas melihat penderitaan Kezia.

"Ish, pasti gara-gara lo, kartu atm gue jadi di ambil bokap, kan?!"

"Enak aja."

"Udah lah, Kez. Kali ini lo stop belanjanya dulu. Palingan cuma sebulan sampai kartu atm lo balik. Lagian juga nggak shopping nggak bikin lo mati, kan?" Ujar Archa.

"Mati gue Cha, mati!" Kezia mengacak-acak rambutnya.

"Harusnya kemarin gue beli sepatu sama baju yang gue mau. Kemarin tas belanja gue udah penuh, makanya gue nggak jadi beli. Tau atm bakal di ambil papa, gue langsung ambil tuh semuanya." Mora, Archa, dan Nara lagi-lagi hanya bisa menggeleng.

Mereka berempat lalu kembali melanjutkan jalannya menuju kelas. Di tengah-tengah perjalanan mereka, Mora, Archa, Nara, dan Kezia berpapasan dengan Alula yang kebetulan ingin menuju ke arah yang berlawanan.

Merasa kenal dengan Alula karena masalah yang sedang ramai—juga sebagai teman sekelas mereka, Mora pun menahan pergelangan tangan gadis itu.

Alula terlihat terkejut. "K–kenapa ya, Mora?"

"Ternyata lo kenal gue?"

"I–iya kenal, lah. Kan kamu temen sekelas aku."

Mora tersenyum senang. "Kirain lo nggak kenal gue. Btw, nggak usah takut gitu lihat gue sama temen-temen gue. Kita nggak mau ngapa-ngapain lo, kok. Iya, kan?" Mora menoleh ke arah Archa, Nara, dan Kezia di sebelahnya.

"Iya, kita baik, kok. Kita nggak kayak anak-anak cowok yang suka gangguin lo. Contohnya kayak doinya Mora sama Archa tuh." Kezia tertawa.

"Iya, gue juga nggak tahu kenapa Raiden tumbuh jadi orang yang kayak gitu. Dulu dia nggak kayak gitu, kok. Walaupun emang galak sedikit, tapi dia ada sisi baiknya. Dia juga polos banget sama lucu."

"Kenapa lo jadi muji-muji Raiden sih, Mor? Dasar bucin," dengus Nara yang sudah bete di belakang.

"K–kamu temennya Raiden?"

Mora mengangguk dengan antusias. "Iya, temen dari kecil. Kita juga tetanggaan. Sekarang masih sering main, kok. Walaupun Raiden nya udah sok cuek gitu sama gue."

"Kamu suka sama Raiden?"

"Kalau itu, bukan urusan lo."

"M–maaf."

"Nggak apa-apa, santai. Kalau lo udah deket sama gue dan temen-temen gue, lo boleh tahu semuanya."

"Aku boleh deket sama kalian emang?" Tanya Alula pelan.

"Lo yang waktu itu di tolongin Radion, kan? Si anak baru di sekolah ini. Yang sekelas sama Raiden dan temen-temennnya?"

Alula mengulas senyumannya. "I–iya, itu aku. Tapi, aku nggak suka kok sama dia. Banyak yang benci sama aku karena hal itu."

"Tenang aja. Kita nggak bakal benci sama lo karena hal itu, kok. Radion emang ganteng, tapi di antara kita, nggak ada yang suka sama dia. Jadi, kalau lo emang suka, pepet aja." Alula lagi-lagi hanya bisa tersenyum malu sambil menunduk.

Sebelumnya Mora, Archa, Nara, dan Kezia tidak pernah mengajaknya berbicara walaupun mereka berada di kelas yang sama. Tetapi Alula tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang baik.

"Oh, iya! Kamu tahu dari mana emang kalau Radion akhir-akhir ini suka nolongin aku?" Tanya Alula.

"Gue tahu dari Raiden. Dia cerita sama gue, terus kayak agak kesel sama si Radion pas itu. Tapi gue juga nggak tahu kenapa mereka sekarang deket."

"Raiden?!" Alula terlonjak kaget ketika Archa, Nara, dan Kezia berteriak secara bersamaan. Benar-benar kompak.

"Iya, dia kemarin cerita sedikit sama gue. Biasa aja kali, nggak usah pake kaget segala."

"Tumben si Raiden mau cerita ke lo. Biasanya ngomong sama lo aja ogah-ogahan," gumam Nara.

"Kan gue udah bilang, kalau Raiden itu sebenernya baik sama gue," jawab Mora.

"Alula, gue denger-denger lo juga sempet di samperin Chlo?"

"Cuma masalah kecil kok, Mor. Nggak apa-apa."

"Tapi gue yakin lo nggak salah, kok. Chlo sama temen-temennya kan emang rada-rada," cibir Nara.

"Nggak apa-apa, Nara."

"Kalau lo di ganggu lagi sama mereka, lo bisa bilang ke kita, kok. Mungkin aja lo sungkan buat bilang ke orang-orang dan malah mendem sendiri. Kita bisa jadi tempat lo cerita, Alula."

Alula mengerjapkan matanya beberapa kali. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mora barusan. Bahkan di belakangnya, Archa, Nara, dan Kezia ikut tersenyum ke arahnya. Seolah-olah memberikan respon yang baik kepada dirinya.

Alula tidak percaya bahwa ada yang tidak membencinya di sekolah. Ia pikir semua orang di sekolah membencinya. Ia pikir tidak ada yang ingin berbicara dan membantu dirinya. Sekarang hanya Radion dan mereka yang bisa Alula percaya.

"Gue juga bakal bilang ke Raiden dan temen-temennya buat berhenti ganggu lo. Gue tahu pasti susah, apalagi Raiden sama temen-temennya susah banget di atur. Maafin mereka, ya?!"

"Lo mau ke mana? Kan bel udah mau bunyi. Mending ke kelas. Bareng, yuk!" Ajak Kezia.

Alula tidak bisa mengeluarkan kata-kata apapun lagi saat ini. Dirinya terlalu terkejut. Alula tidak pernah diperhatikan seperti ini oleh temannya. Alula juga tidak pernah di ajak bergabung dengan siapapun sebelumnya.

Alula benar-benar sendiri.

Apakah Alula akhirnya akan memiliki teman?

****

Siang ini pelajaran terakhir di kelas Radion kosong. Guru yang mengajar tidak masuk dan mereka hanya diberikan tugas untuk di kerjakan saat di rumah.

Radion, Raiden, Zean, Galen, dan Daplo sedang duduk santai di depan kelas mereka.

Mereka membicarakan banyak hal. Mulai dari Galen yang masih berharap kepada Shafa—gadis yang pernah meng-ghostingnya, Zean yang semakin tergila-gila kepada Archa dan Nara, Raiden yang anti sekali dengan perempuan, dan juga Daplo serta Radion yang saat ini belum terpikat dengan gadis manapun.

"Hari ini ada kumpul, jangan lupa lo pada dateng," ucap Raiden.

"Siap, Pak wakil!" Galen langsung memberi tanda hormat kepada Raiden,

"Ze, nggak ada alesan ya lo buat izin-izin. Terakhir kali lo izin kalau mau anterin nyokap bokap lo ke bandara karena urusan pekerjaan. Tapi nyatanya, Galen malah lihat lo ke distro besar-besaran yang waktu itu ada di Jakarta." Raiden menyindir Zean.

"Untung pas itu gue lihat si Zean di sana. Dia belanja banyak baju di sana nggak ngajak-ngajak gue. Parah, sih! Gue aduin aja ke Raiden."

"Jadi lo biang keroknya? Ngapain lo waktu itu ngikutin gue?"

"Siapa yang ngikutin lo? Pas itu gue salah jalan, malah kena macet. Pas macet gue lihat motor lo. Dari helm sama badannya juga lo banget, kok."

"Salah orang kali."

"Nggak usah ngelak gitu lah, Ze. Lagian waktu itu lo udah ngaku. Sekarang mau bohong lagi?"

"Kalau waktu itu gue ajak lo buat ikut, lo mau, kan?"

"Mau, lah. Gas!"

Daplo menyikut lengan Galen, membuat cowok itu mengangkat satu alisnya ke arah Daplo. "Kenapa, Dap?"

"Itu!" Galen mengenyit, menatap ke arah pandang Daplo.

Sedetik kemudian, Galen kembali tertawa hambar di susul wajah takutnya, melihat Raiden yang sekarang tengah menatapnya dengan tatapan ingin menerkam.

"Bercanda, Den. Gue kan nggak pernah izin-izin."

"Iya sih nggak pernah izin, tapi setiap ngumpul selalu dateng telat."

Galen mendengus menatap Zean. "Itu kan karena gue harus nyelesain masalah sama orang tua gue dulu. Kayak nggak tahu aja lo, Ze."

"Masalah apa? Dari dulu gue nggak pernah tahu masalah lo itu, Len."

"Kepo lo! Kalau mau tahu, jadi bagian dari keluarga Nathanio dulu."

"Ogah gue punya adik kayak lo."

"Abang, dong. Kan gue lebih tua dari lo."

"Beda sebulan doang."

"Sama aja. Jatohnya, gue yang lebih tua dari lo."

Radion, Raiden, dan Daplo yang sudah biasa mendengarkan cek-cok antara Zean dan Galen pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Nanti lo ikut aja kalau mau, Rad. Anak-anak yang lain juga pada seneng sama lo," kata Raiden.

"Nggak usah, Den. Gue ke sana kalau lagi ngumpul-ngumpul aja. Takutnya hari ini lo pada mau ngomongin hal yang penting."

"Santai aja."

"Den!" Raiden menoleh ke arah ambang pintu kelas. Di sana ada Arlan yang sedari tadi hanya menghabiskan jam kosongnya di dalam kelas—tidak ikut bergabung dengan yang lainnya.

"Kenapa, Lan?"

"Woi, Lan! Gabung lah sini! Galau mulu lo di dalem. Cewek aja nggak punya," teriak Galen.

"Berisik lo! Sini dulu, Den!"

"Bentar, ya!" Raiden lalu berjalan menghampiri Arlan.

Saat Raiden sampai di depan Arlan, cowok itu langsung menarik Raiden masuk ke dalam kelas. Menyeretnya dengan pelan ke pojok belakang kelas.

Raiden mengeryit. Tatapannya teralih ke arah sebagian siswa di kelas yang menatap ke arahnya dan Arlan.

"Kenapa sih, Lan?" Cowok itu lalu kembali menatap Arlan.

"Jangan terlalu deket sama Radion, Den."

Lagi-lagi Raiden hanya bisa mengernyit bingung. "Maksud lo? Emangnya kenapa kalau gue deket sama dia? Dia orangnya baik. Seru juga, kok."

"Tapi kedekatan lo sama dia udah di luar batas, Den. Nggak seharusnya juga lo ajak dia ke mana pun sama kita. Ke markas contohnya. Emang dia siapa, Den? Anggota aja bukan."

"Lo lupa? Dia yang waktu itu nolongin Camelion. Kalau nggak ada dia, Camelion udah bubar kali sekarang."

"Gue tahu, Den. Tapi apa lo nggak takut sama dia? Siapa tahu dia mata-matanya Blidvinter. Gue saranin, lo jangan terlalu terbuka sama Radion. Apalagi tentang masalah Camelion. Jangan pernah bahas masalah Camelion di depan dia kalau bisa."

"Dia bukan mata-mata Blidvinter. Gelangnya juga bukan gelang yang biasa anggota Blidvinter pakai. Bahkan kemarin si Abimanyu aja ngejar-ngejar dia buat jadi bagian dari Blidvinter. Santai aja lah, Lan. Gue tahu batasannya, kok." Raiden menepuk bahu Arlan pelan. Memaklumi kerisauannya.

"Lagian juga dia baik banget akhir-akhir ini. Dia banyak deket sama anak-anak yang lain. Bahkan dia sesekali beliin makanan buat anak-anak. Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Gue tahu dia orangnya kayak gimana."

"Tahu dari mana? Lo aja bahkan baru kenal pas dia pindah ke Jakarta," guman Arlan.

"Selama lo temenan sama dia, menurut lo dia gimana?" Tanya Raiden sambil menatap Radion dan Arlan secara bergantian.

"Ya baik, sih. Anaknya juga seru. Gue kalau ngobrol sama dia nyambung."

"Nah, ya udah! Nggak usah di bawa ribet, Lan. Gue mau gabung lagi sama mereka. Lo jangan kebanyakan di kelas, nanti diledekin sama Galen."

"Den!" Arlan kembali menghentikan langkah Raiden.

"Gue masih nggak ngerti kenapa lo ngizinin dia buat dateng ke markas, padahal dia sama sekali bukan anggota dari Camelion. Bahkan lo nggak segan-segan ngasih tahu rahasia besar Camelion ke dia. Camelion udah berantakan, Den. Gue nggak mau masalah jadi ribet lagi cuma gara-gara kayak gini."

"Lo yang bikin ribet, Lan. Gue tahu lo waspada sama orang-orang mencurigakan di luar sana yang mungkin aja bisa membahayakan Camelion. Tapi Radion nggak harus di curigai."

"Gue bukan kayak Brandon, Lan. Gue nggak kayak dia yang semena-mena ngurusin Camelion dan nggak becus. Gue sengaja ceritain semuanya ke Radion buat lihat apa reaksi dia setelah denger cerita dari gue. Nyatanya, dia nggak nunjukin hal-hal aneh. Gue juga nggak denger tuh dari mulut orang-orang tentang berita Camelion."

"Camelion di mata orang masih baik-baik aja, Lan. Walaupun di dalemnya kita ketar-ketir buat mikirin gimana Camelion kedepannya. Terbukti kan kalau Radion bukan si pembuat masalahnya?"

"Waktu itu Abimanyu tiba-tiba aja tahu kalau Brandon pindah ke Jepang. Padahal kita udah rahasiain ini ke semuanya. Bahkan kita udah bilang ke anak-anak buat simpan berita itu baik-baik. Jangan sampai kesebar. Kepala sekolah sama guru-guru juga nyimpen berita itu rapat-rapat, kok."

"Tapi kenapa anak-anak Blidvinter bisa tahu? Setelah anak-anak Blidvinter tahu, sebagian dari anak-anak di sekolah ini juga tahu gimana kondisi Camelion. Menurut lo siapa lagi mata-mata mereka kalau bukan Radion? Bisa aja Abimanyu pura-pura ngejar Radion biar kita nggak curiga. Pas Radion bantuin kita saat itu, bisa jadi itu juga strategi mereka. Bijak, Den!"

Ya, Radion memang sudah lama dekat dengan mereka. Bahkan Raiden tak segan mengajaknya berkumpul bersama anak-anak Camelion yang lainnya. Para anggota Camelion pun menyambut Radion dengan baik.

Selain karena cowok itu ramah, dan seru, Radion juga banyak membantu mereka. Bahkan cowok itu sesekali pernah memberikan saran untuk Camelion. Dan saran itu bisa di bilang sangat membantu Camelion. Radion juga sering mentraktir mereka dan membantu hal-hal lainnya.

"Gue hargai menurut pendapat lo, Lan. Tapi menurut penglihatan gue, Radion nggak kayak begitu. Sebelum kita deket sama dia, Blidvinter juga udah tahu kok kalau Brandon pergi ke Jepang."

"Siapa tau mata-mata yang lo maksud bukan si Radion. Bisa jadi salah satu anggota Camelion yang nggak pernah kita duga-duga sebelumnya, kan?"

"Lo mau jadiin Radion bagian dari Camelion, Den?"

Raiden menghela nafasnya pelan. "Kalau iya kenapa? Lo keberatan, Lan?"

"Woi, gue panggilin dari tadi lo berdua!" Raiden dan Arlan sama-sama terlonjak ketika melihat Zean yang sudah berdiri di ambang pintu kelas—menunggunya.

"Lagi ngomongin apaan, sih?"

"Kenapa lo manggil-manggil?" Tanya Raiden mengalihkan pembicaraan.

"Itu, si Galen ngajak ke kantin. Katanya laper. Mumpung jam pelajaran belum habis. Ayo, cepet! Radion, Galen, sama Daplo udah nungguin."

Raiden dan Arlan sama-sama mengangguk. Mereka berdua lalu mengikuti Zean ke luar kelas menyusul yang lainnya.

****

Kalian setuju nggak kalau Alula deket sama geng nya Mora, Archa, Nara, sama Kezia?

Menurut kalian Radion bakal jadi bestie anak-anak inti Camelion nggak, nih? Atau mungkin bakal jadi salah satu dari mereka?🤔

Just information kalau misalnya Zean tuh suka sama Archa dan Nara. Tapi Mora, Kezia, bahkan Archa nya sendiri nggak tahu kalau selama ini si Zean tuh deketin Nara juga. Kira-kira persahabatan mereka nanti gimana ya karena suka sama orang yang sama? Sad😭

Ada yang pernah ngalamin?

Jangan lupa buat pencet tombol bintang di pojok kiri bawah & ramein di setiap paragraf biar aku cepet update & semangat nulisnya💓

Don't forget to check 👇 :
Instagram : @cindeyaur
Tiktok : @cramelgurl

Thank u so much & love u 3000 yang udah setia nunggu update-an cerita Radion dan suka sama cerita ini🤗 support aku terus, yaa❤️‍🔥🥰

With love, Cindyy<3

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

618K 29.7K 46
selamat datang dilapak ceritaku. 🌻FOLLOW SEBELUM MEMBACA🌻 "Premannya udah pergi, sampai kapan mau gini terus?!" ujar Bintang pada gadis di hadapann...
MARSELANA kiaa द्वारा

किशोर उपन्यास

837K 44.2K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ARGALA 𝑵𝑨𝑻𝑨✨ द्वारा

किशोर उपन्यास

6.1M 262K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
RAYDEN onel द्वारा

किशोर उपन्यास

3.6M 225K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...