59-The Best Slash to Hug Tight

101 32 4
                                    

“Kalau aku ada di posisi adikmu itu, aku tidak akan mengharapkan perhatian-perhatian itu jika semua itu justru membuat kakakku menjaga jarak denganku.”

Bilah pedang Davin telah bersiap dalam posisi sempurna, tergenggam mantap dalam genggaman kebas tangannya yang terbuai gema dalam relung pikirannya.

Pangeran itu nyaris tenggelam dalam kehampaan lagi, ketika bibir gadis di depannya terbuka dan menyerukan suara yang dinanti-nantinya sejak tadi.

“Maafkan aku, Kakanda.”

Ah.

Ternyata begitu, ya.

Dan pedang dalam genggaman Davin terayun menebas. Pangeran itu mengeraskan rahangnya dalam ekspreksi yang dingin ketika angin terbelah oleh bilahnya. Rie tetap memasrahkan tubuhnya yang terbelenggu tak bergerak, memaksakan matanya agar tidak menutup. Meski menambah ketakutannya, setidaknya ia bisa melihat wajah kakandanya yang telah mengingatnya sepenuhnyaーwalau dalam kebencianーsebelum kematian menggelapkan pandangannya. Sementara wanita berjubah hitam di belakang Davin tak lagi menahan seringainya yang tertarik selebar-lebarnya penuh kepuasan.

Wushー

zret!

***

Bukankah dirinya memang bersalah?

Dalam detik-detik yang lambat, Rie menghitung berapa banyak gema pikirannya sendiri. Kilap bilah pedang di depannya mematikan seluruh kendali atas tubuhnya sendiri untuk bergerak, tak apalahーtoh Rie sendiri tidak berniat menghindar. Sepanjang ingatannya yang telah melengkap, Rie yakin dirinya tidak pernah melihat wajah Davin yang sedingin itu ketika menatapnya. Sepanjang masa lalunya saat masih berlabelkan status adik tiri, Davin tidak pernah menolaknya dengan kejam meski selalu frontal tak bertopeng.

Kali ini, Rie melihat seluruh jengkal gestur Davin yang dingin. Pedang tergenggam mantap dalam genggaman kedua tangannya, kakinya melebar sedikit membentuk kuda-kuda, dan kedua lengannya menarik ancang-ancang ke sisi kiri pangeran itu, bersiap melesatkan tebasan horizontal dari kiri ke kanan untuk memenggal leher Rie. Meski miris mengakuinya di ambang kematiannya sendiri, Rie mengagumi betapa kokoh postur kakandanya itu sekarangーmeski harus dalam posisi algojo kematian dirinya sendiri.

Biarlah, batin Rie penuh pasrah, mungkin setengah dosaku pada Kakanda bisa tertebus kalau dia sendiri yang membunuhku.

Gadis itu tetap membuka matanya setelah selintas redup membuatnya tak lagi membelalak. Dalam lambatnya waktu juga, Rie membuka mulutnya untuk melontarkan kata yang akan disesalinya jika tak diucapkan sekarang juga.

“Maafkan aku, Kakanda.”

Dan, bilah mengilap pedang itu terayun memecah waktunya yang lambat. Memelesat membelah angin. Kedua mata Rie tidak berkhianat dengan menutup mata di detik terakhir, tetapi sebagai gantinya kedua matanya justru kembali membelalak.

Meski di ambang kematian, insting Rie tidak mati. Dengan kedua matanya yang terbuka, Rie melihat gerakan kaki Davin yang bergeser mundur setengah langkah ke belakang, dan detik selanjutnya bilah pedang Davin menebas angin dengan cepat. Rie bisa melihatnya dengan jelas. Bilah pedang pembawa maut itu tidak merenggutnya ke dalam rasa sakit penggalan lehernya, hanya menebas udara kosong tepat di depan wajah Rie yang amat nyaris menyayatnya.

Tidak berhenti di situ saja, pedang Davin yang tidak memenggal leher Rie itu terayun penuh serupa poros ke sisi kanan tubuh sang pangeranーbahkan melewati pinggang Davin sendiri, dan detik selanjutnya pedang itu telah terlempar dari pegangan sang pangeran, memelesat lurus mencabik seringai lebar si wanita bertudung di seberang ruangan dengan sayatan yang menciptakan garis luka di bawah tulang selangkanya dan memanjang hingga lengan kiri atasnya.

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Where stories live. Discover now