41-Letters

149 32 2
                                    

“Assassin, kau benar-benar sudah mempersiapkan segalanya, bukan?”

Mengikuti hembusan angin, kabut hitam menelusup masuk ruangan itu. Tersingkap perlahan menampakkan sosok seorang pria yang berlutut patuh pada wanita di depannya. “Tentu saja, sempurna sesuai perintahmu, Lick.” Sebuah seringai terugurat menjadi penutup ucapan pria itu.

Wanita yang dipanggil Lick itu tertawa kecil, jenis tawa yang mampu membuat bulu kuduk siapapun yang mendengarnya meremang berdiri. “Kerja bagus. Mulailah rencana itu sekarang juga.”

Baik.”

Kata itu tertinggal dalam bingkai gema, sementara sosok Assassin yang tak bergeser sedikitpun dalam posisi kedatangannya berangsur menghilang tertelan kabut hitam yang kembali berhembus. Meninggalkan sosok si wanita yang meletakkan tangannya di permukaan lantai, memunculkan pendar merah berbentuk lingkaran berdetail huruf rumit yang mengelilinginya.

“Bersiaplah untuk hancur, gadis putih.”

***

“Rie, tolong bawakan serbuk kering cempaka putih!”

“Baik!”

“Siapkan air rebusan dalam panci dengan api kecil.”

“Siap!”

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Ruang Herba tengah melangsungkan kesibukan yang efisien dengan komando Evie dan gerakan cepat tanggap Rie seolah dikejar waktu. Awalnya Rie juga bingung dengan Evie yang tiba-tiba mengumumkan misi menyempurnakan racikan ramuan sehari-hari. Gadis berambut cokelat itu antusias beralasan tentang khasiat yang lebih manjur berkali-kali lipat adalah penemuan yang bagus, mana mungkin Rie punya alasan untuk menolak? Toh ini pekerjaannya juga.

Tiba-tiba di tengah kesibukan Evie yang tengah mengaduk-aduk serbuk kering cempaka putih ke dalam panci kecil yang dididihkan dan Rie yang meruntutkan tanaman-tanaman herba kering di meja, terdengar denting bel yang digoyangkan—tanda ada pasien di ruang sebelah.

Ketika Evie baru saja akan beranjak menurunkan lengan bajunya yang dilipat di atas siku, Rie lekas menyela, “Biar aku saja. Cuma kau yang tahu kematangan sempurna rebusannya, Evie.”

Evie mengangguk setuju, tidak keberatan. Rie pun bergegas melangkah melewati pintu penghubung menuju Ruang Kesehatan seraya merapatkan tudungnya. Begitu berganti ruangan, dilihatnya seorang pria berseragam prajurit terduduk di sofa, tangannya baru saja meletakkan kembali bel kecil pemanggil di meja kayu di depannya. Ketika Rie semakin mendekat, dapat dilihatnya wajah prajurit itu sangat pucat, nyaris terlihat benar-benar tidak dialiri darah.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Rie berusaha menjaga suaranya agar tidak terdengar dingin seperti biasanya—yang beberapa kali diprotes Evie ‘seperti ingin membunuh seseorang’.

Prajurit itu mendongakkan wajahnya menatap Rie yang berdiri beberapa langkah di depan meja. Gadis itu tersentak kecil begitu mendapati mata si prajurit memberinya tatapan yang kosong—seolah tak ada kehidupan di dalamnya—membuat Rie berpikir apa sakitnya separah itu?

“Sejak pagi kepalaku sangat pusing dan aku merasa mual tapi tidak muntah, apakah ada ramuan rempah-rempah yang menghangatkan?”

Rie segera mengangguk, berusaha mengabaikan suara dan cara bicara prajurit itu yang terdengar sangat monoton, membuatnya bergidik karena itu membuat si prajurit benar-benar mirip mayat hidup—tetapi gadis bertudung itu mencoba berpikir positif bahwa itu adalah gaya bicaranya. “Baik, mohon tunggu sebentar.”

Setelahnya Rie kembali ke Ruang Herba, menjelaskan pada senior tabibnya yang langsung menunjuk ke lemari berisi botol-botol ramuan kaca. Rie mengambil salah satunya, kemudian dihangatkan kembali sesuai instruksi Evie dan dibersihkan permukaan botolnya.

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang