58-The Worst Time to Remember

99 32 2
                                    

“Kakanda mau ke mana?”

Langkahnya tercegat oleh suara yang mengutarakan pertanyaan itu. Davin berbalik, menemukan seorang gadis yang tingginya di bawah bahunya itu tengah menatapnya intens. Sekalipun Davin tidak buta dengan selapis harapan di balik iris kristal gadis kecil itu, jawabannya tidak akan berubah. “Ada ujian. Maaf, ya, tidak bisa menemaimu bermain,”

Walau ucapannya mengutarakan maaf, Davin sadar suaranya sama sekali tidak menyiratkan itu. Pangeran itu tetap tidak peduli jika suaranya memang terdengar sedingin yang dipikirkannya.

Gadis berambut hitam itu mengerjap, dan Davin berusaha tidak memikirkan selintas kecewa di wajah adik tirinya itu. “Apa … ujiannya lama?”

Di waktu yang bersamaan, Davin menahan diri untuk tidak mendengus kasar ataupun langsung berbalik demi menghindari tatapan penuh gadis itu. “Ada dua ujian berturut-turut, uji pengetahuan dan uji hapalan pelajaran sosial.” Setelah memastikan gadis kecil di depannya itu mengangguk, Davin langsung berbalik dan berderap menyusuri lorong menuju ruang ujian yang terletak di sebelah arena berpedang. Tempat yang mungkin bisa disebut perpustakaan jika buku-bukunya bukan hanya buku pelajaran bangsawan yang disimpan dalam peti-peti dan dikeluarkan jika butuh saja.

Begitu Davin memasuki ruangan yang lengang dengan aroma kayu yang menguar seperti biasanya dan menarik satu kursi di depan meja, bermaksud memeriksa bukunya lagi demi menunggu gurunya yang tadi sempat bilang ada urusan sebentar, sadarlah Davin tangannya tidak membawa apa-apa.

Kepanikan melanda Davin, ia berusaha mengais ingatannya tentang di mana kiranya sebuah buku tebal bersampul keras itu? Buku itu adalah buku berisi jawaban-jawaban dari sekian risetnya menenggelamkan diri di dalam kamarnya bersama buku-buku. Tidak membawa buku itu sekarang, keringanan yang diberikan pasti hanyalah perpanjangan waktu dengan bonus laporan keterlambatan kepada ayahandanya—yang pastinya akan semakin menenggelamkan bayang-bayang Davin.

Kabut kepanikannya yang terlalu pekat membuatnya pikirannya yang berusaha mengingat menjadi tumpul, terbutakan oleh deretan kemungkinan buruk yang seolah sudah siap mewujud dari skenario sempurna menjadi kenyataan sempurna baginya—dalam hal buruk.

“Kakanda!”

Davin terkesiap dari benang kusut pikirannya, menoleh refleks ke sumber suara untuk menemukan kembali sepasang iris kristal seorang gadis kecil yang baru beberapa menit lalu ditinggalkannya. Hampir saja Davin melampiaskan kecamuk pikirannya kepada gadis kecil itu jika tangan mungil gadis itu tidak segera mengangkat sebuah buku. Tebal, bersampul keras dengan warna jingga tua. Sebelum Davin menyadarinya, tangannya sudah menyambar buku itu dan membuka halaman-halaman di dalamnya untuk memindai apa yang tertulis di dalamnya dengan kilat. Benar, itu bukunya. Dengan jawaban hasil perjuangannya yang tertulis rapi di kertasnya.

“Kakanda meninggalkannya di kamar tadi,” Gadis kecil berambut hitam itu berujar, diam-diam senyumnya terulas tipis sekaligus lega keputusannya bergegas menyusul kakandanya untuk menyerahkan buku itu tepat.

Davin mengalihkan pandangannya kepada adik tirinya itu, dengan senyum lebar terulas dalam anggukan kepala, pangeran itu mengacak-acak rambut hitam adiknyaーuntuk pertama kali. “Terima kasih banyak, Rie!”

Gadis kecil itu terperangah. Balas tersenyum dan mengangguk sebelum buru-buru keluar tanpa disuruh karena tahu ujian kakandanya akan segera dilaksanakan secara tertutup. Memendam kebahagiaan yang meletup-letup di hatinya tentang usapan tangan kakakandanya itu di kepalanya untuk pertama kali, suara kakandanya itu yang memanggil namanya secara langsung untuk pertama kali, dan senyum kakandanya itu yang terukir lebar penuh tulus di depannya pertama kali.

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang