20-Inside Her Heart

174 40 16
                                    

“Kumohon, Davin. Aku sudah lelah.”

Davin sungguh terpana ketika Orchidia mengucapkan kalimat itu. Selama ini ia selalu menjaga jarak sejauh mungkin dengan putri kedua Myreia itu demi menegaskan ketidaksetujuannya atas pertunangan sepihak dari orangtuanya.

Davin tidak mengelak mengakui bahwa Orchidia Aldie adalah putri yang menawan, parasnya jelita dengan sepasang mata berbinar bak menyimpan bintang. Kemampuan bicara persuasinya bagus, serta piawai memainkan biola. Ia tidak akan menolak jika seandianya dulu ia bertemu Orchidia lebih awal dan jatuh cinta dengan sendirinya pada gadis itu untuk ditunangkan.

Yang membuat Davin kukuh menolak adalah karena pertunangan ini tidak melibatkan yang ditunangkan, hanya dibicarakan antar orangtua seolah dirinya tak punya hak bersuara. Bertunangan tanpa cinta? Davin tidak bisa menyakiti tunangannya dengan memberi cinta palsu.

Kali ini, setelah sama-sama saling menghindar, Davin melihat sisi rapuh yang terbuka dari pancar keputusasaan di kedua mata Orchidia. Selaras dengan nada memelas dalam kata-kata gadis itu—membuat Davin yakin calon tunangannya itu tidak sedang berbohong saat memohon.

Dan segigih apapun Davin menjauhinya, ia tidak setega itu menepis permohonan tulus seorang gadis. Karena itu, Davin menunda langkahnya dan kembali mendudukkan diri. “Bicaralah.” Ucapnya nyaris tanpa emosi.

Bagi Orchidia, itu bukan masalah asal biang masalah yang hendak dibicarakannya itu menyimak untuk mempertimbangkan. “Bagaimana kalau kita akhiri saja permainan kejar-kejaran ini?”

Davin mengerjap, “Apa maksudmu?”

Putri kedua Myreia itu menghela napas, berusaha membentengi rasa sakit yang bergumul di hati agar tak terbaca calon tunangannya. “Kau tahu bukan, selama ini kita sama-sama tidak setuju atas pertunangan kita. Memberontak, saling menghindar, menjauh, menjaga hati agar tidak terjebak permainan pertunangan kedua orangtua kita. Tapi apakah kau tidak lelah, Davin?”

Melihat kejujuran tanpa permainan dalam perkataan Orchidia, Davin memutuskan mengesampingkan masalah egonya untuk saat ini dan balas membuka pandangannya sendiri. “Aku tidak akan takluk jadi anak ayam penurut kedua orangtuaku.”

“Tapi semakin lama kau juga retak, bukan?” Sang putri menyela cepat. “Setiap saat diceramahi untuk persiapan diperalat, dicerca beban mental, diberi tugas dan latihan ekstra. Belum lagi dibandingkan bak langit dan bumi dengan kakakmu.”

“Kalau soal itu, aku juga muak.” Sahut Davin ringan, “Tapi aku tidak akan membungkam pendapatku sendiri. Kedua orangtuaku memang tidak pernah mendengarkan, tapi aku tidak menyerah berpendapat. Karena mereka sama keras kepalanya, aku pun dicap pemberontak. Jadi sekalian saja aku benar-benar memberontak.”

Orchidia menekan kuat-kuat luapan emosi yang bergejolak di dadanya yang mendidih karena mendengar nada ringan suara Davin. Seolah tanpa beban, seolah semua akibat pemberontakannya sama sekali bukan masalah baginya. “Tapi aku tidak begitu, Davin.”

Davin berusaha menatap mata Orchidia yang tengah menundukkan kepalanya, dan percuma. “Kalau begitu, itulah kau. Dan inilah aku. Jalani saja seperti keinginanmu.”

Waktu yang berjalan sesudah ia melontarkan kalimat itu terasa begitu cepat dan kabur bagi Davin sebelum sadar sengatan panas dan perih menjalar di pipi kanannya. Dengung suara tamparan bergema di telinganya, membuat kesadaran pangeran itu kembali seraya meraba bekas tamparan di pipinya. Matanya melebar sempurna menatap tuan putri di depannya yang sebelah tangannya tergantung di udara. Napas gadis itu terengah, matanya yang berkaca-kaca menghujam keterkejutan di wajah Davin.

“Jalani saja sesuai keinginanku, katamu?!” bentakannya menggelegar, nyaris membuat Davin terlonjak. “Seandainya bisa, tentu sudah kulakukan, bodoh!”

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Where stories live. Discover now