26-Trace Back

159 36 6
                                    

“Jadi, hanya ada dua pilihan bagi kita untuk kembali ke Atlantix, dengan mengesampingkan penuh misi ekspedisi,” Fyn membuka pendiskusian dengan Rie setelah sarapan seadanya, menggelar peta yang untungnya masih utuh dalam sakunya. “Pilihan pertama, menyusuri balik jalur ekspedisi dari sini dengan menemukan jalan setapak terlebih dulu, lalu mencocokkannya dengan peta.” Telunjuk Fyn menyusuri jalur setapak yang diarsirnya.

“Pilihan kedua, turun jurang entah dari sini atau menyusuri sisi jurang sampai menemukan sisi yang cukup landai, sampai di hutan Rohen dan menyusuri jalan keluar yang mungkin akan memakan waktu sedikit lebih lama sampai ke istana.” Kali ini Fyn menolehkan kepalanya ke samping, di mana sisi jurang yang hampa memisahkan jarak terlalu jauh ke dataran hutan di depannya.

Rie mengangguk-angguk paham, “Tidak mau mencoba melompati jurang? Ke hutan di seberang?”

Fyn bergidik mendengarnya. “Kau hapal hutan sampai di seberang sana? Menurutku menyebrangi jurang sama saja semakin menjauh dari Atlantix, apalagi rumor-rumor tentang hutan seberang itu mengerikan.”

“Aku tidak pernah ke hutan seberang itu, sih. Menurutku juga sebaiknya tidak ke sana,” Rie menjeda sejenak, mengingat kalimat terakhir Fyn. “Memangnya rumor mengerikan apa tentang hutan seberang itu? Hantu penunggu?”

Fyn melipat kembali petanya sembari menggeleng. “Tidak, lebih mengerikan dari hantu penunggu. Konon, di hutan seberang itulah dulunya para penyihir Black Magic tinggal. Beberapa kejadian penumbalan warga juga ada yang mengatakan darahnya tercecer mengarah ke hutan itu. Mungkin hutan itu semacam altar ritual Black Magic?”

Rie menelan ludah mendengar Black Magic disebut-sebut. Sebagai aliran penyihir yang berlawanan dengannya, Rie merasa resah jika berurusan dengan Black Magic yang seenaknya berulah dan membuat desanya ikut dibantai. “Tidak mustahil,” desis Rie lirih.

Sang komandan yang menyadari perubahan raut Rie menjadi gelap, teringat satu hal yang sempat terlupakan olehnya dan mungkin bisa mengembalikan keceriaan gadis itu--yang walau entah bisa disebut keceriaan atau tidak. “Ah, Rie,” panggilnya menarik perhatian Rie, membuat gadis yang sekarang tidak mengenakan tudungnya itu menoleh ketika Fyn mendekat sambil mengeluarkan gumpalan kain kecil.

“Buka saja.” Ujar pemuda itu setelah gumpalan kainnya berpindah ke tangan Rie.

Gadis itu menuruti ucapan Fyn karena tidak mau menimbun rasa penasarannya lebih lama. Rie meletakkan gumpalan kain itu di tanah, mengurai simpulnya dengan sekali tarik di kedua ujung tali itu. Gumpalan kain terbuka, menggelar penuh dirinya sendiri dan menampakkan apa yang dilindunginya, membuat kedua iris kristal Rie melebar.

Meksi sudah tidak utuh lagi, pecahan-pecahan bernoda darah kering yang lebih kecil dari telapak tangannya itu amat dikenalinya. Terlebih baris ukiran emas yang terpatri di salah satu pecahannya, juga gagang kecil yang agak kotor oleh tanah itu.

“I-ini…ka-kapan kamu mengambilnya, Fyn?” dengan suara tercekat Rie bertanya. Kemarin ia sempat lupa tentang apa yang terjadi padanya sebelum berakhir dalam gendongan dua tangan kokoh Fyn, tapi lambat laun ingatannya kembali, bahwa dirinya kalap oleh amarah dan memicu sihirnya yang merembes tanpa penahan.

Fyn mengusap tengkuknya canggung, “Ah, ya, itu…Aku meraupnya sekalian ketika memapahmu yang jatuh pingsan. Aku tahu belati itu sangat berharga bagimu, tapi maafkan aku karena tidak sempat mengambil semua pecahan-pecahannya yang kecil.”

Rie menggeleng cepat, mengusap air matanya yang menggenang. Tadinya ia sudah berhasil menenangkan diri atas hancurnya belati pemberian ayahnya itu, tetapi mana ia sangka Fyn memunguti pecahan belatinya. “Tidak, tidak. Aku benar-benar berterima kasih banyak, Fyn. Sungguh.”

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Where stories live. Discover now