84-Pride

155 24 7
                                    

Atmosfer ruangan rahasia itu bergeming dengan ketegangan yang memadat di tengah-tengah ruangan—tepat di antara Fyn dan Davin yang berdiri tanpa mengendurkan kesiagaan masing-masing, dengan sang Raja yang duduk bersama intimidasi wibawanya.

Hingga sebuah tawa mengalun anggun, sontak menarik perhatian Davin dan Fyn dari Raja Atlantix dan kursi singgasananya pada sosok wanita yang baru mereka sadari keberadaannya.

“Sayang, kau tidak perlu menakut-nakuti mereka, bukan? Sapalah putra dan komandan pemanah kita ini dengan ramah,” Ratu Hera menepi anggun ke sisi singgasana suaminya dengan ucapan lembut. Manik matanya yang indah mengerling dengan sorot tak tertebak kepada dua pemuda di ambang mulut tangga. “Kita bisa repot kalau mereka mati ketakutan karena sikapmu sebelum kita mengorek taktik licik mereka, sia-sia tanganku tidak bisa memenggal mereka,”

Pemandangan baru itu kemudian tersaji di hadapan Davin dan Fyn—sang Ratu Atlantix yang dipuja-puja kelemah-lembutannya, kini menyandang pedang di atas sebelah bahunya yang dibalut lengan gaun hijau zamrudnya. Matanya yang sama sekali tidak mengindikasikan senyum ramah serupa bibirnya, menyimpan sorot dingin yang jelas tidak main-main dengan ucapannya yang bernafsu menebaskan pedang ke kepala seseorang.

Sekarang, Davin dan Fyn genap berhadapan dengan aura intimidasi dua orang yang saling melengkapi dengan klop itu.

“Maaf sudah mengejutkan kalian malam-malam begini, Ayahanda, Ibunda,”

Tapi pilihan mundur telah terhapus bersih dari kamus keduanya.

“Lagipula, bukan salahku kalian terlalu meremehkanku, lho?” Melengkapi kalimatnya, Davin tersenyum. Gestur tubuhnya melonggar tak lagi tegang—bukan berarti ia sengaja membuka kelengahannya sendiri, pangeran itu hanya menyesuaikan diri untuk menyanggupi permainan orangtuanya dengan senang hati.

Manik jelita sang Ratu berkilat, seolah menikmati usaha putranya yang mengikuti alur permainan, “Ya ampun, apakah itu menyakitimu? Atau juga, menyakiti adik tersayangmu itu?”

“Izin menyela, Yang Mulia Ratu,” Fyn mengangkat sebelah telapak tangannya yang terbuka sejajar telinga, mengulas senyum yang sebelas-duabelas dengan senyum Davin, “bukankah Anda sendiri yang akan tersakiti? Atau juga, sekaligus dengan rajamu tentunya?” balasnya sengaja meniru pola ucapan sang Ratu.

Sudut mata Ratu Hera berkedut meski samar, pertanda hatinya mulai terusik. “Kalau begitu, ini cuma masalah siapa yang dieksekusi terlebih dulu, bukan?”

“Cukup.”

Atmosfer ketegangan beku yang pertama kali meracuni kembali terdapatkan oleh sepenggal suara berat sang Raja yang menginterupsi. Menghentikan tarikan napas Davin yang terpaksa harus menelan kembali ejaan sahutannya, begitu pula membatalkan langkah Ratu Hera yang berniat maju untuk mengklaim lebih intimidasinya.

“Aku tidak membutuhkan perdebatan tak bermutu kalian,” sambung Raja Odies menghujam lebih dalam nada dinginnya pada kalimat berikutnya, “Davin putraku, pemberontakanmu kini kau persembahkan demi penyihir kecil laknat itu?”

Kedua mata Davin berkilat nyalang seraya menggeram rendah, “Dia bukan penyihir kecil laknat, kaulah Raja licik laknat yang sebenarnya.”

Alih-alih tersinggung, ekspreksi sang Raja justru seolah terhibur pada balasan putranya, “Pemberontak yang memalsukan kematian dengan kelicikannya sendiri mengataiku licik karena kehabisan kosakata?”

Tidak membiarkan pihaknya tersudut, Fyn menginterupsi dengan tegas, “Kami bergerak licik karena kau sendiri yang memulai dengan licik, Yang Mulia.”

Namun Raja masih bergeming, tak terkesan sama sekali. Sorotnya masih datar dan dingin ketika bergulir memindai bergantian Fyn dan Davin di hadapannya. “Intinya, kalian memilih memenggal kepala kalian sendiri dengan membela penyihir kecil laknat itu?”

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang