Chapter 06 - Obligation to Show Hostility

451 90 10
                                    

Matanya yang tak kehilangan ketajaman di usia yang menua itu berkilat dalam temaram. Seakan menantang sepi yang melingkupi seisi ruangan besar bermandikan kemegahan di setiap celahnya ini, menambah kesan angkuh tak tersentuh karena tirai di satu sisi dari kaca jendela itu mengukung rapat tertutup. Seakan-akan cahaya senja yang akan membajir dari barat hendak mengotori ruangan kebesarannya ini.

Lentera-lentera tempel di sepanjang sisi dinding satunya menyala, dengan masing-masing pijar cahaya yang terbatas namun berpadu sehingga mencukupi penerangan yang terpantul pada hamparan karpet merah di lantai. Sementara di ujung ruangan, tiga tangga undakan menjadi pijakan dari kursi singgasana yang bertakhta di sana, sekaligus dengan seseorang yang menyandang gelar pemilik takhta; sang Raja.

Di bawah penerangan sepasang tiang bercabang penopang tiga tabung lentera di sisinya yang berukirkan permata, tangannya yang tergurat banyak asam garam pengalaman seorang pemimpin tengah menampangkan beberapa helai kertas dalam genggaman. Sebelah tangannya lagi bertumpu siku pada lengan kursi kebesarannya, dengan buku-buku jari menyangga dagunya. Meski begitu, kedua mata tajamnya bergeming. Tidak menggulir baris-baris laporan kerajaan hari ini yang diterimanya, melainkan diam serta jauh menerawang ke dalam pikiran.

Ada laporan yang lebih penting untuk digarapnya dalam kepala. Laporan pertama yang menjadi permulaan buruk pagi harinya tadi. Andai putra keduanya yang menyampaikan laporan itu tidak pulang sebagai keajaiban usai menghilang selama satu minggu kemarin, seharusnya perasaan sang Raja tidak akan sekelam ini.

Laporan terburuk dari yang terburuk. Sudah kembali dari kematian sebab disayang keajaiban, malah membawa masuk istana seorang gadis asing seenaknya. Berdalih pula atas asas balas budi, memohon pertimbangan agar gadis asing itu diangkat menjadi tabib istana sebab kemampuannya yang diakui langsung oleh si pangeran kedua. Tidak bisakah putranya itu memberikan saja segepok emas dan mengusir gadis asing itu dari istananya?

Tidak. Sebenarnya, menampung bakat yang tersia-siakan di dalam telapak tangan kuasanya untuk ia petik sendiri manfaat darinya adalah prinsip favorit Raja Odies Gregorian. Menambah satu lagi bunga berkhasiat herba di taman istananya tidak akan jadi masalah.

Namun, lain bahasan bila yang dimaksudkan adalah gadis itu. Tidak salah lagi gadis yang dibawa Davin adalah sama. Lupakan kesamaan nama yang bisa didasarkan kebetulan—ciri-ciri fisik yang diperintahnya untuk dijabarkan Davin saat memberi laporan amat persis dengan segala muaknya pada gadis itu. Odies benci mengingatnya, tetapi kebencian itu nyatanya telah kembali.

"Seharusnya kubunuh saja gadis laknat itu dengan tanganku sendiri."

Sebelum kertas di tangannya hancur dalam remas pelampiasan, sebuah sentuhan halus dari tangan ramping yang lembut menunda urat-urat amarah di tangan pria itu menyembul lepas kendali.

"Tidak apa-apa, Sayang." Wanita yang baru mendekati sisinya itu berbisik, merdu suara halusnya selembut usapan jemari lentiknya di tangan kekar sang Raja. "Mungkin, dirimu yang dulu itu tahu; tidak akan seru bila dia dibunuh begitu saja tanpa penderitaan, bukan? Penderitaan yang baru sempurna untuk kau berikan padanya di panggung yang sekarang."

Bisikan itu bagaikan sebuah mantra, yang membuat bayang-bayang kelam di wajah Raja Odies seketika tergantikan oleh seringai lebarnya yang tersungging.

"Ya, kau benar, Hera." Dipanggilnya nama sang Ratu dengan penuh puas, sementara mata tajamnya memantulkan hasrat kebencian yang berkilat-kilat. "Takdir ini telah merestuiku untuk memberikan penderitaan sebelum kematian padanya."

***

Rie tidak percaaya bahwa hal pertama yang dilakukannya adalah berhibernasi tidur dari jam sepuluh pagi hingga jam enam petang.

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Where stories live. Discover now