70-The Two Bloomed Flowers

95 24 4
                                    

“Ma-maafkan kelancangan kami, Putri Rosa!”

Rosa terkikik pelan mendapati semua orang di ruangan yang baru dimasukinya itu buru-buru menunduk hormat dengan permintaan maaf formal. “Tak apa, tak apa, santai saja. Aku kemari cuma sendirian dan sebentar saja, kok.”

Davin yang berada paling dekat segera menghampiri putri sulung Kerajaan Myreia itu, lekas mengambil alih pegangan pintu dan menunduk sopan, “Maaf, Tuan Putri, silakan masuk dan—ah, maafkan ruangan ini yang sangat sederhana, Tuan Putri,” angguknya canggung.

Rosa mengulum senyum, melangkah maju memasuki ruangan dan membiarkan Davin menutup pintu di belakangnya. Namun, putri itu tidak melanjutkan langkahnya menuju sofa yang baru saja dikosongkan dan dirapikan menyejajari meja dengan buru-buru di tengah ruangan. “Sebelumnya maaf, ya, bukan maksudku tidak sopan menolak jamuan, tetapi waktuku benar-benar terbatas,” ujarnya lembut, membuat gerak-gerik orang-orang di ruangan itu kian gelisah.

“Kalau boleh tahu, apa gerangan yang membuat Tuan Putri repot-repot meluangkan waktu kemari?” tanya Davin dengan tetap menjaga kesopanannya serapi mungkin. Memang langka mendapati pemuda itu tunduk dalam formalitas, tapi mengingat Rosa adalah tunangan kakandanya sendiri—entah bagaimana hal itu memberikan aura yang membuat alam bawah sadarnya langsung merespon dalam hormat bak kepada kakandanya langsung. Di samping itu, topengnya sebagai anak penurut sejak minggu-minggu lalu secara tidak langsung meresap ke dalam refleksnya juga.

Rosa tidak langsung menjawab. Sebelah jari telunjuk diacungkannya di depan bibirnya yang terkulum—tanpa desisan, itu saja sudah cukup untuk memberikan kode diam kepada semuanya. Setelah semua orang benar-benar kompak tidak membuat suara sedikitpun, barulah Rosa mengeluarkan secarik lipatan kertas yang disembunyikannya di lipatan gaunnya, dan membentangkannya agar bisa dilihat semua orang.

Aku kemari atas titah Zac. Demi menghindari penyadapan, Zac memintaku menggunakan metode ini untuk menyampaikan sesuatu.

Napas-napas tercekat, lanjut bergulir ke baris selanjutnya yang membuat mereka semua menelan ludah.

Mulai besok, kalian akan diincar satu-persatu oleh Baginda Raja, untuk disingkirkan sebelum hari hukuman mati Rie. Apa kalian siap?

***

Seperti biasanya, pagi yang merebak membangunkan aktivitas di penjuru istana Atlantix dengan masing-masing jadwal kesibukannya. Mendung yang menggelayut bukanlah penghalang bagi para penghuni istana Atlantix untuk merampungkan kewajibannya masing-masing tepat waktu.

Dan di pagi yang mendung itu, ruangan besar di mana kursi singgasana Atlantix terletak, cahaya suram yang menerobos dari balik dinding kaca yang gordennya telah diikat ke samping itu dianggap cukup untuk menjadi penerangan sekedar saling mengetahui kehadiran satu sama lain. Lagipula, mengingat pertemuan di pagi mendung mereka yang amat rahasia ini, meskipun medan Black Magic telah dipasang mencegah yang tak diundang ikut serta, keremangan ruangan seolah membuat mereka bisa menghayati pertemuan yang akan menuai kesuraman hidup seseorang itu.

“Semua persiapan yang dititahkan sudah selesai, Yang Mulia,” Sosok wanita di balik tudung yang memojok dalam bayangan itu memulai, “Yang perlu Baginda lakukan hanyalah meruntutkan siapa gerangan yang paling Baginda benci, untuk menjadi yang disingkirkan pertama kali.”
Sang Ratu yang sedari tadi berdiri di sisi kanan kursi singgasana menyentuh lembut lengan suaminya, berujar menyarankan, “Sayang, bagaimana jika putra kedua kita yang sudah mulai menurut itu saja?”

Raja tersenyum dingin, menggeleng pelan, “Kita harus menunggu surat balasan dari Myreia sampai terlebih dulu untuk mengurusnya, Hera. Bersabarlah sedikit, nikmati saja dulu sikap penurutnya itu,”

Ratu Hera menarik kembali tangannya dengan gemulai, mengangguk memahami ucapan sang Raja dengan desahan kecil, “Ah … benar juga. Kalau begitu, siapakah yang beruntung akan disingkirkan pertama kali olehmu, sayang?”

Kemudian, satu nama tertitah oleh sang Raja. Menuai seringai lebar wanita berdarah Black Magic di hadapannya yang sudah tidak sabar menghabisi nama tersebut, serta mengulas senyum licik di wajah menawan Ratu Atlantix.

“Assassin. Dia yang sudah berani mengkhianati kita. Kuserahkan dia sesukamu bagaimana menyingkirkannya, Lick.”

***

Davin mulai berpikir tentang betapa hebatnya bangsawan Myreia bertingkah di luar jangkauan prediksi, ketika mendapati Evie dengan kode jari telunjuknya teracung ke ambang pintu, merujuk pada sesosok gadis bergaun bangsawan yang berdiri melipat lengan di ambang pintu.

Yang rupanya adalah Orchidia, putri kedua Kerajaan Myreia, ‘calon tunangan’nya sendiri.

Seketika kedua bahu Davin terasa berat mendadak, dan wajahnya ternaungi masam, “Tutup pintunya. Usir saja dia. Buat apa dia ke Ruang Herba untuk mencari seorang pangeran?”

Evie tergelagap, “Eh, a-anu, Davin, sebaiknya kau menemuinya dulu. Kulihat wajahnya serius sekali,”

Davin berdecak, berlagak menenggelamkan wajahnya dengan sebuah buku herba yang bahkan dipegangnya terbalik, “Abaikan saja. Dia memang suka sok serius, kok.”

“Pa-nge-ran,” Dalam satu gerakan cepat, buku itu sudah ditarik lepas dari genggaman kedua tangan Davin oleh sebuah tangan dari atas. Dengan jengkel Davin mendongak, menemukan gurat menyebalkan di wajah Fyn yang berkacak pinggang dengan sebelah tangan di depannya. “Seharusnya kau ingat bahwa kemarin kau setuju untuk tetap bertopeng jadi ‘pangeran baik’ demi mengamankan kita semua. Sana, tepati persetujuanmu!”

Davin berdecak, namun Fyn kembali melanjutkan sebelum sanggahannya membalas. “Lagipula, apa yang dikatakan Evie benar. Wajah tuan putri satu itu benar-benar sangat serius sampai aku merinding,”

Didesak dua orang ditambah kesepakatan tempo hari yang diucapkannya sendiri, pangeran kedua Atlantix itu akhirnya bangkit dengan kasar dari kursi kayunya. Melangkah lebar-lebar menyebrangi sofa dan meja dan berhenti tepat selangkah di ambang pintu. Tepat selangkah di hadapan Orchidia—yang ngomong-ngomong hampir tidak diingatnya karena kesibukan pemuda itu pada lingkup drama masalahnya belakangan ini. “Kalau kau kemari cuma untuk bicara sesuatu yang konyol, sebaik—“

“Davin,”

Davin tertegun mendapati ucapannya dipotong lugas oleh Orchidia—oleh suara tegas gadis itu yang juga hampir dilupakan olehnya. Kemudian, putri itu mendongak menyambungkan tatapannya tepat ke mata Davin yang lebih tinggi darinya, mengucapkan kalimat yang segera saja membuat Davin menyetujui pendapat Evie dan Davin—tentang bahwa betapa serius ekspreksi Orchidia.

“Aku ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting. Bisakah kau ikut aku sebentar?” []

◇◇◇

#hayo.
*kangen juga komen sendiri gitu XD

So, stay enjoy and appreciating please!

A/Z.

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Where stories live. Discover now