62-Unstable

104 26 19
                                    

“Jadi, apa yang akan Kakanda lakukan?”

Tak terganggu sama sekali oleh suara Davin yang unsur desakannya sudah tak lagi dibendung, Zac tetap santai mengangkat cangkir teh yang uapnya kini tinggal tipis mengepul karena panasnya telah habis didiamkan demi memberikan fokus penuh mendengarkan cerita—atau lebih tepatnya laporan Davin mengenai hukuman mati dari sang Ayahanda yang telah dijatuhkan tegas kepada Rie.

Sementara Davin berbanding terbalik dengan sikap santai kakandanya. Punggung pangeran kedua itu terlalu ditegakkan ketegangan sampai-sampai tidak menyandar punggung sofa sama sekali. Kedua telapak tangannya yang mengepal masing-masing di atas paha dengan siku tertekuk setengah terangkat berkeringat dingin. Posisi kelewat formalnya itu—yang tidak bisa dipercayanya—dapat bertahan teguh, selagi Zac menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan yang terhitung terlalu lambat bagi penantian tegang Davin.

Zac sendiri akhirnya meletakkan cangkir tehnya dengan denting pelan ketika beradu dengan tatakan keramik megahnya. Sulung Atlantix itu akhirnya sudah sampai pada batasnya mengulur-ulur waktu, sadar bahwa kekeraskepalaan adiknya itu yang sedang dalam mode terkukuh tak akan bisa dibengkokkan dengan penundaan waktu. Justru kalau semakin ditunda, jatuhnya pasti Zac sendiri yang repot diteror.

Maka, pangeran sulung itu menghela napas pelan. Menggulirkan tatapannya membalas tatapan menuntut sang adik dengan fokus yang diharapkan, dan menghilangkan semua unsur santai dalam suaranya ketika berucap menjawab.

“Aku tidak akan melakukan apa-apa.”

Seketika, kedua mata Davin melebar penuh ketidakpercayaan bersamaan suaranya menyanggah cepat, “Apa maksud Kakanda?”

Zac kembali menghela napas, seolah itu bisa mempertegas ucapannya sebelumnya. Pangeran itu berhenti mencondongkan diri dan kembali menyandarkan punggungnya pada sofa, walau tatapannya tak lepas dari lawan bicaranya. “Tentu saja tepat seperti yang kukatakan. Memangnya kau berharap aku akan melakukan apa?”

Tatapan Davin menajam, “Apakah Kakanda akan membiarkan adik perempuan Kakanda satu-satunya, dipertontonkan kepalanya yang dipancung oleh algojo pada khayalak atas hukuman kesalahan yang tak pernah diperbuatnya?”

“’Kesalahan yang tak pernah diperbuatnya’?” Zac mengulangi sepenggal kalimat Davin dengan penekanan lebih, “Bukankah dia memang bersalah? Sembilan tahun silam, aku tahu alasan Raja membuangnya itu hanya didasarkan kebencian konyol. Tetapi bukankah kali ini, adalah salah dia sendiri yang kembali menginjakkan kaki di Atlantix?”

“Kakanda tahu persis ingatan Rie terkunci soal itu sehingga ia tidak tahu apa-apa untuk menginjakkan kaki di Atlantix,” geram Davin rendah.

“Mungkin?” Zac mengendikkan bahu dengan lagak acuh tak acuh, “Tapi yang jelas, itu tidak serta-merta membuatku harus berdiri membelanya, bukan?”

Tatapan Davin kian menggelap, “Sekalipun Rie adalah adik perempuan Kakanda?”

Yang dibalas dengan sunggingan senyum asimetris Zac, “Sekalipun dia adalah adik perempuan tiriku.”

“Baik. Itu keputusanmu, jangan harap aku akan merengek memaksamu.” Davin bingkas berdiri dalam satu gerakan cepat—yang untung saja tidak membuat lututnya menyenggol meja dan menumpahkan teh seduhan kakaknya. Langkahnya tertata panjang-panjang mencapai pintu ruangan, namun pangeran kedua itu menahan gerakannya menarik gagang pintu sementara untuk menolehkan kepalanya tiga perempat ke belakang memindai sosok Zac yang masih diam di sofa. Menghujamkan tatapan sedingin dan setajam yang ia bisa bersama rentetan kata-katanya.

“Apa pun alasan tindakanmu ini, kau jelas-jelas berubah, Kakanda. Kuperingatkan untuk cepatlah kembali kalau tidak mau dilahap penyesalan yang terlambat.”

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin