11-Who

262 62 11
                                    

“Rie, kau baik-baik saja?”

Rie mendongak begitu merasa namanya dipanggil oleh suara yang familiar baginya. “Fyn?” dahinya mengernyit bingung.

Komandan pemanah itu mengabaikan keheranan dalam sahutan Rie, berjalan mendekat dan menangkup kedua tangan Rie untuk dicermatinya. “Mana lukamu? Hei, serius, apa yang terjadi sampai kau seperti ini? Mana bisa aku membawamu kalau kondisimu seperti ini?”

Kerutan di dahi gadis berambut perak itu kian dalam mendapati sikap aneh pemuda di depannya, “Uhm, aku baik-baik saja,” Rie buru-buru menjawab sebelum sikap Fyn semakin aneh, “Tunggu, apa maksudmu tentang ‘membawaku’?”

Fyn tersentak kecil, melepas pegangannya pada lengan Rie dan menghela napas. “Maaf, aku hanya—penjaga gerbang melaporkan kalian berdua yang pulang dari hutan dalam keadaan terluka cukup parah. Si pangeran itu sudah mempercayaiku untuk menjagamu, jadi aku langsung kemari untuk memastikan kau baik-baik saja, Rie.”

“Terluka parah?” Evie menyahut dengan mengulangi kalimat Fyn, sebelah alisnya terangkat. “Kami baik-baik saja, Komandan. Mungkin para penjaga itu salah menduga karena kami bermandikan darah—lihat!” gadis itu membentangkan mantel hijau yang sebelumnya ia pakai di hutan pada Fyn—menunjukkan noda darah yang mengotori setengah mantel itu.

Sontak Fyn berjengit melihat darah yang tidak sedikit pada mantel yang warna hijaunya tidak terlihat lagi itu. “Astaga, kalau kau tidak terluka parah maka darah siapa itu?!”

Rie menghela napas, tahu bahwa percuma saja berusaha menyembunyikan kecelakaan itu. “Serigala raksasa, kurasa ras Erbur, dia menghadang tiba-tiba di dalam hutan. Tapi—“ kalimatnya terpotong, gadis itu berpikir keras untuk mengatakan kejanggalan yang dirasakannya atau tidak.

Evie mencondongkan tubuhnya, sedari tadi Rie tidak mengatakan apapun padanya selain tentang darah sihir gadis itu dan meminta Evie untuk tutup mulut—yang langsung diiyakan olehnya. “Tapi apa, Rie?”

Fyn melipat lengannya di depan dada, bersandar pada lemari penyimpanan sembari mendesak lewat tatapan tajamnya. Rie yang tahu dirinya tak bisa mengelak lagi, akhirnya mengutarakan hal yang terus berkecamuk di benaknya sejak ia mengalahkan serigala di hutan.

“Hutan Rowen jelas bukan habitat serigala Erbur. Mereka hidup berkelompok di dataran tebing curam, tinggal di gua-gua tebing. Sedangkan hutan Rowen jelas hutan belantara dengan jurang curam, bukan tebing batu."

Evie-lah yang pertama kali menanggapi. “Ehm, mungkin dia tersesat?”

“Serigala Erbur adalah hewan dengan intuisi tajam, mereka memang agresif namun mustahil tersesat dari kawanannya.” Fyn memotong tidak setuju, rautnya terlihat dingin ketika berpikir serius. “Rie, jangan bilang—tidak, tidak, memang apa motifnya?” pemuda itu beralih pada Rie—terlihat sudah menangkap apa yang hendak dikatakan Rie sebenarnya.

Gadis berambut perak itu menggigit bibirnya, terlihat gusar. “Aku juga tidak tahu, Fyn, tapi hanya itu yang terpikirkan olehku. Karenanya aku ragu mengatakannya pada orang lain,”

Evie menoleh bolak-balik antara kedua orang yang sama gusarnya dengan pemikiran yang serupa, sementara dirinya tidak mengerti apapun yang tersirat. “Hei, apa maksudnya? Aku tidak sepintar kalian untuk tanggap pada informasi, kumohon.”

Rie menoleh pada Fyn, melayangkan tatapan meminta persetujuan yang disambut anggukan kecil komandan itu—yang hanya membuat Evie makin bingung. Untunglah Rie segera membuka mulutnya sebelum kepala senior tabib itu pecah karena menduga-duga. “Begini, Evie, kau tahu Black Magic?”

Evie mengerjap, detik berikutnya mengangguk. “Sihir aliran terlarang yang dekat dengan perjanjian iblis dan penganutnya gencar dibasmi kerajaan sejak dulu, kenapa?”

“Ada salah satu teknik khusus Black Magic dengan Serbuk Iblis, yaitu mengundang hewan buas khusus dengan menaburkan jejak serbuk itu yang akan diendus hewan yang sudah ditandai dengan pengaruh nafsu membunuh iblis.” Fyn mengambil alih menjelaskan, mendengus kasar. “Intinya, serbuk itu bisa memancing hewan buas untuk melenyapkan korban dari jarak jauh. Trik yang efisien untuk pembunuhan gelap.”

Rie mengangguk membenarkan, “Aku curiga ada seseorang yang menggunakan Serbuk Iblis untuk memancing serigala Erbur menyerang kita.”

Evie mengerjap, “Eh, apa?!” Otaknya mencerna ulang kata-kata Rie, seketika sekian pertentangan muncul dalam benaknya. “Mustahil! Siapa yang menggunakannya?! Penganut Black Magic sudah lenyap seluruhnya sejak pembasmian kaum penyihir sejak sepuluh tahun lalu, bukan?!”

“Pasti tidak semuanya lenyap.” Potong Rie cepat. “Pembasmian besar-besaran kerajaan pun pasti ada celahnya, mengakibatkan beberapa penyihir hitam masih hidup. Dan justru penyihir yang tak bersalah yang terbunuh…” suaranya melirih di akhir kalimat, rautnya menggelap menyinggung masa lalunya sendiri.

“Tapi siapa yang menggunakan Serbuk Iblis itu?” Evie kembali menyahut, membuat Rie bersyukur dalam hati tidak ada yang menyadari bahwa dirinya baru saja menyinggung masa lalunya sendiri. Meski Evie tahu dia adalah penyihir, hanya sebatas itu saja yang diketahui rekan tabibnya itu. “Harusnya hanya penganut Black Magic sendiri yang bisa menggunakan teknik itu, bukan?”

Fyn mengangguk, “Benar. Dan itulah pertentangan terbesar dalam dugaan ini.”

“Yang kalau ternyata ditemukan bukti terkait, akan jadi masalah besar.” Sambung Rie membenarkan. Untuk bagian satu itu, dia menolak menjelaskan lebih lanjut saat didesak Evie yang penasaran.

“Oh, iya, apa maksudmu tadi tentang ‘membawaku’, Fyn?” Rie mengalihkan pandangannya pada sang komandan yang masih tenggelam dalam pikirannya—sekaligus mengalihkan perhatian Evie dari topik sebelumnya.

Fyn mengangkat wajahnya, mengingat sejenak sebelum mengerti apa yang dibicarakan Rie. “Oh, benar juga. Syukurlah kau baik-baik saja, Rie. Rencanaku tidak akan berantakan.” Pemuda itu seketika berubah riang ketika banting topik.

Justru Evie yang mengerutkan dahi, “Rencana apa?”

“Karena Rie kemarin menyelamatkan pangeran di hutan Rohen—hutan di bawah jurang hutan Rowen—maka aku mendaftarkannya sebagai penunjuk jalan dalam misi ekspedisi kerajaan nanti lusa. Kau siap, bukan, Rie?”

Rie menatap pemuda berambut hitam kemerahan itu dengan mata melebar sempurna. Sejak pulang dari hutan firasat buruknya belum surut juga—apakah ini gerbang kesialannya selanjutnya?

***

“Hm? Kukira kau sungguh-sungguh hendak melakukannya?”

Pertanyaan bernada lembut namun tersirat sarkastik dari seorang wanita berpenampilan anggun itu membuat lamunan sang Raja pecah untuk menoleh. Ia tercekat ketika matanya terkunci dalam sepasang manik hazel wanita yang mengulas senyumnya itu.

Detik berikutnya kepalan tangan penguasa Atlantix itu menghantam pinggiran kursi tahtanya. Emosinya sudah begitu memuncak untuk dilampiaskan tanpa memikirkan kemungkinan nasib buruk kursi kebesarannya itu. “Tidak! Aku sungguh-sungguh melakukannya, Hera! Aku melaksanakan rencana kita sesuai kesepakatan, ada yang salah di sini.”

Pemegang kuasa tertinggi kedua negeri Atlantix itu melangkah mendekati suaminya dengan tenang, tatapannya tak lepas menghujam manik sang Raja. “Kalau begitu, kau hanya perlu menguatkan tekad, bukan? Dia adalah penyihir sejati, Odies. Tak ada alasan untuk ragu membunuhnya.” Wanita itu mengusap lembut kepalan tangan suaminya, yang kemudian mengendur kembali.

“Kau benar, Hera.” Sang Raja mengangkat wajahnya, menyunggingkan seringai lebar sejuta makna yang tak pernah ditunjukkannya selain pada sang istri. “Aku sudah siap untuk rencana berikutnya. Sesuai janjiku, dia akan lenyap secepatnya.”

Hera mengulas senyum puas, berganti mengusap pundak kekar suaminya. “Aku juga akan ambil bagianku, Odies.” []

Keep enjoy reading~

Arigato,

A/Z.

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu