78-Those Sparkling Hopes

102 25 4
                                    

"Assassin...?"

Dalam bayang-bayang, seringai pria itu tersungging miring. Manik kelamnya yang selaras dalam keremangan berkilat dengan segenap kesadarannya-mematahkan segera spekulasi pertama Rie bahwa pria itu tengah dalam kendali menjadi boneka Lick untuk menghabisinya.

"Hei, cepatlah bangun, Nona White Magic. Jahatnya kau menganggurkan uluran tanganku,"

Lagipula, siapa lagi selain Assassin yang menggunakan celetukan kelewat santai begitu untuk mengenyahkan kebekuan waktu sebab terperangahnya Rie? Pada akhirnya, Assassin sendirilah yang menyambut tangan Rie untuk menariknya berdiri tanpa basa-basi lagi.

Barulah ketika kedua kakinya menjajak tegak kembali, Rie tersadar untuk menemukan suara demi pertanyaannya, "Bagaimana-kenapa-untuk apa kau kemari...?"

"Mana yang harus kujawab dulu, hm?" kekeh Assassin seolah menikmati gurat wajah Rie yang terpahat kaku itu, "Kalau ditanya bagaimana dan kenapa, curang kalau aku sendiri yang mengklaim semuanya. Tapi kalau untuk apa, aku sudah menghapal jawaban singkatnya, kok,"

Rie tersentak kecil ketika mendapati tangan Assassin membawanya untuk melintasi selaput Black Magic di sisi teralis ruang selnya, "Tung-"

"Tenang saja, Nona White Magic," ucap Assassin, menahan sejenak langkahnya untuk mengeratkan genggamannya pada tangan mungil Rie yang dingin sembari menyempatkan seulas seringai tipis, "Untuk apa, huh? Tentu saja untuk menyelamatkanmu-sesimpel itu, maka jadilah."

Rie tercenung, sesuatu dalam batinnya terasa bergolak. Emosi apakah yang ingin dimunculkannya kini? Bagaimanakah ia harus bereaksi ketika Assassin memanfaatkan bungkamnya dirinya dengan langsung menarik lebih kuat tangannya untuk melintasi-

"He-hei!" Sontak Rie tergagap panik begitu sadar langkahnya telah tersaruk hampir menyentuh selaput kabut hitam yang berdenyar memberikan tekanan baginya itu. Namun sudah terlambat bagi gadis itu untuk meronta, dalam satu tarikan kuat tanpa mengulur-ulur waktu, Rie telah melewati lapisan tembok Black Magic hingga kakinya menapak di luar bilik selnya.

"Eh...?" Bagaimana bisa aku tidak ditolak selaput Black Magic itu?

"Aku sudah bilang tenang saja, lho," Ketika Rie menoleh, didapatinya tangan Assassin yang tidak menggenggam tangannya terangkat melepas sebuah lipatan kertas berbentuk persegi kecil yang menempel di sisi tembok Black Magic. "Oke, waktu kita tidak banyak. Masih ingat cara berlari secepat mungkin, Nona White Magic?"

Tak ada detik yang disediakan Assassin bagi Rie untuk menjawab, gadis itu hanya bisa menjawabnya langsung dengan tindakan sebab pria itu telah memacu langkahnya berderap cepat di lorong penjara yang sunyi. Mana mungkin Rie mau tangannya robek digeret sepanjang jalan? Maka gadis itu lekas membuktikan bahwa jawaban untuk pertanyaan Assassin tadi adalah 'tentu saja'.

"Tunggu, Assassin! Mustahil Raja tutup mata atas pengkhiatanmu pada kubunya, bukan?!" tanya Rie berseru di tengah derap langkah dan deru napasnya.

Assassin mengerling sekilas ke belakang, "Tentu saja mustahil. Aku sudah hampir mati hari itu-"

"Hampir mati?! Kena-"

"Dasar, kau tambah cerewet saja habis dikurung semingguan, ucapanku belum selesai! Hari itu aku memang hampir mati terseret portal sialan si nenek sihir, sampai aku tidak menyangka bahwa senior tabibmu itu menyelamatkanku-sekaligus memberiku napas untuk membuat strategi."

***

Hari itu, saat itu, kejutan bukan hanya dari kedatangan tak terduga Orchidia yang menyeret Davin keluar untuk suatu pembicaraan dengan wajah serius. Satu kejutan lagi adalah ketika Assassin mencapai puncak emosi tidak bisa memaafkan Lick, ketika tahu mantan tuannya itu mengunci kertas kontraknya-yang seharusnya sudah musnah dan tidak berlaku lagi selepas dirinya hengkang di tengah kontrak, dengan munculnya sebuah portal pemanggil.

Sepertinya, kesialan Assassin masih berlanjut dari kemarin hingga hari ini. Dari Lick yang tiba-tiba merepotkannya dengan duel dadakan untuk menghalanginya mencegah pembekukan Rie ke tahanan tempo hari-dan hari ini, pria itu tengah terseret portal laknat yang ia tahu pasti akan membawanya ke hadapan mantan tuannya itu.

Mana sudi Assassin bertekuk lutut di hadapan wanita ular itu? Tapi sekarang, apa yang bisa dilakukannya? Percuma saja dirinya tetap menjaga sebelah lengannya terjulur bertolak dari gaya tarik magis portal di belakangnya-tak ada satupun benda yang berhasil diraihnya sebagai pegangan.

"Assassin!"

Kemudian, suara itu menjeritkannya.

Lalu, tangan itu meraihnya.

Seketika, seluruh pusaran gaya tarik lubang portal di belakangnya lenyap. Keseimbangan Assassin langsung jatuh terhempas tertarik gravitasi normal ke lantai ruangan, beserta segala benda-benda yang sebelumnya berpusar kalang-kabut.

Dengan kepala pening yang dipaksakan berusaha mencerna situasi, Assassin tersentak bangkit seketika kala merasakan sepotong tangan yang masih menggenggam tangan kanannya. Tangan seorang gadis berambut cokelat kucir dua yang setengah tergeletak.

"Kau, bagaimana bisa-"

Gadis itu mendongak terperangah, membalas sorot ketidakpercayaan Assassin dengan kerjap bingung setengah linglung.

Beberapa detik berikutnya mulut Assassin masih terasa kaku untuk memuntahkan segala pertanyaan yang membanjir dalam benaknya seketika. Pikirannya yang bercabang lebat menerka-nerka, menyadari bahwa tangan si Nona Tabib yang menggenggamnya terasa basah.

Assassin menarik tangannya segera. Merentangkan telapak tangannya menghadap wajahnya sendiri, mencermati tetes-tetes cairan yang turut membasahi tangannya dari tangan Evie. Tidak berwarna selain agak keruh, tidak juga tercium aroma khusus yang tertangkap indra penciumannya ketika mengendus.

Alih-alih, sesuatu seperti serbuk debu yang berjatuhan terhirup hidung Assassin, membuat pria itu bersin setengah terbatuk seketika. Di sisi lain, ia mendengar sahutan bersin lain diikuti gerutuan yang dikenalinya khas Fyn. "Huh? Serbuk putih apaan ini?"

Serbuk putih?

Assassin menoleh, mendapati sosok Fyn yang berjongkok menekuri sesuatu di lantai di hadapannya. Refleks pria itu turut menunduk pada lantai di dekatnya, dan melihat butir-butir serbuk putih serupa pasir halus yang tersebar mengotori lantai. Segera saja Assassin mengusapkan telunjuknya ke lantai hingga serbuk putih itu menjejak tertempel ke ruas pertama jari telunjuknya. Tak sengaja menghirupnya lagi, Assassin kembali bersin terbatuk-tapi setelahnya, napas pria itu terasa terhimpit sedikit sesak. Memang sejak kapan pernapasannya sensitif terhadap debu?

"Hm, Evie? Jangan-jangan ini serbuk yang sama seperti serbuk waktu itu?"

"Oh, memang sama, kok. Setelah kau bilang serbuk waktu itu ampuh, aku jadi penasaran dan memutuskan meraciknya untuk kusimpan sedikit-uwaah, sayang sekali sekarang semua serbuknya terbuang sia-sia...,"

Assassin menoleh bergantian pada Fyn dan Evie, "Serbuk waktu itu apa yang kalian bicarakan?"

"Penetral Serbuk Iblis racikan Evie," sahut Fyn, "Waktu awal-awal Rie diincar sampai mengacaukan ekspedisi yang kupimpin, aku mengantisipasi Serbuk Iblis Black Magic yang bisa mengendalikan nafsu membunuh binatang liar dengan meminta Evie meracik penetralnya dari jejak Serbuk Iblis yang kami temukan,"

"Kau bisa membuatnya?!" Tangan Assassin menyambar kedua bahu Evie di depannya seketika, "Kau berhasil meracik bahan-bahan dan takaran yang tepat untuk menetralkan Serbuk Iblis tanpa bantuan sihir sedikit pun?!"

Evie tergagap kaget, hendak menata jawabannya sebelum Assassin kembali berseru menyela, "Tung-berarti, serbuk putih ini, ramuan yang tumpah ke tanganmu-adalah racikan Penetral Serbuk Iblis buatanmu?"

Menelan ludah gugup, gadis tabib itu mengangguk. Membuat Assassin yang berhasil menyeruak segenap ketidakpercayaannya, mendapati secercah cahaya untuk merancang sebuah strategi. []

RIE [Revisi Mayor On-Hold]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें