Chapter 04 - Let the Fate Last

532 124 44
                                    

{ Silakan mainkan video di multimedia untuk pengalaman membaca yang lebih baik~ }


"Kumohon—istirahat ... sebentar saja!"

Davin rasanya sudah hampir mati ketika ia akhirnya memberanikan diri mengatakannya.

Di depannya, punggung yang dibalut jubah panjang itu terkibas berbalik, menghadapnya dengan tatapan heran yang dapat dirasakan Davin dilayangkan padanya. "Sebentar lagi, kok. Lagipula, apa staminamu selemah itu? Baru satu jam lalu kau hampir jatuh lagi ke jurang karena meleng saking lemasnya."

Dengan napas terengah yang putus-putus, Davin memutuskan untuk melemaskan sendi lututnya dengan duduk merebah di tanah berlapis dedaunan kering sembari menyandarkan punggungnya yang merosot di batang pohon. "Seharusnya aku yang bertanya, kau ini manusia, bukan, sih? Staminamu yang terlalu tidak masuk akal!"

Rie mengedik, memiringkan sedikit kepalanya. "Bukankah normal stamina seorang manusia bisa mendaki bukit curam, menyebrangi arus deras air terjun, memburu makan siang di hutan, dan berjalan beberapa kilometer dalam waktu setengah hari?"

"Sama sekali tidak, tahu!" seru Davin tak habis pikir. Terlebih, bagaimana pula gadis itu bisa mengucapkannya seringan arakan awan? Ah, rasa-rasanya Davin mulai berangan untuk terbang saja.

Rie hendak balas menyanggah bahwa itulah yang selalu dilakukan staminanya tanpa lelah, tetapi tidak tega dengan napas Davin yang kelihatannya salah-salah akan habis kalau diajaknya lanjut berdebat. Gadis itu merogoh tas selempangnya, menyodorkan sebuah kantung kain dengan sedikit menunduk pada sang Pangeran yang tepar. "Nih, makanlah beberapa butir Arbei Dermer. Buah ini bagus untuk memulihkan stamina, terutama dengan rasa segarnya. Supaya aku bisa mengantarmu ke gerbang istana sebelum hari gelap."

Sebelum hari gelap itu berarti kurang dari tujuh jam lagi. "Serius, aku sama sekali tidak diburu waktu, kok, Rie. Jadi—"

"Akulah yang diburu waktu, Pangeran," sela Rie, tak bisa menahan kejengkelan yang tertuang dalam suaranya. "Apa kau pikir aku tidak bekerja untuk bertahan hidup? Sementara waktuku disita olehmu yang bermental manja, itu berarti nyawaku sedang dikejar waktu. Tolong, coba berjuanglah dengan baik untuk pulang dengan selamat."

Mendengarnya, selintas rasa bersalah dan kesadaran yang baru datang menyergap batin Davin. Demi mengalihkan tensi, ia mencoba bertanya, "Kalau boleh tahu, memangnya apa pekerjaanmu, Rie? Bukankah kau hidup nomaden?"

Benak Rie menimbang-nimbang, sebanyak apa kiranya kadar kejujuran yang aman ditambahkannya ke dalam jawaban? "Tergantung—aku bekerja dengan memanfaatkan gaya hidupku yang nomaden, membalik kata-katamu."

Tampaknya, Rie tidak berniat membicarakannya lebih detail. Apa daya, mana bisa Davin memaksa—salah-salah, akan ada lagi pisau yang bersua dengan lehernya. Lagipula gadis penolongnya itu memang cenderung tertutup—sejak bertemu lima hari lalu, segala yang dilakukan gadis itu hanya berhubungan dengan apa-apa demi menolongnya. Tudung jubah yang selalu rapat dikenakannya seolah mencerminkan betapa gadis itu menutup diri, tidak membiarkan orang lain mencari tahu lebih tentang dirinya, pula tidak tertarik untuk terlalu tahu tentang orang lain. Obrolan di sunyi yang luang selalu dimulai oleh Davin, dan dijawab singkat nan efisien saja oleh Rie—seakan apa yang dilakukan keduanya bukanlah sebuah percakapan ringan, melainkan kuis tanya-jawab yang punya standar tata cara memberikan jawaban. Itu pun tak pernah berkembang panjang, sebab tatapan terganggu Rie selalu jujur mengatakan kapan ia harus mengingatkan Davin agar tutup mulut.

Di mata Davin, Rie adalah seorang gadis yang aneh—karena misterius terlalu keren untuk menggambarkannya. Perawakannya yang mungil dan terkungkung jubah sekaligus, hanya terlihat lemah dan rapuh sekilas, sebelum Davin menyadari berapa kali dirinya kalah tangkas baik dari kibas tangan dan langkah kakinya. Terkadang pula, sisi lain Rie yang mengerikan baginya bisa muncul—biasanya ini berkaitan dengan Davin yang merusak konsentrasinya saat memasak, atau mendaftar terlalu panjang ocehan dan keluhan. Satu pelajaran yang akan selalu diingatnya adalah untuk kapok berhadapan dengan Rie yang menggunakan sarkasme tajamnya—selain mengintimidasi dengan tatapan matanya yang sebenarnya indah bagai kristal, ancaman yang digunakannya akan membawa-bawa potongan-potongan tubuh manusia di dalam kuali sup. Itu adalah tingkat tertinggi kekesalan seorang Rie kalau belum memainkan alat tajam.

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang