42-Past Hate

125 31 5
                                    

Bukankah dunia ini sungguh tidak adil?

Ketika dirinya terlahir hanya sebagai putra kedua, untuk hidup dalam bayang-bayang sang kakanda tanpa pernah mendapat jatah perhatian yang pantas, justru seorang lagi datang ke dalam lingkup kehidupannya dan mendapatkan perhatian yang selama ini ia perjuangkan dengan cuma-cuma?

Davin melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa elusan lembut dari tangan sang kakanda itu amat tulus kala menyalip di antara helai-helai hitam rambut gadis itu. Gadis mungil yang tiba-tiba saja masuk ke dalam hidupnya dan langsung menyandang status sebagai adiknya. Adik tiri sebenarnya—penegasan yang selalu gagal Davin lakukan kepada semua orang.

Bagaimana bisa gadis itu merebut semua darinya bahkan ketika Davin yang hanya tinggal berpeluk kegelapan, kini tenggelam lebih jauh ke dalam ketidakberadaan? Tanpa pengakuan, tanpa kasih sayang serupa apa yang tercurah pada gadis itu.

Davin hanya ingin Ayahanda dan Ibundanya melirik barang sejenak ke arahnya selagi sang kakanda menunduk sedikit untuk membiarkan seberkas cahaya memaparnya. Tetapi itu semua hanya angannya, sebab sang kakanda justru semakin terang bercahaya ketika semakin gelap dirinya terpuruk.

Davin sungguh tidak mengerti bagaimana bisa gadis itu bersikap seolah dirinya itu benar-benar kakaknya? Beceloteh ria dengan mata berbinar polos setiap kali tangannya berusaha menarik tangan Davin untuk menemaninya bermain. Bertanya ini-itu dengan antusias selayaknya mereka sudah sejak lama saling mengenal dekat sebagai saudara.

Bukan maksud Davin menyalahkan kehadiran gadis itu, tetapi kenyataan telah berkata jelas bahwa adik tirinya itu menutup kesempatan Davin mencari pengakuan. Maka pikirnya mudah saja, karena tidak mungkin gadis itu menghilang dari hidupnya, maka dia yang akan menghilangkan gadis itu dari hidupnya.

Dia tidak salah bukan? Apa yang dilakukannya hanyalah pelampiasan dari seorang yang selalu dinomorduakan.

***

Bagaimana…kalau kau bermain dengan Archer saja?” Davin berusaha menekan dalam-dalam kejengkelannya ketika ia berucap yang dimaksud mengusir gadis mungil yang sedari tadi memainkan kakinya di sofa, menunggu dirinya seleai menuntaskan bacaan.

Gadis kecil itu menoleh padanya dengan raut kecewa, “Eh? Aku tidak keberatan menunggu kakanda, kok,”

Akulah yang keberatan ditunggui olehmu, tahu. “Ah, aku baru ingat ada jadwal latihan tambahan hari ini,” Pangeran itu menutup bukunya dan bangkit berdiri, melangkah menuju pintu tanpa menoleh, “Aku pergi dulu, ya. Silakan saja kalau kau masih mau di sini.”

Anak laki-laki itu menutup pintu tanpa menunggu jawaban, tanpa pernah tahu di ruangan yang baru saja ia tinggalkan, gadis kecil tadi terbatuk dengan sebercak darah di telapak tangan mungilnya.

***

Rapi sekali kau berbohong, Davin,”

Davin bergeming ketika anak laki-laki bermata tajam sebayanya itu berucap dingin, setelah masuk ke ruangannya tanpa permisi dan membanting pintu di belakangnya tanpa sopan santun. Ia tidak gentar sedikitpun atas sorot tajam yang dihujamkan putra komandan pasukan kerajaannya itu, pun tidak terintimidasi dengan suara dingin dan hawa mengerikan anak laki-laki di depannya yang melangkah maju.

Katamu kau akan melindungi adikmu, dan meminta bantuanku hanya untuk memperluas jangkauan perlindunganmu.” Langkah anak laki-laki itu berhenti satu meter di depan Davin seraya mendesiskan kata-kata yang selanjutnya menjadi bentakan ledakan amarahnya.

Lalu apa ini? Di mana kau berada saat adikmu nyaris dibunuh penyusup? Apa benar kau kakaknya, hah?!”

Apa benar kau kakaknya? Dalam hati pangeran itu mengulangi pertanyaan terakhir pemanah muda di depannya, rasa-rasanya ia ingin tertawa membalas pertanyaan itu dengan ‘tentu saja tidak’, tetapi Davin berhasil menahan diri karena tahu pemanah muda di depannya akan sangat mengerikan jika marah lebih dari ini.

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt