35-Raise Your Reason

141 33 12
                                    

Kedua kakinya lagi-lagi berderap menyusuri lorong istana yang seolah tak ada habisnya. Napasnya terengah, lebih berat dari secepat apapun biasanya Davin berlari di lorong yang sama hari-hari sebelumnya—dalam rangka melarikan diri dari formalitas yang dibencinya seperti saat malam undangan kemarin.

Kali ini beban terasa membebani pundaknya, membebani laju larinya. Seolah beban yang selama ini ditinggalkannya selagi berlari kali ini justru terpanggul di pundaknya sebagai alasan ia mengerahkan kecepatan maksimalnya. Menuju ruangan keramat tempat nasib seorang yang berharga baginya tengah dipertaruhkan dengan kehadirannya.

Tentu saja Davin seharusnya sudah datang bersamaan orang yang dijatuhkan label bersalah itu tiba di ruangan di mana sidang tertutup itu dilaksanakan. Tapi—yang dibenci Davin adalah bahwa fakta hal ini memang seperti biasanya—setumpuk dokumen menuntut pertanggungjawabannya secara mendadak, tanpa penolakan meski sebenarnya tak ada tuntutan mendesak di baliknya. Yang ada justru maksud tersirat yang bertujuan sengaja memperlambat kehadirannya.

Bertahanlah, Evie. Kumohon tetaplah bertahan, tunggu aku!

***

“Dan bukankah merayu seorang pangeran yang telah bertunangan itu sungguh tindakan yang tidak termaafkan, bahkan sekalipun anda adalah tamu pegawai undangan khusus di sini, Nona Quille?”

Kalimat berselimut tuduhan tajam yang dihujamkan padanya dengan suara anggun sang Ratu yang kini berbalut ketegasan tak tergoyahkan itu membuat Evie menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Hanya itulah yang bisa ia lakukan untuk melampiaskan emosinya yang bercampur aduk entah sejak kapan ucapan dari Ratu Hera mencercanya dengan segala sindiran selicin ular untuk menyudutkannya.

Segala akses masuk cahaya yang ditutup di ruangan tempatnya berada saat ini sama gelapnya dengan hati Evie sekarang. Hanya satu yang tetap digenggamnya erat selagi tubuhnya tersimpuh dalam-dalam di atas permadani tipis ruangan itu, yakni sebuah janji untuk menanti, dari seorang yang selalu terpatri di hati.

“Sungguh tidak perlu ada toleransi untuk kesalahan anda, Nona Quille.” Suara anggun beraura dingin Ratu Hera yang menggetarkan relung hati Evie kembali terdengar. Kata-katanya yang terucap tak pelak kian menipiskan harapan dari janji yang ditunggunya. “Tetapi sungguh bukan keadilan jika kuusir anda dari istanaku tanpa mendengar alasan anda, Nona Quille. Sekalipun hanya sekedar omong kosong, aku akan tetap bertanya: apa pembelaan anda, Nona Quille?”

Pertama kalinya, suara itu menuntut jawaban Evie sejak awal gadis itu menginjakkan kakinya untuk langsung bersimpuh di ruangan itu. Gadis itu meneguk ludahnya, seluruh fokusnya tercurah untuk mendengarkan kecamuk perang dalam batinnya. Dirinya diminta untuk menunggu dan bertahan, tetapi selagi bertahan apakah ia juga berhak mengangkat pembelaan?

“Aku tidak mewajibkan anda menjawab jika anda tidak punya pembelaan, Nona Quille.” Teguran sang Ratu menyeret kembali Evie ke kenyataan yang dihadapinya, mempercepat ritme detakan jantung gadis itu ketika kalimat berikutnya tidak menyiratkan kesabaran lebih lama lagi. “Sekali lagi aku bertanya: apakah anda punya pembelaan, Nona Quille?”

Aku tidak boleh bergantung pada Davin.

Satu pemikiran itu berhasil menyalip dalam sesaknya keraguan di benaknya, lantas bercabang lebat mendesak suara yang entah sejak kapan terkunci dalam pangkal tenggorokannya untuk dikeluarkan.

“Ya.” Awalnya sepatah kata itu penuh gentar, hanya membuat sang Ratu mengendikkan kepalanya tak acuh. Tetapi selanjutnya, keberanian mendasari dengan kuat kata demi kata dari bibirnya seraya kepalanya terdongak lurus. “Saya memiliki pembelaan, Yang Mulia Ratu.”

Evie berhasil menahan keinginan untuk melebarkan matanya—memastikan penglihatannya sejelas-jelasnya—ketika ia merasa melihat seringai samar yang terukir di bibir sang Ratu. Seringai yang seharusnya tidak pernah tercetak di wajah seorang pemimpin. Sekilas, lantas digantikan sahutan singkat. “Benarkah? Apa itu?”

RIE [Revisi Mayor On-Hold]Where stories live. Discover now