BAB 32 - Cinta Pertama

1.7K 374 37
                                    

"Janji kalau kita akan terus bersama, melindungi satu sama lain dan--"

"Dan?"

"Kita akan terus membela satu sama lain. Tak peduli jika pembelaan itu salah."

"Tunggu!? Ini janji macam apa? Aku tak mau!"

"Lakukan saja!"

Lakukan saja. Kadang kala dia tidak mengerti apa yang dia lakukan. Dia hanya ingin tetap bersama mereka bertiga, sebab dia tidak memiliki siapapun lagi yang bisa mengerti perasaannya.

Hanya saja, janji kecil itu akan menenggelamkannya perlahan. Andai tidak berjanji di hadapan iblis, maka dia mungkin tidak akan menepatinya sejauh ini.

Kejadiannya, bertahun-tahun lalu---ketika polaroid masih umum digunakan. Meskipun memiliki hasil yang cukup kontras, tapi tetap saja sangat istimewa. Memiliki kamera polaroid sangat-sangat dianggap keren. Hanya anak-anak dari keluarga berada saja yang bisa memilikinya.

Sama seperti anak laki-laki dengan kaca-mata yang menempel di wajahnya itu. Siapa sangka, ayahnya yang terlihat biasa-biasa saja itu ternyata memiliki kekayaan yang sangat fantastis. Yah, jika dipikir-pikir, kekayaan itu hanyalah sebuah warisan belaka dari keluarganya. Namun, orang-orang bilang kalau ayahnya menggadaikan jiwa kepada setan.

"Hey, luar biasa! Sebuah polaroid! Dari mana kau mendapatkannya?" Seorang anak laki-laki yang terlihat berperawakan Asia Timur itu terlihat kegirangan melihat sebuah polaroid putih yang dipegang teman kaca-matanya itu.

"Ini sudah lama. Aku menemukannya di gudang rumah kemarin. Kurasa akan keren jika aku membawanya." Anak laki-laki berkaca-mata itu tertawa.

"Benar! Rasanya menyenangkan sekali jika dicap keren. Apalagi jika kita menjadi terkenal. Apa namanya?"

"Famous."

"Wow, bagaimana kau bisa mengucapkannya?"

"Kak Franz mengajariku banyak sekali kosa kata Bahasa Asing."

"Hey, Vanya, bagaimana dia bisa menjadi kakakmu?"

"Dia adalah putra dari saudari ibuku---atau ayahku, aku tidak tahu. Kupikir begitu." Anak laki-laki yang dipanggil dengan nama "Vanya" itu tersenyum tipis.

"Lalu Kenny?"

"Kenny adalah saudaraku. Kupikir begitu, Hisao."

Kini kedua anak laki-laki dengan seragam sekolah dasar itu kembali mengotak-atik polaroid putih itu. Sesekali menjeptretkannya ke satu sama lain. Jika dilihat-lihat, mereka berdua memiliki sifat narsistik.

Namun, meskipun kamera polaroid itu milik Vanya, tetap saja Hisao-lah yang lebih banyak menggunakannya. Dia memotret apa saja yang dianggapnya bagus. Lalu, keesokan harinya Vanya harus membeli kertas polaroid itu lagi sebab semuanya sudah habis digunakan Hisao.

Di suatu malam, Vanya kecil memeriksa foto-foto hasil jepretan Hisao yang memang tidak dibawa olehnya. Hisao malah meninggalkan foto itu di kotak pensil Vanya. Sebenarnya, dia tidak berniat menyimpan foto-foto itu. Dia hanya ingin menjepret kamera itu supaya terlihat keren saja.

Dark Angel [END]Where stories live. Discover now