BAB 24 - 1994

1.6K 379 40
                                    

Kala itu tanggal sepuluh, bulan sepuluh, tahun sembilan empat. Baru beberapa bulan aku keluar dari penjara. Aku tahu bahwa adikku, Johan van Lier-lah yang membuatku bebas. Dia tahu bahwa aku sedang mengandung dan dia tidak ingin anakku lahir di dalam penjara. Yah, dia masih memiliki simpati padaku ternyata. Atau mungkin hanya pada keponakannya yang sedang kukandung ini.

Sebenarnya sekarang aku tidak mengharapkan bayi ini. Hal ini terjadi ketika aku kehilangan suamiku. Aku dan dia merampok bank kala itu. Saat kami mencoba kabur, polisi menembak suamiku dan dia langsung tewas di tempat. Hal tersebut membuatku tertangkap dan harus mendekam di penjara untuk kesekian kalinya. Namun cukup singkat di sana. Hanya lima bulan kurang karena adikku membebaskanku. Awalnya aku sangat menginginkan bayi ini. Tapi, setelah suamiku tewas kupikir tidak ada gunanya lagi. Aku takkan pernah bisa membesarkan seorang anak sendirian.

Malam itu hujan deras, angin-angin bergerak dengan begitu kencangnya, kilat-kilat petir terjadi sedetik sekali. Malam yang mencekam itu adalah malam yang sama ketika aku melahirkan bayiku. Semuanya berjalan lancar. Aku adalah wanita yang kuat. Bayiku laki-laki dan dia sangat mirip dengan ayahku. Menyebalkan sekali.

Namun, ada yang lebih menyebalkan lagi. Biaya rumah sakit. Tidak ada rumah sakit yang murah apalagi jika menangani khasus besar seperti bersalin. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk melunasinya. Kepalaku pusing karena memikirkan hal ini.

Di ranjang sebelahku, ada seorang wanita. Ah bukan, dia terlalu muda untuk dipanggil 'wanita'. Usianya sekitar tujuh belas atau delapan belas tahunan. Dia menangis meronta-ronta tanpa henti dibarengi oleh suara guntur yang mencekam. Hal tersebut membuatku pusing. Aku-pun bertanya pada salah satu perawat tentang apa yang terjadi pada perempuan itu.

"Dia keguguran. Dia bilang suaminya akan membunuhnya jika tahu," kata suster itu.

Aku hanya manggut-manggut.

Aku memperhatikan perempuan itu sekali lagi. Dia terlihat kaya---memakai anting-anting emas bulat besar, sebuah kalung emas dengan berat kurang lebih sepuluh gram dan cincin kawin berlian.

Ide itu terlintas di pikiranku. Ide yang sebenarnya sedikit kusesali tapi tak terlalu kupikirkan.

Aku ingin memberikan bayiku padanya. Lalu aku akan meminta uang darinya. Dengan begitu, aku terbebas dari biaya rumah sakit ini plus dengan uang tambahan. Dia juga tidak akan dibunuh suaminya.

"Hey, nyonya muda," sapaku pada perempuan itu.

Dia mendongakkan kepalanya ke arahku yang berdiri di sampingnya sambil menggendong bayi laki-lakiku. "Aku sudah mendengar banyak hal tentang mu. Malang sekali."

"Apa maumu?" Perempuan itu sedikit melotot---aneh rasanya.

"Kau akan dibunuh suamimu?" Aku terkekeh---sedikit meledek.

"Jangan mengejekku. Jalang!" Dia bangkit dari posisi berbaringnya. "Kau pikir kau ini siapa?"

"Aku ibu dari seorang bayi. Bayiku sehat dan selamat." Aku menunjukkan bayi laki-lakiku yang gemuk padanya.

Aku melihat ekspresinya yang menyedihkan. Dia menahan tangisnya ketika dia melihat bayiku. Jari-jari mulusnya menyentuh jemari bayi kecilku. Lalu, bayiku menggenggam jari telunjuknya. Dia mengeluarkan air matanya dengan deras. Memejamkan mata sejenak, lalu melepaskan genggaman mungil itu.

"Kau beruntung." Dia kembali menangis. Menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Aku menyeringai. "Kau juga beruntung."

Dia membuka kembali wajahnya namun masih tetap menangis. "Maksudmu?"

"Aku ada di sini. Jadi, kau beruntung." Aku kembali menyeringai.

Dark Angel [END]Where stories live. Discover now