BAB 26 - Menerima Takdir

Start from the beginning
                                    

"Pak Van..." Eliza berdesis perlahan.

Namun, entah kenapa Pak Van merasa mendengar suara seorang yang memanggilnya. Dia sedikit melirik ke depan panggung. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat salah satu muridnya mematung menatapnya. Dia menelan ludah---sedikit tidak fokus pada perannya.

Eliza tahu Pak Van juga memperhatikannya. Tapi, dia tidak peduli-peduli amat. Kini, dia sudah benar-benar memutar balikkan badannya. Dia pergi dari area itu. Dia tidak ingin lama-lama menatap Pak Van. Dia adalah guru konseling. Tidak baik jika dia melihat Eliza masih mengenakan seragam State Lighting lalu berkeluyuran sampai malam seperti ini.

Eliza menjauh dari kerumunan. Dia duduk di sebuah kursi panjang yang terletak di bawah pohon rindang. Dia merasa haus, tapi dia tidak ingin minum. Sekarang ini, dia hanya ingin menenangkan diri---mencoba menerima kenyataan.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lebih. Tanpa Eliza sadari, dia memejamkan matanya sambil bersandar di kursi itu. Orang-orang sudah mulai meninggalkan area pertunjukkan. Para pedagang sudah mengemasi dagangan mereka.

Sepertinya, langit sedang mendung. Tiada satupun bintang yang menghiasi gelapnya langit, tiada bulan yang menyinari kegelapan. Hanya angin-angin kecil yang berhembus dingin. Eliza masih memejamkan matanya. Tapi dia tidak tidur.

Perlahan, rintik hujan turun membasahi tanah yang sudah cukup lama mengering itu. Satu persatu rintik hujan juga membasahi tubuh Eliza---menambah hawa dingin baginya. Tapi sekali lagi, dia tidak peduli. Dia hanya ingin tenang. Ingatannya terpaku pada sebuah adegan film di mana si tokoh utama menangis di bawah hujan. Membiarkan dirinya berbagi penderitaan dengan langit. Menangis bersama.

Namun, dia salah. Dia merasa gerimis itu sudah berhenti. Tidak. Gerimis itu tidak membasahi tubuhnya tapi masih terdengar mengalir dari langit.

Eliza membuka matanya perlahan. Di atasnya sudah ada payung. Sebuah payung berwarna merah muda yang melindunginya dari hujan. Seseorang memayunginya---menjaganya dari hujan. Eliza mendongakkan kepalanya ke atas. Dia melihat seorang pangeran. Ah bukan, seorang ksatria dengan baju zaman kerajaan. Dia memakai baju putih dengan renda emas di samping lengannya, kerahnya tinggi---berwarna senada dipadukan dengan jubah berwarna biru di punggungnya. Dia memakai sebuah celana hitam dan sepatu boots tinggi berwarna coklat. Dia tidak membawa pedang melainkan payung. Hal itu membuat Eliza terkekeh dalam hati.

"Kau kenapa?" tanya pria itu. "Tidak bagus memakai seragam sekolah di luar sekolah."

"Payungilah diri Anda sendiri, saya ingin basah." Eliza masih tidak bergerak. Dia menatap ke atas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi itu.

Pria itu menghela nafas panjang. Dia sudah basah kuyup demi menjaga Eliza supaya tidak basah, namun gadis itu malah menolaknya.

"Sepertinya kamu sedang mengalami masalah yang berat. Tapi, apapun masalahnya tidak akan pernah selesai jika kamu terus-terusan meringkuk seperti ini. Jangan menjadi seseorang yang menyedihkan, Eliza," gerutu pria itu.

"Itu bukan masalah. Tapi, takdir. Takdir yang tak bisa diubah." Eliza menegakkan posisi duduknya.

"Ha? Siapa bilang takdir bisa diubah? Tidak ada. Yang bisa dilakukan manusia adalah menerima takdir---mengikuti alur yang telah Tuhan buat."

"Maaf, Pak Van. Tapi sepertinya nggak bagus bagi saya membicarakan masalah ini pada Anda." Eliza beranjak dari kursi itu. Dia berdiri menatap Pak Van yang kini memayungi dirinya sendiri. "Saya tahu anda adalah guru konseling, tapi nggak semua masalah harus dibicarakan."

Pak Van terkekeh. "Ya, ya... Aku hanya bercanda. Sebenarnya aneh sekali melihatmu berada di tempat seperti ini. Malam-malam lagi."

Rintik hujan masih mengalir. Eliza ingin pergi dari sana. Dia sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun, termasuk seorang guru menyebalkan seperti Pak Van. Yang Eliza tahu, Pak Van itu cukup menjengkelkan. Memang dia guru konseling yang baik. Dia suka membantu para murid. Dia lembut, humoris, tampan, cerdas, telaten, berkarisma. Tapi tetap saja bagi Eliza dia adalah tipe buaya yang harus dihindari. Dilihat dari sisi manapun, Pak Van itu masih muda. Usianya tidak terlalu jauh dari murid-muridnya, jadi terkadang hubungan guru murid berubah menjadi pertemanan. Memang bagus, tapi Eliza tidak suka.

Dark Angel [END]Where stories live. Discover now