⁰⁶. enam

31.7K 4K 133
                                    

Viewers ceritanya nambah terus, tapi yang ngevote dikit doang;"

Kalau yang suka, vote ya teman-teman, kalau sekadar mampir buat liat-liat mending nggak usah, tinggalin aja ceritanya. Makasih buat yang ngehargain 🌴🌹




Yang gue kasih ke Mamanya? Mamanya siapa? Emangnya gue kenal?

Setelah hampir dua menit berpikir, Hana tidak bisa mendapat jawaban atas perintah aneh Jay. Dia semakin dilanda kebingungan. 

Maksudnya apa coba?

"Kalau setelah lima belas menit lo belum ngasih permintaan gue, rasain sendiri akibatnya."

Tidak ada yang bisa Hana lakukan selain mengerutkan dahi, dia bingung hendak bagaimana. Sungguh demi apapun, Hana tidak mengerti cowok beringas itu sedang membicarakan apa.

"Kenapa masih berdiri di situ! Lo budek?!"

Menerima bentakan, sontak Hana menjawab. "Emangnya yang gue kasih ke Mama lo apa?" Dia menyuarakan suara hatinya dengan takut-takut.

Dan balasannya adalah tatapan tajam serta menusuk, perasaan takut semakin menguak dalam hati Hana. Wajah Jay begitu menakutkan, auranya seperti monster serigala yang siap menerkam, bahkan atmosfer di sekitar terasa sengit. Hana begitu takut, apalagi jika cowok itu membeberkan kejadian di gudang kemarin. Tamat riwayatnya.

"G-gue belum pernah jumpa sama Mama lo," cicitnya karena terus didelik tajam.

"Lo bodoh, ya?" Dia mencengkeram lengan Hana kasar.

Hana tersentak, merasakan pergelangan tangannya menyeri akibat dicengkeram erat. Ternyata cowok itu begitu kasar, padahal tidak kenal namun bertindak semena-mena. Terus-menerus menyuruhnya, menatapnya bagai musuh, membentak dan sekarang menyakiti fisiknya.

"S-sakit!" ringis Hana sambil berusaha menghempas cengkeraman itu. Nihil, tenaganya bukan apa-apa bagi cowok semacam Jay.

"Gue udah laper. Berapa kali harus gue bilang?!" Alisnya terangkat.

Hana kembali tersentak menerima bentakan. Keterlaluan. Orangtuanya saja tidak pernah membentaknya. Awalnya Hana kira Jay tidak sekasar ini, namun nyatanya...

"Buruan lo bawa permintaan gue!" bentaknya, sarkas.

"Emang lo pikir lo siapa?!" Hana balas membentak, menghempas lengan cowok itu sekuat tenaga, terlepas. Hana bukan gadis yang kasar, bukan juga gadis barbar yang suka misuh-misuh, Hana cuma gadis kalem yang dikenal paling tenang seantero sekolah, tidak pernah mencampuri urusan orang dan tidak terlibat pertikaian remaja. Tapi, dia juga bukan gadis lemah yang bisa ditindas. "Jangan seenaknya nyuruh-nyuruh! Kenal aja enggak, kan! Jadi jangan kelewat batas!"

Segala keberanian yang tertanam dalam diri Hana seketika punah ketika Jay bangkit dari kursinya. Bagai singa yang berubah menjadi tikus, nyalinya menciut dalam waktu seperkian detik.

"Apa lo bilang?" Suara Jay yang berat nyaris menyerupai bariton memasuki gendang telinga Hana, meremangkan bulu kuduk gadis itu. Perlahan dia mundur karena Jay melangkah maju mendekatinya.

"Lo mau apa?" Seberusaha mungkin Hana mengendalikan mimik wajah agar tidak terlihat ketakutan.

Jay masih terus maju, sedangkan Hana panik karena sudah berada di ujung dinding.

Lokasi mereka sekarang adalah kafe di pinggir jalan, tidak ada siapapun, keadaan sepi melengang. Tidak ada yang bisa menolong Hana dari tatapan menghunus cowok di hadapannya itu.

Jay terus mengikis jarak di antara mereka, berbeda dengan Hana yang melotot dan mati-matian menahan ketakutan.

Jay menyeringai sambil berdengus. "Jangan kelewat batas?" Tanpa aba-aba dia langsung menyatukan bibirnya dengan bibir Hana. Sontak pupil mata Hana membulat sempurna. Hana memberontak, menjadi sia-sia karena Jay mencengkeram kedua lengannya.

Selang lima detik, cowok itu menjauhkan wajahnya, tersenyum sinis menatap Hana yang sudah menangis. "Lain kali kalau lo masih bodoh, terima akibatnya!"

°°°

Sejak diantar pulang oleh monster tak berperasaan tadi, Hana mengunci diri di kamar, menangis histeris tiga jam lamanya tanpa jeda dan tanpa henti. Belum berganti seragam atau melakukan apapun, dia masih terus menangis. Bahkan asi di dadanya sudah mulai memberat karena belum dikeluarkan.

"Sayang, udah dong. Kamu kenapa, sih?" Bitna mengetok pintu itu untuk kesekian kali. Lagi, tidak ada jawaban selain isak tangis dari putrinya. Bitna pergi karena tidak memperoleh apapun.

Selang sepuluh menit, dia mengetok pintu lagi. "Sayang, ada Tante Aera nih, ayo dong buka pintunya."

Tangisan Hana masih belum berhenti, ketika mendengar suara lembut nan hangat dari luar, tangisannya menyurut pudar.

"Sayang, kamu tetep nggak mau buka pintunya?" ujar Aera.

Hana mengusap wajahnya yang sembab, segera berganti pakaian, dia juga menyempatkan memompa asinya beberapa menit. Merasa penampilannya sudah lebih layak, dia membuka pintu itu.

Aera terkejut melihat kelopak mata Hana membengkak seperti disengat lebah, wajahnya memerah dan hidungnya sembab.

"Kenapa, sayang?" Aera bertanya lembut.

Hana menahan tangis, menatap Mamanya yang juga tidak menyangka menyaksikan kondisinya.

"Mamaa." Pada akhirnya dia kembali terisak, memeluk Bitna erat-erat.

°°°

"Kamu kenapa sayang? Ayo cerita ke Tante." Aera bertanya lagi setelah sepuluh menit menemani Hana menangis. Barusan Bitna pergi ke bawah mengambil es batu untuk mengompres mata Hana yang bengkak.

Hana menggeleng, tidak ingin menceritakan apapun.

Helaan napas terdengar dari Aera. "Ya udah kalau kamu nggak mau cerita. Yang penting jangan nangis lagi, ya?" Dia membawa Hana ke dalam dekapan, membelai rambutnya penuh kasih sayang.

Hana sendiri merasa nyaman, membalas pelukan itu sambil menormalkan deru napas.

Tiga menit berada di posisi menetap, Bitna kembali datang, segera mengompres kelopak mata putrinya.

"Tante kenapa dateng?" tanya Hana serak selagi dikompres.

"Ah, Tante cuma mau bilang kalau asi temen kamu cocok sama lidah putra Tante."

Hana mangut-mangut. "Ya udah, nanti Hana kasih tiap hari ke Tante."

"Loh? Emangnya temen kamu nggak keberatan?"

"Enggak kok, Tante. Kebetulan dia lagi butuh duit."

"Bayinya gimana? Asinya cukup kalau dibagi?"

"Tante nggak perlu khawatir, cukup kok."

Aera menatap Hana serius. "Hana beneran?"

"Iya, Tan. Ini juga tadi Hana dikasih beberapa botol." Gadis itu berdiri, mengambil botol-botol asi miliknya dari dalam nakas.

Aera ikut berdiri, merasa terenyuh kala melihat asi tersebut. "Makasih banyak, Hana." Terpancar sorot haru dari wajahnya, dia membelai kepala Hana lembut.

"Iya Tante, nggak papa."

Dalam hati Aera begitu senang, akhirnya dia menemukan solusi dari kefrustasiannya belakangan ini.

°°°

Jangan lupa votes buat dilanjut🌼

Jangan lupa votes buat dilanjut🌼

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Breastfeeding Prince✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang