⁴². empatpuluh dua

10.1K 2K 421
                                    

Jangan lupa vote sebelum membaca 🌻

Dan, selamat malam minggu~

~𝙝𝙖𝙥𝙥𝙮 𝙧𝙚𝙖𝙙𝙞𝙣𝙜~




"KAK HANA!"

Suara teriakan Riki dari lantai bawah mengagetkan Hana yang sedang memperhatikan Jay membalik-balikkan album fotonya. Beberapa detik kemudian Jay menutup album foto itu, meletakkannya di tempat semula.

"Ayo," ajak Jay keluar dari kamar. Hana menyusul berjalan beriringan dengannya menuruni tangga. Tampak lah Riki sedang mencari sesuatu di bawah kolong sofa.

"Kenapa, Ki?" Hana ikut merunduk.

"Dia!" tunjuk Riki pada Jieun yang duduk di atas kursi roda. "Dia ngebuang cincin yang Kak Hana simpan di nakas, itu kan punya Kak Hana. Dia seenaknya di rumah orang."

"Aku gak sengaja!" kilah Jieun cepat.

"Gak sengaja apaan? Muka lo nyebelin banget iya."

"Riki, gak boleh gitu, gak sopan," tegur Hana, ikut merunduk mencari benda yang Riki maksud.

"Jadi gimana, Kak? Gak keliatan lagi. Itu kan cincin pemberian Riki pas masih kecil." Anak berusia enam belas tahun itu masih berusaha mencarinya di kolong sofa dan sekitarnya.

"Cuma cincin plastik murahan doang."

"Heh!" Riki menyentak. "Mau murahan mau enggak, tahu apa lo tentang kenangan? Itu kenang-kenangan gue sama Kak Hana. Lagian lo gak berhak nyentuh itu!"

"Aku udah bilang gak sengaja! Jay, dia kasar banget," adunya pada Jay.

"Oh, jadi lo ini ceweknya dia, pantesan aja sifatnya gak jauh beda. Mending—AKH." Cowok itu langsung menjerit saat Hana menjewer telinganya.

"Jangan nakal, Riki. Sejak kapan kamu pake lo-gue ke orang? Kakak udah bilang ngomong itu pake aku-kamu."

"Ampun, Kak!" Dia menjerit keras. Hana melepas jewerannya, membuatnya mengusap telinganya dengan cemberut. "Nyebelin!" tukasnya pada Jieun lalu berlari ke ruang keluarga untuk menonton.

"Cincinnya penting?" tanya Jay pada Hana.

"Enggak, kok. Cuma cincin plastik kayak Jina bilang."

"Sori, ya."

"Untuk apa?"

Jay melirik Jieun sekilas lalu tersenyum tipis. "Nggak papa."

Hana ikut tersenyum tipis lalu melirik ruang tamu. "Gue, gue ambilin camilan dulu, ya." Dia menyingkir ke dapur, memberikan ruang pada dua orang itu untuk berbicara. Walau dia sedikit risih, dia mengerti hubungan Jay dan Jieun tidak hanya soal pertanggung-jawaban. Dia dapat melihat sorot keduanya yang sudah saling mengenal sejak SMP. Tidak seperti dirinya yang baru dikenal beberapa bulan lalu.

"Lo nggak papa?" Jay bertanya pada Jieun yang diam saja di kursi roda. Tidak ada jawaban dari Jieun, Jay berjongkok di hadapannya.

"Jay, kenapa nasib aku selalu gini?"

"Maksud lo?"

Jieun sedikit menengadah kepala. "Permintaan aku yang aneh-aneh selama ini. Kamu terganggu, kan? Bahkan aku minta kamu perhatiin aku, ngunjungi aku di rumah sakit, dateng tiap malem. Aku manfaatin kamu di tengah kondisi aku. Itu pasti ngeganggu kamu, kan?"

Jay hanya diam tanpa menjawab, tatapannya yang datar sontak membuat Jieun menangis. "Aku cinta banget ke kamu, Jay. Orang-orang yang berusaha deket kamu aku singkirin, bahkan Kakak aku sendiri, Kak Gina. Tapi kenapa perhatian kamu selama ini nggak ngubah perasaan kamu sedikit aja ke aku?"

Breastfeeding Prince✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang