⁰⁵. lima

32K 3.9K 143
                                    

"X dikali x itu jadi x kuadrat. Gimana bisa jadi z kuadrat sih, Ron?" Berulang kali Hana menjelaskan kepada teman satunya itu, otak Rona yang notabene sekeras batu tidak dapat memahami.

"Kapasitas otaknya diisi cowok doang, Na. Maklum," tutur Jeslyn, sedang mengunyah tempura.

"HANAAA LO DIPANGGIL COWOK LO NIIIH!" Seseorang berteriak dari depan pintu.

"What?!" Rona langsung memekik.

"Kok lo ada cowok? Bukannya jomblo seumur hidup?" tambah Jeslyn, heran.

Hana ikut melongo, alisnya berkerut bingung. Daripada dilanda kecurigaan, Hana langsung beranjak dari kursinya menuju pintu.

Setiba di luar, Hana tidak menemui siapapun selain temannya yang berteriak tadi.

"Mana orangnya?"

"Dia nitipin ini, katanya lo kelamaan keluar. Dia keburu males, baru aja pergi." Diserahkannya sebuah kertas pada Hana.

Kok?

Tanpa membuang waktu Hana membuka kertas tersebut.

Pulang sekolah gue tunggu di parkiran.

Jay

Demi kura-kura yang pernah dia temui waktu kecil tapi mati, dia tidak mengerti mengapa surat itu diberikan padanya. Apa salah orang?

"Bener dia nyebut nama gue? Lo nggak salah denger? Siapa tau bukan gue tapi orang lain?"

"Gue emang bego tapi gue nggak budek ya, Na. Bener dia nyebut nama lo, Park Hana."

Hana menggarut keningnya frustasi, dia kembali masuk ke kelas dengan perasaan resah. Bagaimana jika dugaannya benar jika cowok itu ingin memanfaatkan keadaannya?

"Siapa, sih?" Rona merebut surat dari lengan Hana. Setelah membacanya bersama Jeslyn, mereka mendadak heboh dan belingsatan kesana-kemari. Sedangkan Hana mendesis kesal dan mengabaikan kebisingan mereka.

°°°

Sekarang ada bencana yang merobohkan pertahanan Hana, gadis yang terkenal kalem dan tenang itu kini berubah menjadi gadis yang panik dan sangsi. Di koridor menuju gerbang, mendadak dia mencak-mencak tak karuan membuat murid-murid di sekitar keheranan melihat seorang Park Hana bertindak seperti tidak biasanya.

"Kok bisa ada di sana, sih?" desah Hana, panik. Dia pikir cowok itu hanya bercandaan, nyatanya dia benar-benar menunggu di parkiran dengan duduk di atas motornya. Bila begini bagaimana Hana bisa pulang? Dia tidak berani melewati gerbang.

"Eh, eh, nebeng dong, nebeng." Hana menutupi seluruh wajahnya menggunakan sweater, berjalan menghampiri seorang cowok berjaket merah yang baru menyalakan mesin motor.

"Gue mau nganter cewek gue, woy."

"Sampe depan halte doang." Tanpa menerima persetujuan, Hana langsung naik ke jok belakang.

Saat motor mulai melaju, Hana merapalkan doa agar cowok itu tidak melihat ke arahnya. Tapi sepertinya keberuntungan tidak berada di pihaknya.

"Lo yang pake jaket merah!"

Hana menjerit dalam hati.

Semua orang yang memakai jaket merah jadi menoleh ke sumber suara. Termasuk cowok yang Hana minta tebengi, dia menghentikan motornya dan menoleh ke si pemanggil.

Sebelum terlambat, buru-buru Hana turun dari motor, berlari sekencang mungkin menuju gerbang. Lagi dan lagi keberuntungan tidak berada di pihaknya, beberapa cowok menghadang jalannya kemudian cowok lain menutup gerbang rapat-rapat.

Sontak Hana mematung di pijakan.

"Lo nggak bakalan bisa kabur dari gue."

Deg

Suara itu begitu dekat dengannya, berada tepat di belakangnya.

Tubuh Hana dipaksa membalik, sweater yang menutupi wajahnya jatuh ke tanah. Pandangannya bertemu langsung dengan manik tajam cowok itu.

°°°

Yang Hana lakukan sedaritadi hanya diam dan tidak mau berbicara. Rasa malu dan canggung beradu menjadi satu. Angin sore yang mendung menyapu kulit wajahnya. Suara kendaraan dari jalan raya tidak mengindahkannya untuk berhenti melamun.

"Beliin gue minum!"

Hana mengambil uang yang dilempar padanya, segera membeli minum sesuai perintah. Kemudian kembali, menyodorkan minuman itu sekalian uang kembaliannya.

Sudah hampir setengah jam Hana bersama cowok beringas ini, selama itu juga dia disuruh-suruh berbagai hal.

"Buang semua makanannya ke tong sampah!"

Sejak tadi Hana disuruh banyak hal yang senantiasa dia lakukan karena tidak tahu bagaimana cara melepaskan diri dari cowok berwajah tajam dengan rahang tegas bernama Jay itu. Namun kali ini perintahnya begitu aneh. Kening Hana mengernyit, menatap cowok itu heran. Tadi dia disuruh memesan banyak makanan, tapi sedikit pun tidak disentuh oleh cowok itu, dan sekarang dia menyuruh untuk membuang semua?

"Cepetan buang! Malah bengong!" tukasnya, bengis.

Hana tidak ingin melakukannya, membuang makanan sama saja dengan membuang berkat, namun ketika melihat raut tajam dan menuntut dari cowok itu, mau tidak mau Hana membuang semua makanan tersebut ke tong sampah terdekat.

"Sekarang gue haus," katanya lagi.

Dengan sedikit kesal Hana menyentak botol minuman yang dia beli tadi ke dekat Jay. Tapi Jay malah mengulang perkataan yang sama tanpa melirik minuman itu. "Gue bilang gue haus!"

Mulanya Hana bertekad tidak akan mengeluarkan suaranya, tapi sekarang dia refleks berujar. "Di depan lo ada minuman, kalau haus ya tinggal minum!"

"Gue haus!" sentaknya sekali lagi.

Hana dibuat tak habis pikir. Dia meminta hal yang sudah jelas ada di depan matanya. Apa mungkin dia memiliki riwayat penyakit autis?

Tiba-tiba lengan Hana ditarik kasar hingga tubuhnya mencondong ke depan. Napas Hana tertahan karena wajah Jay bisa dibilang begitu dekat dengan wajahnya. Bahkan hembusan napas cowok itu dapat Hana rasakan menerpa kulit wajahnya.

"Yang lo kasih ke Mama gue, gue tunggu lima belas menit dari sekarang."

°°°

Jangan lupa votes buat yang nunggu<3

Jangan lupa votes buat yang nunggu<3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Breastfeeding Prince✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang