4. Dibenci Itu Sebuah Pilihan

371 52 1
                                    


Benar. Cowok itu menepati janjinya. Selalu masuk kampus meski beberapa kali masih terlambat. Sekembalinya dia ke kampus, sosok yang santer diperbincangkan dengan julukan monster kampus itu tidak pernah sekalipun membiarkan Irene bebas.

Hidup Irene terasa seperti dalam kurungan dengan Yuu yang selalu membawa kuncinya. Cewek itu tidak dibiarkan bebas walau hanya ingin pergi ke perpustakaan. Benar-benar diluar perkiraan. Kalau terus seperti ini, nilai sempurna yang selama ini Irene dapat akan perlahan memburuk. Termasuk, beasiswa yang sejauh ini dia pertahankan akan dicabut.

Sialan.

Hanya mengumpat dan mengumpat dalam hati. Irene tidak bisa mengatakannya secara lantang didepan wajah Yuu, maaf saja tapi dia tidak seberani itu. Tidak hanya sekali Irene melihat Yuu menghajar orang tanpa ampun didepan matanya sendiri.

"Lo bilang mau malak gue, hah?" saat ini mereka disini. Melihat cowok jangkung yang wajahnya tidak asing lagi. Menarik kerah baju lawan bicaranya, berbicara kasar pada mereka, lalu menghempaskannya jauh hingga terlempar kebelakang.

Kali ini ada mahasiswa pindahan yang tidak tahu menahu perihal Yuu meminjam uang karena terdesak. Namun justru dianggap Yuu sebagai upaya meminjam tanpa mengembalikan.

Aduh.

Tanpa sengaja lemparan itu mengenai Irene yang mencoba mengalihkan atensi dengan membaca. Tapi lagi-lagi Yuu tidak akan membiarkannya duduk tenang. Irene geram.

"Udah gue bilang jangan berantem apalagi dideket gue." dia menyuarakannya. Tidak tahan lagi terus berdiam diri sementara merasa diperlakukan tidak manusiawi.

"Hah? Jadi lo berani nantang gue juga?" Yuu ikut tersulut. Cowok itu paling lemah dalam urusan menahan diri. Tempramental adalah karakter utamanya. Berteriak dan berkata tidak sopan kepada setiap lawan bicara adalah sekian dari banyak kebiasaan buruknya.

"Iya. Gue gak terima."

"Jadi lo mau apa?" Yuu mendekat -mengikis jarak diantara mereka. Tangan besarnya tidak berdiam diri saja. Cowok itu juga tidak segan mengancam dan menggertak seperti yang dilakukannya saat ini. Irene terpaksa berjinjit saat kerah bajunya lagi-lagi ditarik. Dia sudah lupa ini yang keberapa kalinya.

Yuzuru Majalengka. Tidak ada yang tahu darimana dia berasal. Seperti apa keluarganya ataupun informasi lain menyangkutnya. Dia tidak akan segan menantang siapapun yang menurutnya tidak sepaham dengannya. Memukul sepertinya sudah jadi kebutuhan setiap harinya. Dia cowok yang keras. Tatapannya selalu setajam elang. Wajah dingin yang selalu terlihat tidak ramah. Yuu juga jarang tersenyum.

Sebenarnya, kehidupannya nyaris sama dengan Irene. Mereka dua orang yang saling dibenci oleh sekelilingnya. Meski terbilang tampan, bahkan tidak sekali dua kali Yuzuru Majalengka diikut sertakan menjadi pangeran kampus, namun selalu ditolaknya. Andai saja dia bisa sedikit ramah saat berbicara, mungkin tidak sedikit cewek-cewek yang akan menggandrunginya. Sama seperti Irene, Yuu juga termasuk orang yang populer dibalik layar.

Pelan-pelan cowok itu melepaskan cengkeramannya. Memilih berbalik pergi tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Sementara Irene yang merasa aneh dengan gelagat tidak biasa cowok itu barusan hanya bisa bergeming ditempat.

Banyak mata yang mengarah pada mereka. Meski begitu, tidak ada satupun yang berani mendekat ataupun bertanya pada para korban tentang bagaimana kondisi mereka saat ini. Mereka terlalu pengecut untuk berurusan dengan laki-laki menyeramkan semacam Yuu.

"Aneh. Gak biasanya dia gitu." gumam Irene pada dirinya sendiri.

Cewek itu mengambi tasnya. Menepuki rok selutut yang sedikit kotor lalu berlari kecil menyusul Yuu. Ini bukan keinginannya, tapi kedua kakinya seolah tidak sinkron dengan otaknya. Dalam hatinya terus saja terucap kalimat 'pasti ada yang gak beres."

"Yuu, tunggu!" Irene memanggil. Jarak mereka lumayan jauh. Langkah kaki seorang monster memang luar biasa besar. Tidak heran jika cewek itu kesusahan menyusulnya. Yuu bersikap acuh. Cowok itu tidak memedulikan walau Irene dibelakang terus memanggilnya juga beberapa kali tersandung.

Irene berhasil menyusulnya. Kini mereka berada di halaman belakang kampus. Tidak banyak mahasiswa atau warga kampus lainnya yang mendatangi tempat ini, mengingat lokasinya yang nyaris terisolasi. Melihat Yuu yang terpejam disalah satu bangku taman, Irene memutuskan duduk disampingnya. Merogoh lalu mengeluarkan beberapa plester dari dalam tasnya.

"Padahal udah bukan anak kecil lagi tapi masih aja gak bisa kendaliin diri." Irene membuka pembungkus plester lalu menempelkan pada pipi kanan Yuu.

"Seharusnya lo lebih belajar sabar." cewek itu menempelkannya lagi, kali ini disudut bibir Yuu.

"Lo itu makhluk paling nyebelin yang pernah gue temuin selama hidup gue." cewek itu berucap ketus. Kali ini mengeluarkan plester yang lebih besar, menempelkannya pada salah satu lengan. Banyak memar menghiasi tubuh cowok itu.

"Gue gak peduli." gerakannya terhenti karena ada tangan lain yang mencekal. "seharusnya gue gak peduli." Irene menatap lurus. Mata mereka menumbuk.

"Nyatanya lo gak bisa berhenti khawatir sama gue." cewek itu nyaris tidak berkedip saat melihat Yuu terkekeh kecil.

Barusan itu Yuu tersenyum. What?

"Lo bisa senyum?"

"Lo pikir gue apaan?"

"Monster mesum. Aduh." Irene mengelus kepalanya saat mendapat jitakan.

"Sorry kalo sikap gue gak ramah. Gue cuma gak suka, disukai tapi ada maunya."

Irene manggut-manggut. Merogoh tas untuk mengeluarkan dua botol air mineral yang masih tersegel. Menyerahkan satu pada Yuu. "ini. Lo gak perlu khawatir karena sejak awal gue udah benci sama lo."

Yuu tertawa. Entah kenapa ucapan Irene justru menghiburnya. Ada perasaan lega yang menguar setelah cewek itu berada disisinya dan tidak pernah meninggalkannya walau berkali-kali diperlakukan tidak baik oleh Yuu.

"Lagian gue gak minat disukai sama siapapun kecuali lo."

"Hm. Gue gak pernah berhenti benci lo." cowok itu tertawa lagi.

"Sejak awal kita ketemu. Gue udah bilang kalo udah suka lo dan sampai kapanpun bakal terus begitu."

"Hm. Sejak awal ketemu sampai kapanpun gue selalu benci lo."

Yuu memasang ekspresi tidak suka. Cowok itu mempertipis jarak diantara keduanya hingga menyisakan sejengkal saja. Napasnya mulai berat. "Gue bakal bikin lo suka gue."

Irene menelan ludahnya susah payah. Meski sudah berkali-kali sedekat ini, tapi dia masih tidak bisa terbiasa. Bagaimanapun juga mereka adalah dua lawan jenis yang saling berdekatan. "Gu...gue tetap benci lo, Tuan Monster."

Cowok itu menjauhkan wajahnya. Beberapa rambut yang panjangnya melebihi batas seharusnya tertiup angin pelan. Senyuman merekah, begitu tulus dari balik bibir yang selalu menyerapah tidak ramah. Baru kali ini dada seorang Irene berdegub kencang. Sensasi macam apa ini?

"Irene?" lamunannya dibuyarkan oleh Yuu. Dengan cepat cowok itu mengambil alih buku tipis yang semula berada dalam pangkuan Irene, dan kini berada diantara mereka.

Bibir mereka, kalau bukan karena buku yang menjadi penghalang, pasti lagi-lagi ciumannya dicuri oleh Yuu.

"A...apa maksudnya ini?" Irene tergagap. Wajahnya merah padam menahan malu.

"Penyegel ciuman. Dengan ini gak akan gue biarin siapapun nyentuh lo. Lo itu milik gue, Irene."

Lagi-lagi dia dipermainkan. Diperlakukan tidak menentu semenjak pertama kali mereka bertemu. Hidup tenang Irene Arlandria menjadi porak-poranda.

"GUE BERSUMPAH SELAMANYA BENCI SAMA LO, YUZURU MAJALENGKA." Irene berteriak keras sementara Yuu terus tertawa seolah tanpa dosa.

My Beloved Monster (TAMAT)Where stories live. Discover now