21. Marketing Hati

145 30 6
                                    

Yuu mondar-mandir. Manik gelapnya bergerak gusar. Kepalan erat dikedua tangannya sekilas bisa meremukkan jari-jarinya sendiri.

"Kenapa daritadi kamu gak ngejual apapun di etalase?" Pria dengan perawakan tambun itu berjalan tergesa menuju Yuu. Telunjuknya menunjuk cowok yang daritadi tampak tidak tenang. Seliweran diantara rak yang berjajar.

"Yah ini gue lagi usaha." Sorot mengintimidasi Yuu keluar begitu dia bertatapan dengan si lawan bicara. Suaranya lantang dan tidak pula tersirat kesadaran akan sungkan. Sadar tekanan berat yang dipancarkan kedua kelereng hitamnya, aura yang tidak bersahabat menguar keluar. Atasan baru Yuu memilih berbalik dan kembali kedalam ruangannya.

Cowok itu memutuskan untuk menghidupi dirinya sendiri. Mendadak saat ingin mengambil uang di atm, kartu debitnya ter blokir. Pasti konsekuensi yang cowok itu terima perihal minggat dari rumah.

Sialan banget si Grizz.

Jujur saja ini pertama kalinya Yuu bekerja. Kali pertama pula dia lepas dari tunjangan hidup yang diberikan Papa dan Mama. Satu hal yang cowok itu sadari saat dia harus jatuh bangun demi untuk menghasilkan uang pengisi perut. Rasanya... Menegangkan. Dan Yuu suka sensasi itu. Hanya satu hal yang tidak dia suka, sikap diperintah oleh atasannya saat ini.

Yuu itu manusia paling bebas di alam semesta. Dia satu-satunya jiwa yang merdeka dan tidak terikat bentuk aturan apapun. Dia tidak akan mau tunduk dan tidak pula ditundukkan. Melawan itu salah satu dari sekian banyak karakternya. Sayangnya Yuu tidak hidup di jaman para Kompeni Belanda, tidak pula tumbuh remaja saat masa perang Kapiten Patimura. Apalagi terlahir menjadi mahasiswa zaman Pak Soe hard 2. Cowok itu lahir sebagai generasi Milenial yang mayoritas lebih mendahulukan pikiran negatif. Insecurity dan overthinking jadi momok di era kehidupannya.

Serem, sih.

Tapi untung saja Yuu orangnya anti baperan. Siapapun yang berani mencelanya, asal diketahui si empu, semua halal untuk di pukul, kata Yuu.

Setelah mondar-mandir tanpa kepastian, Yuu merasa lebih tenang. Cowok itu mulai berjongkok dan mengangkat satu persatu tumpukan kardus berisi sepatu, baru di restock oleh pihak penyupplai beberapa jam lalu. Memindahkan serta menatanya sesuai dengan urutan rak.

Pelanggan mulai berdatangan. Yuu tidak peduli.

Beberapa anak kecil berlarian sampai menubruk rak -membuat deretan sepatu yang baru saja Yuu susun menjadi berantakan. Cowok itu menendang angin didepannya. Mendengus sebal tapi kali ini dia tidak menyerapah barang berbisik pun. Dia masih sadar posisinya saat ini hanyalah karyawan. Setidaknya kalau hanya perkara kecil begini, Yuu masih bisa meredam monster dalam dirinya.

'Sabar, yang sabar gue. Kalo nendang anak kecil bakal dikeroyok massa.' gumam pelan cowok dengan seragam kuning ngejreng itu.

Suara lonceng didepan pintu berbunyi, tanda ada pelanggan yang baru saja menginjakkan alas kaki mereka di toko yang sempit dan pengap ini.

Yuu sekali lagi tidak peduli. Cowok itu tetap bergeming ditempat.

Seorang cewek yang dia perkirakan seumuran dengannya berjalan mendekat, menuju arahnya. Yuu berdecih, padahal dia sendiri tidak tau maksud apapun si empu mendekatinya. Bisa saja hanya bertanya perihal sepatu. Yah, sepatu, karena keduanya berada di toko sepatu dengan satu pihak sebagai karyawan dan satunya lagi sebagai pelanggan. Yuu melupakan fakta, perihal peribahasa 'Pembeli adalah raja.'

Bodoamat.

Semua selain Irene tidak perlu untuk terlalu diperhatikan, pikirnya.

Cewek itu berjalan kian mendekat. Satu tangannya terulur, hendak mencolek bahu Yuu. Tapi sedetik sebelum tangan cewek itu sempat menyentuhnya, Yuu lebih dulu melangkahkan kedua kaki panjangnya. Perlakuan Yuu membuat cewek itu menggerutu sambil terus memberengut kecewa. Yuu bahkan tidak peduli sekalipun sadar dia sedang diawasi dari setiap sudut.

My Beloved Monster (TAMAT)Where stories live. Discover now