51. Secercah Cahaya

45 10 1
                                    

"Jadi keputusan lo gimana?" Pagi hari. Irene yang masih setengah sadar justru di desak agar segera pindah. "Mendingan lo ikut gue."

Irene membasuh muka. Menguncir tinggi-tinggi rambut sebahunya. Cewek itu juga menggosok gigi. Menggeleng beberapa kali sebagai tanda penolakan tanpa perlu berkata.

"Hidup sama gue lo bisa lebih makmur." Yuu tidak berhenti berusaha.

Yah, jika itu masih satu bulan yang lalu mungkin Irene langsung menyimpulkan bahwa hidup bersama monster itu hanya akan membuat dirinya stress setiap hari. Untuk saat ini, setelah semua yang Yuu lakukan untuk Irene. Cewek itu rasa Yuu sudah jauh lebih baik. Setidaknya, tidak akan rugi jika di masa depan dia calonkan sebagai suaminya.

Tsun-tsun begini Irene tetap menyukainya.

"Gue gak akan kemana-mana dulu, Yuu."

Bebal.

Sudah tahu sering tidak diacuhkan tetap saja memilih bertahan.

Yuu mendengus. Cowok itu ikut berdiri di sisi sang kekasih. Yuu menjaga jarak setidaknya satu meter saat menyalakan alat cukur yang dia peroleh secara gratis kemarin saat event 11.11 di Thopee. Yuu telaten memangkas surai panjangnya. Irene di sisi hanya dibuat bergeming, untuk pertama kalinya Yuu berkata ingin terlihat lebih rapi. Cowok itu bahkan melepaskan anting di telinga kanan dan kiri. Ada setidaknya empat lubang, satu di sisi kiri dan tiga bekas tindikan di sisi lainnya.

"Lo tumben?" Irene mengeluarkan sikat gigi dari mulutnya. Cewek itu bertanya tanpa menoleh lebih dahulu.

"Kepoan lo."Irene tertawa. Sentilan Yuu yang terdengar tak acuh sedikit menggelitik lambungnya.

"Setelah ini ayo kita berangkat."

"Heem."

***

"Yuzuru Majalengka."

Yuu yang terkantuk-kantuk di bangku terdepan, tepat berada pada sisi sang pacar tidak merespon sama sekali. Cowok itu bukannya mengangkat tangan saat namanya dipanggil Dosen, Yuu malah lebih menggelosorkan badan. Dengkuran halusnya dapat di dengar seisi kelas.

"YUZURU!"

"Berisik woi!" Yuu menggebrak meja. Cowok itu melempar tas ke depan bangku sebelum akhirnya tengkurap di hadapan semua orang. Cowok itu melanjutkan tidur. Tidak peduli sekalipun Dosen filsafat yang menghadiahi dengan death glare mematikan.

"Dateng ke meja saya sekarang juga atau kamu saya keluarkan."

Yuu mengerjap. Menguap dua kali sebelum akhirnya berjalan gontai mengikuti perintah orang tua berjas warna putih. Niatnya ingin dia abaikan saja tapi kalau ancamannya terjadi dan Yuu dikeluarkan, Irene pasti akan menangis tujuh hari tujuh malam. Mau tidak mau Yuu harus menurut.

Tidak berselang lama mereka sampai di kantor BAK. Yuu duduk tegak saat Dosen filsafatnya menghujami dengan banyak pertanyaan yang Yuu sendiri malas untuk menjawabnya.

"Yuu tutup mulut kamu saat kamu nguap. Itu gak sopan."

Yuu menutup mulutnya rapat. Tidak membiarkan sedikit celah dia biarkan terbuka. Ketika ditanya, Yuu hanya akan menggeleng atau mengangguk tanpa melepaskan bekapan mulutnya. Hal ini membuat Dosen yang mewawancarai dibuat semakin kesal.

"Lepas tangan kamu!" Dosen itu memerintahkan.

"Oke pak." Yuu kali ini memijit kepalanya pelan.

"Kenapa lagi kepala kamu?"

Cowok itu menoleh. Tersenyum simpul lalu menjawab, "Pening pak dengerin khutbah bapak."

"Kamu tahu diri kamu kacau banget? Kalau kamu gak pernah ngumpulin tugas, gak ikut praktikum sama sekali, gak ikut ekstra atau intra kegiatan kampus, terus nilai yang kamu peroleh dapat dari mana?" Yuu mendengarkan semuanya. Dia tetap santai sekalipun tidak diberitahu Yuu sangat paham itu semua.

My Beloved Monster (TAMAT)Where stories live. Discover now