34. Krisis Hati

73 23 16
                                    

Rembulan bundar berpendar terang tepat diatasnya. Disekeliling banyak lampu temaram yang menambah kesan estetik. Sorot mata layu yang menatap nyalang penuh ketidaksukaan semakin berkilat murka.

Kedua tangannya terkepal kuat. Mireya mencoba meredam panas yang sedari tadi menyelimuti hatinya. Cewek dengan dress satin warna merah terang itu terlihat anggun. Kedua kaki jenjangnya ditopang hak sepatu tinggi. Kedua bahunya terekspos dengan kalung warna senada yang melingkari leher putihnya. Beberapa kali lawan jenis yang tidak sengaja lewat dibuat tersandung karena tidak fokus. Paras Mireya memang anggun khas orang eropa.

Dering telepon dalam genggaman menginterupsi. Mireya buru-buru menggeser ikon panggilan untuk mengetahui siapa orang tanpa identitas di kontaknya itu.

"Halo?" Mireya mundur sedikit. Cewek itu memilih untuk duduk dibangku taman terdekat yang bisa dirinya jangkau.

"Gimana? Kamu udah siap buat nyingkirin dia?"

Suara diujung sana membuat lengkungan tipis di sudut bibir Mireya tertarik perlahan. Mireya tahu betul siapa orang yang saat ini sedang menelponnya.

"Aku siap, Om. Selalu." Panggilan diakhiri sepihak. Mireya beringsut membenarkan lengan dressnya yang sedikit turun. Cewek itu menatap bawah, tanah yang dipijaknya tampak basah dan lembab.

Mireya memegang tangannya sendiri. Tubuhnya mendadak gemetar. Isi kepalanya mengatakan bahwa dia tidak ada masalah sekalipun diperintah membunuh banyak orang sekaligus. Tapi mengapa? Langkah kakinya berat sekali. Tubuhnya seolah enggan dan berkata bahwa dia tidak boleh maju lebih jauh lagi.

Gelisah. Mireya tidak tenang dengan semua bayangan yang sekelebat bermunculan. Tapi dia juga tidak bisa membiarkan keharmonisan Yuu dan Irene bertahan semakin lama, apalagi, untuk selamanya. Tidak!

"Gue tahu. Setelah ini lo pasti lebih benci gue lagi, Yuu. Tapi asal lo gak sama dia gue gak masalah dibenci."

Cintanya sudah terlalu buta. Perasaan menggebu yang kerap kali muncul dalam hatinya membuat Mireya kehilangan akal sehat. Cinta yang dimilikinya untuk Yuu sudah tidak ada batas toleransi lagi. Seribu satu macam cara licik bahkan dengan sukarela cewek itu tempu hanya untuk mendapat pujaan hatinya. Setidaknya, bagi Mireya, jikalau dia tidak bisa menggapai hati cowok itu, memiliki raganya sudah lebih dari cukup. Cinta akan hadir seiring berjalannya waktu.

Mireya tidak sadar pemikiran itu yang justru membawanya pada penyesalan tidak berujung. Tapi satu hal yang Mireya sadari, bahwa menaruh harap pada manusia yang jelas mengatakan tidak untuk membalas perasaannya adalah seni paling sederhana untuk membuatnya dirinya terluka dan menderita.

Mireya melepas kedua alas kakinya. Cewek itu mulai berlari sambil menerobos kerumunan orang disana-sini. Beberapa kali kerikil dia pijak sampai menggores telapak kaki tidak dia pedulikan. Dia tidak peduli.

***

"Kita kemana?"

"Cari es krim."

"Tapi disana tadi ada. Ngapain dilewatin?"

"Orangnya udik gue gak suka. Suka ngupil pas jam istirahat."

Irene menepuk jidatnya kesal. Heran kenapa Yuu bisa tahu bahkan saat cowok itu tidak berada disana. Pengelihatan mata batin? Irene mulai menerka.

"Yuu!"

"Bentar doang." Irene berteriak tepat saat cowok itu mengambil ancang-ancang untuk berlari. Seolah dengan sengaja memberi isyarat bahwa dia akan pergi sebentar.

Irene mengangguk. Dia ditinggalkan di tepi jalan sendirian. Lima menit berlalu Irene memutuskan untuk berjalan maju beberapa langkah, lalu mundur lagi. Dia ulang untuk mengusir kebosanan yang hinggap.

My Beloved Monster (TAMAT)Where stories live. Discover now