Escape From Pain - 87

35 9 1
                                    

Buk! Buk! Buk!

Lagi dan lagi.

Hal itu terjadi lagi.

Hal yang selalu terulang entah ke sekian kalinya.

Sakit yang tak terkira bukan hanya dari fisik yang terlihat semata, meski memar di mana-mana tetapi ada yang jauh lebih dalam lagi lukanya. Cabik-cabik dalam hatinya, entah siapa yang akan mampu menyembuhkan?

Perih yang menganga, darah yang bertumpah, siapa yang dapat menutupnya?

Tidak ada.

Tidak seorang pun.

Dari seorang anak lelaki kecil yang lemah dan hanya dapat memohon ampun, hingga lahirlah seorang lelaki remaja yang sudah dewasa sebelum umurnya. Yang kini berakhir diam tanpa melakukan perlawanan apapun, yang tak berkomentar walau sekata pun. Seolah lidahnya sudah kelu dan hatinya dipaksa 'mati'.

"Dasar cowok tolol! Kamu mau jadi apa, hah?" Sang wanita alias mama berapi-api. Sorot matanya sangat mengerikan. "Cowok harus lebih hebat dari cewek! Kenapa sih kamu kalah terus sama yang namanya Anna-Anna itu hah? Mama kan dah bilang kamu harus belajar terus!"

"Aku udah belajar."

"Bohong!"

Brak!

Vas yang tidak bersalah menjadi korban.

"Kenapa kamu selalu melawan? Mama udah bilang, keluar dari basket!" teriak sang mama tepat di wajah anak. "Mau jadi apaan sih kamu ikut-ikut gituan? Dapet apa emangnya?"

"Aku bisa dapet beasiswa karena basket." Arul menjawab setengah menunduk. Sudah lelah dengan semua drama omong kosong. Bisakah orang tua menghargai sekecil apapun proses yang dilakukan anak?

Sayangnya, sang mama dengan ringan tangannya langsung menampar sambil Arul hampir sempoyongan. "Apa-apaan? Hah? Beasiswa doang? Kamu pikir mama bangga kamu dapet beasiswa bukan akademik kayak gitu? Yang artinya emang kamu goblok, tolol, dan bego!"

Dada Arul berdesir. Meski sudah berkali-kali menelan semua kepahitannya, entah kenapa hatinya tetap sakit.

"Ma, tolong hargai aku. Seenggaknya, aku ini peringkat dua paralel. Aku cuma nggak bisa fisika," pinta Arul dengan nada yang miris. "Tolong jangan paksa aku untuk melakukan hal yang aku nggak bisa."

"Apaan sih?" Mama Arul semakin panas, urat-urat birunya nampak di sekitar leher. Emosi semakin membuncah. "Kamu tuh emang tolol! Anak gak tau diuntung! Malu-maluin aja bisanya! Semua anak temen mama di arisan rank 1 semua! Kenapa kamu bikin mama malu sih? Kenapa? Apalagi kamu kalah sama cewek hah? Bisa apa sih kamu tuh?"

Membandingkan dengan anak-anak ibu yang lain dan Anna membuat Arul semakin membenci dirinya. Hampa di dalam, kekosongan yang tak nampak. Bisakah Arul mengakhiri semuanya? Mengakhiri setiap sakitnya? Atau ... hidupnya?

***

Sejak detik itu, Arul tidak mau pulang ke rumah lagi. Dia kabur ke rumah Fariel. Orang tua si cowok kaya itu bekerja di luar negeri dan jarang sekali pulang. Rumah sebesar itu yang lebih cocok disebut mansion hanya ditempati sendiri dan beberapa pembantu di dalamnya. Betapa beruntungnya Fariel menurut Arul, karena tidak pernah dimarahi sang mama.

"Tapi ... gue nggak bawa seragam."

Fariel memandang tubuh Arul dari atas sampai bawah. Benar-benar lusuh. Arul seperti seorang gembel yang mau menumpang di rumah pangeran.

"Aman aja sih." Fariel menyahut lalu menunjukkan total uang di rekeningnya dalam gawai yang membuat Arul hampir mati berdiri. "Masih banyak, kan? Maklum gue kan Fariel Dermawan Sayudha yang terlahir ganteng, baik hati, nggak sombong, rajin menabung, dan kaya kuadrat. Jadi lo mau gue beliin berapa banyak?"

Benar-benar sosok malaikat penolong. Seandainya Fariel bukan cowok, mungkin detik itu juga Arul akan langsung menikahinya. Sayangnya karena dia sejenis, tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi.

------
Haihai~ 😍 ada yang jatuh cinta sama Fariel? /oy

Posted : 17 September 2020

Robot Sang Peri Cinta✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang