His Secret - 86

37 8 1
                                    

Dua minggu berlalu begitu cepat. Meski sudah berusaha belajar semaksimal mungkin, tapi apa daya? Saat masa penilaian tengah semester berlangsung, dirinya juga sudah putus asa melihat rentetan soal berjejer di hadapannya. Optimis sudah, yakin sudah, berharap sudah, tetapi tetap saja hasilnya sama.

Mengapa hidup ini kadang benar-benar adil bagi mereka yang beruntung saja?

Dia meneguk saliva, berusaha menahan semua perasaan mencengkam, jijik dengan hasil lembaran kertas yang diterima. Ingin dia robek, bakar, atau hancurkan kalau bisa. Pokoknya jangan sampai wanita itu ... melihatnya.

Dadanya seperti ditancap ribuan pecahan kaca, dalam, pedih, dan mengucurkan darah yang tak terhitung berapa banyak tetesannya.

Air matanya kini bersimpuh di ujung pelupuk. Sial, dia tidak boleh menangis. Lebih tepatnya, apakah hari ini dia harus pulang?

Diraihnya gawai yang berada di dalam tas lalu menghubungi seseorang.

"Ki, lo di mana?"

Jawaban dari orang seberang terdengar.

"Gue boleh ke rumah lo?"

Hening.

Jawaban yang sekarang diterimanya bukanlah harapannya.

"Gue tau ini salah, tapi ...."

Ucapan itu tertahan bersamaan dengan tetesan yang mengalir sedemikian rupa, membanjiri pipi.

"Oke, maaf."

Tes. Tes. Tes.

Sial, tidak seharusnya lelaki selemah ini bukan?

***

"Mana hasil ujianmu?"

Belum juga mencapai lantai rumah, omongan itu sudah didengarnya dari depan rumah. Seorang wanita paruh baya memakai baju serba ungu kini tampak di netranya. Orang yang ... ingin dihindarinya, kalau bisa.

"Belom keluar."

Bermaksud untuk masuk ke rumah, tetapi malah dicegat.

"Jangan boong!" Wanita itu kini menyipitkan mata, meski kerutan wajahnya mulai terlihat tetapi kecantikannya tidak bisa ditutupi. Saking menawannya, rupa itu juga yang turun-temurun di dalam keluarga hingga sosok lelaki yang sekarang ingin melarikan diri.

Anak lelaki itu kini terdiam saja. Tidak berani melawan. Sang wanita yang berwajah sangat mirip dengannya langsung mendorong tubuhnya dan merampas tas gendongnya, detik berikutnya dengan penuh gusar langsung mengubrak-abrik isi hingga seluk beluk dari kantung terdepan hingga terbelakang.

"Di mana?"

"A ... apanya?" Wajah si anak lelaki mulai gemetar, tetapi tetap berusaha mempertahan wajah datarnya.

"Di mana kau sembunyikan hasil ujian Fisikamu?"

Deg.

Karena tak ada jawaban apa pun, dagu sang anak lelaki ditarik agar menghadap sang wanita. Saking kesalnya. "Mama bicara padamu, Arul! Di mana kau sembunyikan ujianmu?"

"Nggak ada, belom dibagiin." Arul masih memandang datar walau hatinya sudah ambyar.

"Mama udah tanya Bu Dewi, ya. Kamu mulai berani ya boongin mama, hm?"

Arul membuang muka. Kini sang mama menyipitkan mata, menyadari bahwa ada suatu kemungkinan lembar ujiannya disimpan di dalam suatu tempat yang tak terduga. Bisa jadi ....

Shruk!

Mama Arul langsung meraba dan memasukkan tangannya ke dalam kantung celana, lalu kemudian menemukan sesuatu.

Sebuah lembar ujian.

'Anak yang mudah ditebak.'

Arul memang tidak berniat untuk menyembunyikan kertas ujian itu, lagipula untuk apa? Apabila tidak menemukannya dari yang bersangkutan, bukankah orang tua obsesif itu akan melakukan penelusuran sendiri berdasarkan nilai raport, atau guru-guru?

Jadi untuk apa ... bersembunyi?

Sebuah angka 60 tertulis rapi di ujung kertas, mama yang sudah sempat menduga tetap saja melotot.

Angka yang sangat buruk.

Buk!

Sebuah kejadian yang merupakan rutinitas setiap kali nilai ujian fisika dibagikan, gebukan demi gebukan dirasakannya lagi dan lagi. Tidak pernah dipedulikannya oleh sang mama nilai-nilai di mata pelajaran lain yang sempurna. Dia hanya selalu berfokus pada apa yang menjadi kekurangan sang anak.

Itulah mengapa ... Arul sangat membenci Fisika. Bahkan kebenciannya pada Fisika menyamai kebenciannya pada Anna.

-----
Ko jadi kasian sama Ayul? Hiks sini aku mau peyuk Ayul:")
Kalian gimana? Jadi paham kan kenapa Ayul benci fisika😭

Posted : 16 September 2020

Robot Sang Peri Cinta✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang