"Ya sudah Mama ikut jemput, sekalian nanti belanja keperluan barang-barang untuk seserahan. Biar Sabiya bisa pilih-pilih sendiri. Mumpung Papa juga hari ini masih ada kerjaan di kantornya."

Yassar menyetujui usulan Mama. Dia langsung memberitahu Sabiya sekaligus meminta izin pada Rais, seperti biasa ia sampaikan di grup Persiapan Pernikahan.

"Tapi nanti Mama dan Sabiya saja yang pilih-pilih, ya. Aku tunggu di mobil."

Alisnya bertautan, seolah berkata "Kok begitu, sih?"

Benar saja. Tidak lama kemudian pertanyaan itu muncul ke permukaan. Yassar tertawa sebentar karena tebakannya benar. "Ma, kalau aku ikut, sama saja bohong. Nanti banyak kesempatan aku menatap Sabiya, belum kuat aku ini lho, Ma."

Mama ikut tertawa, "Yowes lah, Yas, sakarepmu."

Mama keluar untuk bersiap-siap, begitu pun dengannya. Setelah mendapatkan balasan dari Sabiya dan izin dari Rais, dia segera beranjak dari tempat duduk.

Yassar teringat bagaimana kemarin Sabiya datang ke acara seminar yang ia beritahukan, sayangnya dia tidak bisa menemui perempuan itu dengan alasan ingin menjaga sebelum akad benar-benar terucap. Kata ustaz Syamil, di masa-masa seperti ini sangat rawan disusupi hal-hal tidak baik, celah untuk setan seolah terbuka lebar. Kalau tidak tahan dengan godaannya, hilang sudah keberkahan menuju pernikahan.

Memang benar perang terbesar adalah melawan hawa nafsu diri sendiri. Kalau mengikuti keinginannya, dia sudah menemui Sabiya sejak kemarin-kemarin, mengajaknya jalan, atau sekadar makan berdua.

Tinggal beberapa minggu lagi, tidak akan terasa. Akan ada masa dimana semuanya bisa dia lakukan tanpa mengundang fitnah dan mendatangkan dosa. Selama akad belum terucap, penjangaan harus terus diperketat.

▲▽▲

Sabiya menunggu di depan gerbang asrama. Dia terkejut tiba-tiba Daris mengatakan kalau ibunya ingin bertemu sekaligus mengajaknya membeli beberapa keperluan untuk seserahan. Awalnya dia menolak, dan memilih menyerahkan semuanya pada pihak laki-laki. Namun, ketika Daris bilang ini permintaan ibunya, tentu dia tidak bisa menolak.

Sabiya menoleh ke belakang, di sana Ashila masih berdiri sama-sama menunggu di depan pintu keluar. Saking penasarannya dia, tapi Sabiya masih belum memberitahu. Mungkin sepulang dari sini baru dia akan menceritakan yang sebenarnya.

Sebuah honda hazz hitam berhenti tepat di hadapannya. Bayangan laki-laki itu terlihat dari balik kaca, seorang wanita seusia ibunya keluar dan menghampirinya.

"Eh, Bu. Padahal gak apa-apa, biar Biya yang langsung nyamperin," ucapnya seraya mencium tangan wanita di depannya.

"Gak apa-apa, Mama yang mau kok." Usapan tangan di kepalanya membuat Sabiya merasa hangat. "Yuk," ajaknya.

Sabiya mengangguk. Ia menoleh ke belakang dan melambaikan tangan. Sabiya tahu saat ini pasti temannya sedang kesal karena bukan sang calon yang keluar, melainkan ibunya.

Saat ini dia berada di kursi belakang bersama calon ibu mertuanya. Iya, masih calon, sebelum akad terucap belum ada yang benar-benar pasti. Saat ini mereka hanya sedang mengikhtiarkan, semoga hasilnya memang baik.

Ponselnya berdering, setelah meminta izin Sabiya menerima panggilan dari kakaknya.

"Waalaikumsalam, Mas. Iya jadi, ini sudah di jalan bareng Daris dan Ibunya," dia menatap wanita di sampingnya dan tersenyum. "Oh iya, Mas. Aku tunggu."

The ReasonWhere stories live. Discover now