BAB 2 - Korban Pertama

Start from the beginning
                                    

"Ah, gue nggak tahu itu. Kita lihat saja nanti. Oh iya, gimana menurut lo, Eliza?"

Eliza menggeleng, menandakan dia tidak ingin mengatakan apapun. Pandangannya masih kosong, kedua kakinya masih terlalu lemas untuk digerakkan.

"Lo nggak apa-apa, El?"

Sekali lagi Eliza menggeleng. Eliza melangkah perlahan menuju kelas. Di tengah perjalanan, dia berpapasan dengan Dean yang tengah melamun. Duduk di salah satu kursi panjang yang ada di depan sebuah kelas.

Eliza melihat Dean memijat pelipisnya. Dia merasa pusing karena pemandangan luar biasa tadi. Namun setelah melihat Eliza, Dean langsung berdiri lalu tersenyum. Dia tidak ingin terlihat lemah sebagai anak laki-laki. Apa lagi dihadapan gadis spesial seperti Eliza.

"De-Dean--"

"Eliza. Ini buruk. Harusnya ini tidak terjadi." Pandangan mata Dean tidak tertuju pada Eliza. Dia sedang menyembunyikan ketakutan di dalam matanya pada Eliza.

"Iya gue tahu. Harusnya gue jawab telephone Anastasya kemarin." Eliza menjawab.

"Hah? Emang ada kaitannya sama panggilan nggak terjawab kemarin?" Dean langsung menatap Eliza dengan melongo.

"Mu-mungkin saat itu dia lagi dapet masalah dan te-terus butuh bantuan." Eliza mengepalkan genggamannya.

"Nggak Eliza. Ini nggak ada kaitannya dengan lo!"

"Harusnya gue jawab panggilannya. Ini kesalahan gue, Dean." Eliza memejamkan matanya. Dia berharap setelah dia membuka matanya, ini semua hanyalah mimpi. Mimpi yang tidak nyata dan tidak akan pernah menjadi nyata.

"Eliza, itu nggak bener, dasar payah!"

"Si-siapa yang tega ngelakuin hal kayak gini?" Eliza masih bergetar.

"Polisi segera menemukannya, El... Mungkin," jawab Dean.

Tidak lama kemudian, Hilda dan teman-temannya berjalan menuju Eliza. Wajah Hilda masih memerah dan matanya masih bengkak. Dia menangis sejadi-jadinya karena kehilangan sahabat yang paling dia cintai. Apalagi sahabatnya itu pergi dengan cara yang tidak wajar.

Kepala Anastasya hilang, sedangkan tubuhnya sudah tidak terlihat seperti tubuh manusia. Luka lebam dapat di temukan di mana-mana, darah yang sudah mengering dapat di temukan di sekujur bajunya, beberapa bagian tubuh Anastasya juga memerah seakan ada darah yang membeku di dalam kulitnya. Hal tersebut membuat Hilda benar-benar merasa gila.

Tanpa basa-basi, Hilda mendorong Eliza sampai tersungkur. Itu karena Eliza bilang bahwa Anastasya menelephone Eliza, namun dia tidak menjawab. Hilda yakin, jika Eliza menjawab telephone Anastasya maka semua ini tidak akan terjadi.

"Eh, maksud lo apa?" Dean membantu Eliza untuk berdiri sembari melotot pada Hilda.

"Gara-gara Eliza, Anastasya harus kayak ini!" kata Hilda.

"Maksud lo apa hah?!" Nada bicara Dean tinggi.

"Karena ke-tidak pedulian Eliza ini semua terjadi. Eh, Eliza! Harusnya lo ngangkat telephone Anastasya kemarin! Saat itu Anastasya sedang butuh bantuan! Tapi, lo sama sekali nggak peduli."

"Kalian ini apaan sih? Kayak bocah banget tahu nggak! Kenapa kalian nyalahin Eliza? Kenapa nggak nyalahin pembunuhnya coba?!"

Hilda pun terdiam sebentar. Matanya masih memerah menatap Eliza dengan amarah. Eliza hanya menundukkan pandangannya. Dia merasa benar-benar bersalah. Andai dia menjawab telephone Anastasya kemarin, mungkin hal mengerikan ini tidak akan terjadi. Namun, dia juga heran kenapa Anastasya menelephone. Jika Anastasya berada dalam masalah, harusnya dia menelephone temannya, bukan musuhnya.

Dark Angel [END]Where stories live. Discover now