Sabiya terdiam, dia juga belum tahu akan tinggal dimana. Apakah Daris sudah menyiapkan tempat tinggal, atau untuk sementara tinggal di rumah orang tuanya. Dia jadi bingung, kalau masa perkuliahannya di sini sudah selesai, dia harus kembali ke Bandung sedangkan Daris harus tetap di sini menyelesaikan kuliahnya juga. Bagaimana ini?

"Belum tahu, Cil. Uhm... calonnya orang sini kok," jawabnya. Hal itu sukses membuat Ashila melongo.

"Ih, siapa sih, Sa. Jangan-jangan anak kelas kita? Tapi siapa, rasanya gak ada yang dekatin kamu kok." Ashila diam, pandangannya lurus ke depan, entah apa yang dipikirkannya. Sampai sebuah pertanyaan meluncur dari bibir mungilnya. "Jangan-jangan calon kamu itu Dhabith lagi, Sa?" ujarnya penuh tanya.

Sabiya tertawa. Dia menarik tangan Ashila, "Udah lah ayo cepat keburu terlambat nanti."

"Saaa, jawab ih."

Sabiya tetap tidak menghiraukannya. Saat ini pikirannya teralihkan dengan pertanyaan-pertanyaan bagaimana kondisinya nanti setelah pernikahan, ketika mereka sama-sama masih kuliah di tempat yang berbeda.

△▼△

Ruangan sudah mulai ramai, kursi-kursi yang semula kosong kini sudah hampir terisi penuh. Acara akan dimulai sepuluh menit lagi, entah kenapa dia begitu berdebar, padahal sebelumnya biasa saja ketika mengikuti kajian pertama kali dengan Daris sebagai narasumbernya.

Itu kan dulu, kamu belum tahu kalau Dhabith itu Daris. Batinnya mengingatkan

Dari tadi sebenarnya dia tidak tahan untuk menghubungi Daris, sekadar menanyakan posisinya sedang berada dimana. Namun, tentu saja hal itu tidak bisa dilakukan, Sabiya harus bisa menahan keinginannya.

Setelah acara seminar ini selesai, dia berencana untuk mengirim pesan di grup Persiapan Pernikahan untuk menanyakan tentang hal yang mengganggu pikirannya sejak tadi.

Sabiya: Mas aku kepikiran nanti kalau udah nikah bakal tinggal dimana, sedangkan aku masih harus kuliah satu tahun lagi 'kan, Daris juga sama. Terus gimana coba?

Pada akhirnya dia tetap menanyakan hal itu pada kakaknya terlebih dahulu. Sambil menunggu balasan, dia membenahi posisi duduknya karena sebentar lagi acara akan dimulai. Suara MC sudah mulai terdengar menyapa para peserta.

"Sa, kamu masih gak mau jawab pertanyaanku?" tanya orang disampingnya.

Sabiya tidak menoleh, pandangannya lurus ke depan. "Belum, nanti saja. Fokus Cil, sudah mau mulai," ujarnya.

Acara demi acara berlalu, pembukaan oleh MC, pembacaan ayat suci Alquran, sambutan-sambutan, dan akhirnya sampailah pada acara inti yang ditunggu-tunggu.

Sabiya tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok yang berjalan dari tangga menuju tempat yang sudah disiapkan. Di sana laki-laki itu duduk, didampingi oleh seorang moderator yang membacakan CV-nya terlebih dahulu.

Hari ini tema yang dibawakan tentang Belajar dari Masa Lalu. Seminar motivasi yang tak hanya diisi oleh Daris, namun ada satu pembicara lain, dan rasanya Sabiya familiar dengan wajahnya. Dia berusaha mengingat, namun suara Daris mengalihkan pikirannya.

Kali ini suara Daris mulai mendominasi. Setelah selesai membacakan CV, moderator langsung memberikan kendali pada pembicara pertama yang tak lain adalah Daris.

Sabiya berdebar, semakin berdebar ketika tatap mereka bertemu. Daris tersenyum singkat sebelum melanjutkan menyapa peserta dan memulai pematerian.

Astagfirullah. Jaga, jaga, kamu masih harus jaga hati sebelum akad.

Daris mulai berbicara menyampaikan kisah-kisah pada zaman Rasulullah Saw. Seperti biasa, penjelasannya selalu mudah dipahami. Sabiya terus mendengarkan dengan saksama, sesekali dia menuliskan poin-poin penting di buku catatan kecilnya.

The ReasonOnde histórias criam vida. Descubra agora