"Rita, Jihan, Riska—"

Akh!

Cornelius tahu jika putrinya sedang dalam masalah besar atau terancam mati. Ia bisa merasakan karena batinnya yang begitu dekat dengan anak gadisnya itu. Manik matanya berubah merah kelam dan tubuhnya melakukan perubahan menuju kesempurnaan. Hanya butuh beberapa detik lukanya sembuh juga satu menit untuk berubah menjadi vampir seutuhnya.

"Crystal dan adik-adikku!" Cornelius mendorong perisai yang tampak seperti kaca tersebut, tak lupa mengabaikan rasa sakit yang semakin menguasai di tubuhnya. Perlahan-lahan kaca itu retak hingga kuku raja itu berhasil menembusnya.

Syuuttt!

Seketika kekuatan pelindung yang tadi menyerangnya, turun meluruh seperti air yang kehilangan pancurannya.

Tidak, Cornelius hanya cukup membuat lubang sebesar lengan kanannya yang memiliki luka tidak begitu parah untuk menggapai jantung itu yang ternyata sangat dekat. Lagi, Cornelius merasa tertipu karena berkali-kali diberikan ilusi.

Setelah berhasil menggapai jantung itu, Cornelius menggenggamnya begitu mudah dan terjadi keanehan. Gradasi biru muda itu seketika hilang begitu saja digantikan lautan hampar yang luas.

°•°•°•°•°•°

Setelah susah payah menarik Riska yang kini tak sadarkan diri dari tangan Anemone dan sekelompok serigala gila yang menyerang ikan itu secara masal, Crystal memutuskan untuk kembali pada kelompoknya. Ia membiarkan dua pengawalnya untuk menyelesaikan urusan mereka dulu. Ya, ketika mendapat panggilan, Yasmin langsung melepaskan sosok yang sudah mati di tangannya. Baru saja hendak melangkah, Motty memegangi kulitnya yang tiba-tiba mengelupas. Penuh rasa khawatir, ketiganya cepat-cepat menuju ke tempat Jihan dan Ascher. Tampaknya Jihan sedikit kehilangan keseimbangan tubuhnya alias pusing.

"Kenapa lautnya jadi warna ungu?" Jihan dan yang lainnya saling mendekat tanpa melepaskan pandangan yang terkunci oleh warna ungu yang semakin pekat. Perubahan berlangsung sangat cepat. Wajah Meri tiba-tiba memucat seperti kehabisan napas, tanpa berpikir apapun, duyung itu segera berenang untuk mencari air bening, diikuti teman-temannya yang tidak ingin kehilangan atau memisahkan diri dari yang lain lagi.

"Meri, apa yang terjadi?" Crystal mengaduh sembari memegangi lehernya yang tiba-tiba mengerat menginginkan darah. Ia juga meraba kulitnya yang mengelupas perlahan-lahan. Sangat mengerikan hingga duyung kecil itu berfirasat buruk. Benar-benar buruk bahkan untuk dua pelindung kesayangan Crystal yang memandang dirinya seakan ia santapan lezat. Tak jauh berbeda dari Jihan, Ascher dan Riska tiba-tiba terbangun karena hidungnya menjadi lebih sensitif. Netranya menatap Meri buas dan bisa saja menyerang Meri jika saja dua saudaranya tidak cekatan menahan lengan Riska.

"Teman-teman... Ini racun paling berbahaya..," Meri menjauh perlahan.

"Aku udah gak tahan! Pergi Meri!" Crystal berteriak lalu menahan Yasmin dan Motty yang juga hendak menerjang Meri.

Dara dengan netra sehijau lumut itu idak mengangguk, tidak menatap ketiga temannya, tidak juga berniat pergi dari tiga vampir kehausan di ambang tubuhnya. Seolah tidak dalam bahaya, gadis enam belas tahun itu justru memejamkan mata sejenak.

"Meri! Pergi, aku gak bisa terus-terusan tahan nafsuku! Begitu juga sama yang lain! Kasihani kami!" Crystal meremas masing-masing lengan Motty dan Yasmin. Satu sisi menahan hasratnya, satu sisi demi mengamankan Meri dari amukan monster keji. Sedangkan Jihan dan Ascher menunduk masih mencengkram kuat lengan Riska.

"Crystal..." Meri mendekat hingga yang ia panggil hampir saja kehilangan kendali. Pasalnya Meri mendekat dan bau anyir yang berasal dari tangan gadis itu menguar sangat tajam.

"Aku masih sadar, Meri. Pergilah..." Crystal menggertakkan giginya dan berakhir menangis ketika merasakan kepalanya yang pening akibat Meri mendekat lalu menangkup kedua pipinya. Ya, bau anyir darah gadis itu tercium begitu jelas.

"Sebelum kesadaranmu hilang. Sebelum kamu melupakan aku, sebelum kamu bisa menyelamatkan saudaramu, Rita, begitupun dengan yang lainnya..," wajah lawan bicaranya seketika melunak. Crystal benar-benar ingin menampar Meri karena berbicara aneh-aneh. Tapi tentu saja tidak mungkin. Ini bukan perkara tidak tega, hanya saja ia tidak mau melihat sahabatnya mati di depan matanya hanya karena pukulan pada wajah.

"Apa yang kau omongin?"

"Jantung Aleena dibawa oleh paman Cornelius. Bilang kepadanya agar ia cepat-cepat membungkusnya pada stoples berisi darah murni sebelum fajar tiba atau jantung itu tidak akan berfungsi lagi."

"Tadi katamu, kami harus menunggu hingga saat yang tepat untuk merogoh jantung paus itu. Sekarang kau bilang kalau jantungnya berada di tangan ayahku. Maksudmu apa?" Ascher ternyata masih sadar, walau matanya begitu menakutkan.

Crystal mendorong tubuh Ascher lalu mengangguk, "O-oke. Aku bakal lakuin itu, tapi jawab dulu yang tadi. Kenapa kau mengatakan hal itu, adikku?" Crystal sengaja menekankan kata 'adik' yang membuat Meri sukses menjatuhkan empat mutiara dan seketika lebur setelah terkena air laut yang terkontaminasi.

"Maaf, aku tidak bisa membantumu lebih jauh... Aku tidak bisa menemanimu lebih lama. Tapi di luar semua itu, aku akan menyelamatkan kalian untuk terakhir kalinya," Meri menunduk lalu mundur beberapa meter. Ia mengangkat salah satu tangannya hingga sinar matahari menyeruak mustahil menyinari laut dengan kedalaman lebih dari seribu meter—seketika menciptakan tabung transparan yang semakin lama semakin besar dan berhenti ketika mencapai besarnya tubuh Meri sendiri. Rambut duyung itu bersinar seperti seterang sinar baskara, bola netranya berevolusi merah pekat.

"Oma, Sonnenkönigin, bitte hilf mir.  Großvater, Meer, König von Neptun, deine Enkelin braucht dich ... Mutter, gib mir Kraft, damit ich meinen Freunden helfen kann. Ich liebe sie wirklich ..."

"Meriiii, Jangan tinggalin aku!" Crystal melepaskan kedua pengawalnya—melesat hendak menarik Meri. Firasatnya begitu buruk hingga pergerakkannya terhenti karena serangan mendadak yang mungkin akan menghancurkan wajahnya kalau saja ia meneruskan jalannya. Pada akhirnya, benda itu tak sengaja melukai batang hidungnya. Ternyata serangan itu menyasar dan mengenai tabung transparan Meri. Tidak, tabung itu sama sekali tidak hancur hanya karena belati kecil yang dilemparkan. Sekumpulan cahaya itu masih utuh tanpa tergores sedikitpun—seakan memang sudah diatur untuk melindungi Meri.

"Dasar! Anak dan orang tuanya sama saja! Pengkhianat!" Teriak Adele yang entah sejak kapan dia berada di belakang Crystal.

"Hah?!" Jihan berjengit tetapi berhasil menghindari meriam bola air yang hendak menyerangnya dari belakang. Itu berasal dari seekor serigala.

"Mati aja Lo, lemak genyul!"

Bugh! Syutttt!

"Ascher! Kenapa sih lo goblok engga pada tempatnya?" Jihan mengumpat kesal. Hanya kepalanya saja yang pusing. Gadis itu dapat bertahan karena darah Meri yang berhasil ia minum sebelumnya.

"Kalau Lo di sini, ke mana temen gue, laknat?" Tatapan tajam yang Jihan layangkan seakan tidak membuat tubuh Adele goyah karena takut.

"Bukan urusanku! Mungkin... Mati?" Jihan berani bersumpah jika ia sempat menyentuh kepala ratu itu, dipastikan akan putus saat ini juga.

"Ratu... Ada tahanan yang mengatakan ingin bertemu dengan anda," Cimol mengatakan diikuti sodokan dari tiga vampir di dekatnya karena berbicara kurang sopan pada ratu.

"Siapa? Di mana?"

Dua pengawal muncul sembari membawa Rita yang sudah diborgol di mana-mana. Ascher, Jihan pun Crystal mendelik khawatir sewaktu ratu serigala itu menarik leher Rita secara kasar lalu perlahan tapi pasti menusukkan pedang yang pasti mereka kenali siapa pemiliknya.

"Light Blazerku!"

"Ayah?"

"Paman?"

"Raja Cornelius?"

°•°•°•°•°•°

The Most Wanted Vampire In HighschoolDove le storie prendono vita. Scoprilo ora