°•9

677 36 9
                                    

"Kak Rit.. gue tidur di mana?" Jihan merengek dan hal itu membuat Rita bete subuh-subuh. Tentu saja subuh, waktu sudah menunjukkan pukul 01:00.

"Kalau lo tidur sama gue, Amerio mau Lo taruh di mana?" Rita berusaha menyeret sebelah kakinya yang diduduki oleh Jihan. Adiknya ini berbeda dengan jenis manusia seperti Piko yang mau menerima apa adanya bahkan untuk tidur di Sofa dekat kolam renang.

Jihan memamerkan gigi putihnya, "Suruh aja pesen satu kasur lagi! Dia kan holang kaya. Masa bawa lo ke sini bisa, cuma pesen kasur harga satu juta engga bisa?!" Jihan kembali merengek sementara Rita hanya terdiam. Sudah haus, harus menahan amarah pula. Untung sayang.

Tiba-tiba pintu terbuka—menampilkan Amerio dengan kantung mata pandanya. Ia sangat kelelahan dan dipikirannya hanya ada kasur. Baru saja hendak menggapai kasur, cowok itu mesti menghadap Jihan dan sudah tahu apa yang diinginkan gadis itu  Jujur saja, Rita sangat ingin mencekik adiknya saat ini juga jika bukan dalam masa konser. Ini memalukan, seumur hidupnya ia tidak pernah mengganggu hak kepemilikan orang.

"Kak Amerio ...." Jihan memanggil dengan panggilan pertama. Ia pikir akan sulit merayu kakak kelasnya itu. Amerio langsung menggapai gagang telepon yang berada di sampingnya lalu memesan sebuah kamar.

Dengan muka tertutup bantal, lelaki itu berkata ; "Kamar Lo berdua ada di sebelah kamar gue. Gue minta satu hal aja, panggilin Piko yang udah pules di deket kolam renang, gue bakal sekamar sama dia dan elu berdua cabut deh!" Bertepatan setelah mengatakan hal itu Amerio langsung mengorok.

Rita menoleh pada Jihan yang kini memasang wajah imut. Entah anak itu pelajari dari siapa yang jelas Rita makin kesal ketika melihatnya. "Mending lo berhenti main-main sama gue dan cepetan panggil Piko. Gue tunggu di sebelah!"

°•°•°•°•°

Pukul 1:45.

"Kak, Lo yakin mau cari mangsa? Tapi di mana?" Jihan berkata demikian karena Amerika adalah negara asing. Tentu saja merenggut nyawa orang lain bukan menjadi masalah besar. masalahnya adalah mereka tidak mengenali negara asing ini. Di Cline, Rita dan Jihan sudah memiliki tempat khas yang menjadi identitas. Yah, walau mereka vampir dan selalu punya seribu akal untuk menutupi kejanggalan ataupun bekas.

"Mana gue bawa celebriti lagi!" Jihan risau sendiri pada orang yang terlampau santai di sampingnya.

Rita tersenyum manis lalu mendekati kuping kecil Jihan. "Lo masih bodoh ya? Kita ketahuan? Kenyang lah perut kita satu malam!"

"Kak, Lo artis!" Tegur Jihan kekeuh. Rita tak menjawab melainkan melesat ke atas genteng.

Dari atas, dari jarak 10 km, matanya dapat melihat sebuah atap berwarna hitam dengan dua taring bertengger di atasnya. Itu kerajaan Griquett. Satu-satunya kerajaan yang bernuansa seperti rumah megah dan terletak di dunia manusia. Sesungguhnya itu hanyalah cabang atau sebagian kecil dari kerjaan aslinya. Blake, pangeran atau raja muda memegang di bagian kastil kuno di dunia werewolf sedangkan rumah megah diambil alih oleh Ratu Adele. Entah masih belum jelas tujuannya, namun yang Rita tahu dari Christopher bahwa kerajaan itu selalu membuat masalah. Di mana ratu Adele selalu mengganggu banyak lelaki yang menurutnya cukup tampan untuk diajak ONS. Kabarnya, wanita itu jadi jalang gara-gara ditinggal oleh Alphanya yang entah ke mana. Ia jadi Mate yang kesepian.

Jihan menyusul ke atas lalu mengikuti arah pandang kakaknya. "Lebih baik menghindari perkara atau ratu rese itu bakal bertindak." Jihan berkata seolah tahu isi pikiran Rita.

"Jadi ..., Lo pasti tahu kalau di dekat sana banyak banget ada manusia yang mau mendekat demi bisa takhlukin wanita jalang itu. Di sana juga bebas dari polisi dan yang terpenting itu sepi. Mau coba? Gak nutup kemungkinan juga ada cewek."

"Yakin? Biarpun pelakatnya ratu, tapi menurut gue dia gak jauh daripada sekedar wanita rendahan." Jihan beradu tatap dengan Rita. Netranya menjadi terang yang seolah tenggelam di antara gelapnya malam.

"Intinya jangan sampai kita nginjek perbatasan. Bisa beda. Untuk malam ini kita cuma punya tempat di sana doang. Lo udah bawa kantung donor kosong kan?"

"Ada empat. Tapi jarumnya cuma satu. Kita harus kerja sama!" Jihan berujar lalu perlahan berdiri agar tak membuat kegaduhan diikuti Rita.

"Lo ke arah Utara dan gue ke selatan. Inget! Jangan sentuh, jangan berbelas kasih ataupun nyapa orang yang Lo temuin selain manusia. Ga peduli apapun. Telepati gue kalau lo dapet mangsa! Mangsanya juga Lo perhatiin, bentar yang udah bangka lagi yang Lo bawain!"

Jihan cengengesan mengingat kakaknya sibuk muntah-muntah karena meminum darah yang ia bawakan dan berasal dari kakek-kakek berumur 90 tahun. Menurutnya rasanya seperti kecut-kecut aneh. Tetapi waktu itu Jihan memang bermaksud bercanda. Rita menarik pipi adiknya. Ia merasa kesal dengan cara ketawa Jihan.

"Bye!" Rita melesat ke kanan meninggalkan Jihan seorang diri.

Anjir ditinggalin!

°•°•°•°•°

"Woi-woi! Gimana sama taruhannya?" Tanya Farel sembari terus mengikuti langkah gadis berambut panjang yang menariknya.

"Mending lo ganti baju dulu." Ecrin mendorong Farel memasuki kamar pass lalu menutupnya. Buru-buru ia menarik ponsel dari saku Jeansnya untuk mendial sebuah nama—satu-satunya yang bisa diharapkan.

Sepuluh detik, dua puluh detik.... Tersambung!

"Hallo, sayang? Ada apa? Carolina bilang kamu sampai ke rumah om. Maaf, waktu itu om lagi ada urusan sama Bos Melvin."

"O-om! Maafin saya karena bolos kerja. Ini saya barusan dihubungi sama Rita kalau malam ini saya harus berangkat ke As untuk nonton konsernya. Saya janji bakal buatin dokumennya aja, saya janji—"

"Pergilah dan bersenang-senanglah. Jangan pikirkan tugas. Saya akan rancang apa yang harus kamu kerjakan nanti."

Ecrin terlampau senang. Terbukti dari senyuman indah yang terpatri di wajahnya. Mungkin saja ia bisa menangis jika bukan di area restoran. Betapa baiknya Christopher hingga mau mengambil alih pekerjaan berat itu sendirian.

"Baiklah, terima kasih, paman. Aku tutup dulu." Ecrin buru-buru memasukkan ponselnya kembali dan kebetulan Farel juga sudah menjelma menjadi manusia normal, bukan bunny sweety.

"Gimana? Lo jadinya izin kali ini? Terus gue gimana dong?" Farel menatap Ecrin—berharap gadis itu mengucapkan sesuatu yang ia inginkan.

"Karena Rita baik banget, jadi perjanjian batal—"

"Gak! Oke, gue minta papa buat kirim tiket ke As saat ini juga lengkap sama hotelnya. Sebagai ganti yang tadi Lo harus temenin dan sekamar sama gue nanti!"

Seketika Ecrin melotot, "Apa?! Tapi kita gak punya hubungan apa-apa!" Bantah gadis itu namun sepertinya tak akan berpengaruh lagi jika Farel dalam tahapan kesal lantaran janjinya dibatalkan.

"Ayo! Gue yang nyetir. Kalau lo nolak, gue masukin bagasi Lo!" Melihat keseriusan Farel nyali Ecrin sedikit ciut. Tapi... Apa-apaan ini?! Itu kan mobilnya? Lalu kenapa ia harus ciut cuma gara-gara cecunguk satu ini?

"Ih! Gak! Itu kan mobil gue!" Bantah Ecrin tidak terima. Boro-boro hendak protes lagi ia malah menyunggingkan senyumnya, "Kunci ada di gue! So, Lo yang gue tinggal! Babay!"

Tring!

Farel mengeluarkan sesuatu dari kantung bajunya lalu menaikkannya ke atas sembari mata dan tangan kanannya sibuk adu pesan dengan Melvin. Ecrin mengusap-usap kantung baju dan celananya merasa ada yang janggal. Wah! Itu kunci mobilnya.

"Farel! Sejak kapan Lo pegang kunci gue? Siapa yang ajarin Lo jadi pencuri?!" Oke, Ecrin kesal sekarang. Kesabarannya sudah habis.

"Lo maskapai Fantasy-476 kan? Gue satu pesawat sama Lo tapi mungkin bakal beda seat ...," Farel mengakhiri omongannya dengan nada malas.

Anjirlah kunyuk ini. Gue pikir bisa menghindar dari dia sebentar aja. ~Ecrin bersungut-sungut.

The Most Wanted Vampire In HighschoolWhere stories live. Discover now