°•1

5.1K 130 29
                                    

"Ecrin!"

"Selamat pagi, Lisa."

"Wah, pemandangan luar biasa! Kau sangat cantik, Ecrin!"

"Terima kasih, Vivian!"

Pagi yang cerah seperti biasa dengan sapaan-sapaan ringan membuat hari-harinya luar biasa indah. Ia sangat sibuk dengan jam terbangnya dan kini harus menemui bos besarnya untuk melaporkan suatu insiden yang terjadi di mal beberapa menit yang lalu. Biasanya bosnya akan memberi berita mentahan Ecrin agar diliput dan masuk di beberapa acara TV.

"Halo Nona Ecrin, silahkan masuk." Seorang bodyguard di sisi kanan bernama Leng Ar itu membukakan pintu untuk Ecrin. Ia memiliki kepala yang hanya terdapat rambut dipinggiran kepala dan bagian tengah tak ada rambutnya. Ia keturunan Tiongkok yang sudah bekerja selama sepuluh tahun. Kemudian yang di sisi kiri ada Ome Ron, orang keturunan Thailand  berwajah tegas dan sedikit menakutkan. Tetapi percayalah, dia itu orang baik dan ramah.

"Kau cantik sekali, Ecrin. Bagaimana kabarmu?" Ome Ron bertanya dengan nada datarnya. Mengenai pira ini, ia terkadang prihatin. Ia pria yang baik dan terkadang  mencoba untuk menghiburnya dengan candaan-candaan kecil namun karena pengucapannya dengan nada datar membuat gadis itu malah kebingungan.

"Terima kasih pujiannya. Kabarku sangat baik. Semoga harimu menyenangkan pak Thai!" Ecrin mengedipkan sebelah matanya membuat pak Ome Ron tersenyum kecil.

Ecrin berjalan hingga sesampainya di meja kerja ia malah menemukan seorang pria dengan kaki berada diatas meja tak luput dari wajah tampan namun sembrono. Ecrin menatap pria itu dengan sebal.

"Kenapa lo? Ke mana ayah lo?" Ucap Ecrin melempar tatapan sinis.

"Lo ga bisa santai ya rupanya. Gue mau lo  ambilin berkas ayah yang ada di lantai lima. Kalau tidak salah di ruang nenek Sionta ya?" Tanyanya dengan raut yang ingin ia tampol saat ini juga dengan kotoran sapi.

"Nona Shinta. Gemes gue, Lo demen banget ubah-ubah nama orang, ya. Berkas yang mana?" Jawab Ecrin sekaligus bertanya dengan raut malas. Ia tahu itu adalah perintah Tuan Melvin, atau ayah Refa Raziel Melvin. Tetapi yang ada sekarang malah tikus got. Pasti akan ada imbuhan di belakangnya.

"Minta saja berkasnya, ayah ga ngasih tau gue detail. Oke, cepetan ambil ya princess  gue yang cantik. Jangan lupa kasih tau Neng Imah buat bawain gue tumis kangkung dan cumi asam manis buatan dia. Nanti gue kasih bonus lo sesuatu." Farel mengedipkan sebelah matanya kemudian melanjutkan game yang sempat ia acuhkan.

Kalimat terakhir Farel justru membuat netra Ecrin seolah menggelap. "Gue gak butuh bonus lo, Farel." Setelahnya gadis itu benar-benar melangkah pergi. Farel melihat punggung gadis itu dan tersenyum manis.

°•°•°•°•

"Jihan!! Mana daleman gue?! Ini udah kali keseratus Lo suka banget dah nyembunyiin daleman gue!" Rita berteriak memekakkan telinga seisi rumah. Ia sangat sebal barang miliknya disembunyikan terlebih sebentar lagi ia akan terlambat ke sekolah.

"Gue mana tau, ogeb! Lo sendiri tadi yang ambil dari jemuran kenapa malah nuduh gue?" Jihan malah sewot. Gadis itu? Ia sudah siap dan hanya perlu menambah sedikit sentuhan agar memudarkan pucatnya kulit seorang vampir.

"Gue mau pake handbody dulu. Hmm... Coba Lo cek
di lemari gudang. Kali aja ada tuh..." Jihan berucap datar tanpa memandang Rita.

"Ck!"

°•°•°•°•°

"Nih berkasnya!"

Bugh!

"Pesanan Lo bakal dianterin sama Bi Imah. Gue pergi dulu." Ecrin berbalik badan kemudian buru-buru menuju pintu. Tetapi sayangnya, kecepatan  teknologi tak akan pernah menyaingi langkah kaki manusia.

"Woi botak dan minyak ikan! Kunci pintunya!" Ucap Farel pada HT di tangannya  keras-keras—sengaja agar Ecrin mendengarnya. Setelah mendengar kalimat itu, Ecrin buru-buru menuju pintu lalu menggedor-gedor berteriak minta dibukakan.

"Pak Ome, Pak Leng. Ecrin mohon bukain pintunya." Ecrin merengek sambil menggedor-gedor pintu.

Kenapa bos gue bisa punya anak kayak gini sih? Bapaknya berwibawa lha anaknya? Seenaknya. Mampuslah gue.. ~ batin Ecrin yang kini pilih pasrah apapun itu. Rasanya serba salah, jika ia menendang anak bosnya karena itu bukan tindakan etis. Dirinya bingung sekarang.

"Lo cantik lho," Ucap Farel secara perlahan berjalan mendekati Ecrin.

"Farel, gue bukan mainan lo. So, jauh-jauh dari gue!" Jawab Ecrin penuh penekanan. Bukannya menjauh, pria itu justru semakin mendekat. Ecrin berpegangan pada gagang pintu sembari memohon keajaiban.

"Seperti biasanya, lo sexy di mata gue," Farel berbisik tepat di telinga Ecrin membuat bulu kuduk gadis itu naik serentak. Lengan kokoh pria itu juga mulai mengapit pinggangnya. Ia gugup mendapati bibir Farel sejajar dengan bibirnya. Pria itu menatap Ecrin secara intens.

"Menurutlah, sayangku." Farel mengusap bibir Ecrin kemudian mencuri ciuman bibir Asisten kesayangan ayahnya itu lagi, lagi dan lagi. Lelaki tampan itu melumat bibir Ecrin perlahan kemudian semakin lama semakin dalam.

"Farel, jang—mmhh!" Sepertinya Farel tak ingin ada protes. Ia terus melumat bibir Ecrin tanpa ampun. Gadis itu sekarang pasrah karena terbawa suasana. Jika dibilang sering, ia bisa dua kali dalam seminggu atau jika sangat sial bisa empat kali dalam seminggu berciuman dengan Farel.

"Stop!" Ecrin mendorong dada bidang Farel. Selain kehabisan napas, ia juga tidak suka perilaku ini.

"Aku mencintaimu. Kenapa kau selalu menolakku, Ecrin? Tidak perlu pacaran, aku bisa menikahimu sekarang." Farel berucap dengan nada rendahnya dengan tangan masih merangkul pinggang Ecrin.

"Jangan buat aku melakukan kekerasan lebih-lebih. Aku tidak suka orang-orang satu perusahaan gosip tentang kita, Farel!" Tegas Ecrin tak peduli. Raut Farel ganas menatap penuh nafsu bibir gadis dihadapannya yang bengkak karena ciuman.

"Lo ga boleh lari dari gue!" Kali ini lengan Farel merambat memasuki baju Ecrin dan mengelus punggung Ecrin perlahan.

°•°•°•°•°

"Rita! Pagi! Lo udah buat belom tugas matematika dari Bu Yura?" Ecrin berusaha menyejajari langkah Rita. Hanya dengan melihat sahabatnya itu ia bisa melupakan Farel dalam sekejap.

"Udah. Gue denger seriusan bakal ada ulangan nanti?" Tanya Rita tanpa mempedulikan maskot pria yang memandangi dirinya sejak tadi. Padahal cuma polesan bedak dan lip cream tetapi lima puluh mata sudah menyoroti dirinya. Kesal, ia mempercepat langkahnya.

"Tungguin ish!" Ecrin mengejar Rita secepat mungkin. Entahlah, langkah kaki sahabatnya itu jauh lebih cepat dari dirinya. Terkadang ia mengeluh— benci menjadi lambat.

"Cepet ah, lo terlalu lambat. Oh iya, gue denger pemilik perusahaan CEO yang baru-baru ini menyelidiki sebuah kasus malah menjalani sebuah treatment gara-gara diserang vampir. Itu bener? Lo udah selidiki kasusnya?"

"Lo tau? Ini berita sangat rahasia dan hanya gue dan papa lo yang tau. Huh, dasar paman Christopher." Ecrin mendesah panjang membayangkan bagaimana wajah kebapakan itu melucu. Ya, Ecrin lumayan akrab dengan Christopher bahkan sering bermain ke rumah Rita—anaknya.

Rita terkekeh, "Lo khawatir gue bocorin?" Ucapnya membuat bola mata Ecrin mendelik.

"Bocorin sih mungkin kagak, tapi noh Lo baru aja omongin itu di depan umum. Kalau ada yang denger gimana? Duh!" Jawab Ecrin sekenanya.

"Gue patahin lehernya sampai ada yang berani bocorin. Inget, gue pendeteksi musuh yang hebat!" Rita tersenyum membuat Ecrin sebal sekaligus para lelaki yang mengarahkan ponsel ke arah Rita. Penggemar Ecrin? Banyak, cuma mereka belum ke luar aja.

"Iya, Rita, iya." Ucap Ecrin tetap berusaha menyejajari langkah Rita.

"Anterin gue sebentar ke ruang kepsek yuk. Ada laporan penting dari papa gue yang harus gue sampaikan."

"Laporan apa?"

"Nanti Lo juga tau ...."

The Most Wanted Vampire In HighschoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang