"Entahlah, tetapi aku percaya begitu saja. Jadi, hari ini tujuanku ke laut bukan cuma buat pamer ekor, tapi mau minta bantuan supaya kakak bisa membujuk Aleena temanku agar tidak mengikuti kemauan seekor ikan kecil licik bernama Anemone. Bisakah?" Mendengar pernyataan sekaligus pertanyaan itu membuat Rita sedikit ragu-ragu. Meyakinkan jiwa makhluk itu sangat susah, bahkan jika kalian memberi makan binatang yang terlantar, mesti maksudnya lantaran hal kasih sayang tentu saja hewan itu tidak akan percaya begitu saja. Apapun itu, makanya harga kepercayaan sangatlah mahal.

Bukannya merespon, Rita malah menatap rembulan yang sedikit lagi menjadi sempurna. Ia ingat apa yang Cornelius katakan waktu itu bahwa ia harus mencari seekor paus ekor biru emerald di perbatasan laut hitam dan putih.

"Kak Rita!" Gadis itu berusaha menyadarkan Rita dari lamunannya.

"Ah, iya! Aku pernah mendengar itu dari ayahku, dia bilang paus itu ada di antara perbatasan laut hitam dan putih. Itu benar kan? Dan.. ke sana sangat jauh Meri!" Ucap Rita yang dibalas gelengan kepala oleh duyung itu.

"Dia tidak tinggal di sana lagi semenjak bertemu dengan Anemone. Ikan aneh itu selalu mengajak Aleena berkelana ke banyak tempat alias berpindah-pindah. Aku tahu tempat dia sekarang dan aku yakin sekali Anemone sudah akan memindahkannya. Kita harus cepat dan mengenai ucapanku yang kemarin, Rita bakal tahu apa yang aku maksud takdir itu..."

"Oke ... Jadi, apa yang harus aku lakukan?"

"Ambil batu dan kakak bisa gendong supaya engga mengapung seperti sekarang."

Benar juga!

Rita mengangguk lalu membalik badannya dan mendayung tangannya agar lekas tiba di daratan. "Kita harus cepat! Kita harus balik sebelum fajar tiba! Ini sudah pukul duabelas malam, kita hanya punya waktu kurang dari empat jam."

°•°•°•°•°•°

Ini bukan malam yang cukup menyenangkan juga malam yang cukup menyedihkan. Ketiganya berlalu seperti embusan pawana dan mulai memasuki mulut hutan pohon jati. Jihan mengawasi Riska sedangkan Ascher berada paling depan memimpin perjalanan. Masih sepuluh kilometer lagi untuk memastikan atap istana terlihat.

"Jadi, gue mau tanya-tanya..." Riska membuka pembicaraan.

"Apa?"

"Gimana bisa lo sampai berteman sama pemburu vampir? Bukannya itu mustahil karena kita seharusnya menghindari mereka?"

"Pertanyaan yang bagus," Jihan memberi jeda pada omongannya, "Ada alasan khusus, ada juga alasan enggak masuk akalnya. Lo mau tahu duluan yang mana?"

"Langsung aja,"

"Alasan khususnya ada tiga, yang pertama buat cari pekerjaan karena papa dan mama kerja di bagian penelitian dan percobaan, kedua sebagai pengetahuan juga antisipasi, ketiga buat cari cogan! Kan lo tahu Farel ganteng banget. Dia anak pemilik perusahaan lho!"

Riska mendelik terkejut, "Jadi, kita ngasih tahu sama orang yang lebih berbahaya? Jih, ini gak main-main!" Riska menjadi panik hingga tak sadar sebuah dahan besar yang hampir menabraknya jika saja Jihan tidak cepat-cepat menundukkan kepalanya.

"Lo terlalu gawat! Gue udah temenan sama dia hampir lima tahun alias sejak sekolah SMP. Gue jadi keinget satu hal nih ..." Jihan senyam-senyum sendiri.

"Apaan?" Riska penasaran dan lagi-lagi tidak menyadari sebuah pohon besar di hadapannya jika saja Jihan tidak menarik tangannya.

"Yang bener jalannya kakak sayang! Bentar lu mampus gue kena sasar!" Jihan memberikan seringai devil-nya.

"Maaf, ini gara-gara denger cerita lo, gue jadi parno!"

"Bisa gak sih lupain kejadian tigapuluh tahun yang lalu? Lo boleh mengenang masa lalu, tapi lebih baik jadikan pelajaran daripada harus jadi trauma. Kita tuh lihat masa depan, noh-noh! Ma.sa.de.pan." Jihan menekankan tiap suku kata terakhirnya.

"Lanjutin! Malah jadi guru penceramah," gerutu Riska diikuti gelengan kepala Jihan.

"Alasan gak masuk akalnya, gue suka aja berteman sama manusia. Mungkin gara-gara dari kecil udah di dunia manusia kali ya. Jadinya ya nyaman-nyaman aja. Lagian selama gue hidup, manusia belum pernah nyakiti gue, jadi bersahabat aja. Buat apa cari musuh? Dan sekarang gue dapet faedahnya, gue bisa manfaatin informasi yang ada sekaligus bantu mereka sebagai sahabat yang baik."

Jihan membuat Riska bengong memikirkan setiap ucapannya. Tak terasa, jalanan yang semula berupa rerumputan dan pepohonan kini menjadi tanah yang mulus seperti karpet. Mereka hanya perlu mengikuti ke mana arah jalan itu hingga sampai di ambang gerbang istana.

"Sebelum sampai, ada lagi yang mau lo tanya?" Jihan memastikan ketika melihat gerbang istana yang semakin dekat saja.

"Kayaknya belum ada ... Menyusul aja deh!" Riska tersenyum ketika Jihan menatapnya.

"Yeay! Pulang!" Jihan berteriak dengan leluasa tanpa merasa terhambat seperti di dunia manusia.

Sepuluh orang pengawal. Lima masing-masing berdiri di ambang pintu kiri dan kanan—menunduk akan kedatangan tiga tuan mereka dan membukakan gerbang. Jihan, Ascher dan Riska segera masuk hingga gerbang kembali ditutup.

"Guk!guk!guk!" Seekor anjing berlari ke arah mereka dan pertama kali melompat ke Ascher.

"Aku kembali!" Ascher mengelus anak anjing itu lalu beranjak pergi menuju kamar mandi. Ia ingin segera membasuh badannya setelah dua hari tidak mandi.

"Salang! Aku kembali, sayang!" Riska jongkok dan anak anjing itu langsung menjilati wajahnya tanpa mau berhenti. Riska menggendongnya lalu mengarahkannya pada Jihan. Seketika anak anjing itu menggonggong lucu.

"Namamu Salang?" Jihan mengulurkan kedua tangannya untuk menggendong anjing kecil nan imut itu. "Wow, kamu berat sama seperti pemilikmu!"

Riska memukul lengan Jihan, "Kok jadi ngejek?" Tanyanya sebal.

"Maklum, lo emang gendut." Jihan berlari kecil sembari membawa Salanghae di gendongannya. Anak anjing itu terus menjilati dan kini beralih ke leher Jihan. Ia tersenyum lebar menahan geli lantas berhenti kemudian menarik serta mencium kepalanya.

"Sayang kamu!!" Ucapnya menikmati kehangatan hewan mungil itu dan menurunkannya ke bawah.

"Riska, Jihan!"

Keduanya menoleh mendengar namanya dipanggil dari belakang. Itu Crystal dan Cornelius kini sedang melihat keduanya sembari tersenyum. Jihan langsung berlari kemudian memeluk pamannya erat-erat begitupun dengan Raja tunggal itu.

"Bagaimana kabarmu, nak?"

"Baik paman.." jawab Jihan sekenanya. Ia menarik tubuhnya lalu menyapa gadis di samping pamannya.

"Crystal!" Serunya girang lalu saling memberi ciuman pada pipi.

"Gimana kabar lo?" Tanya Jihan anstusias seperti biasa.

"Iya gitu, seperti yang lo lihat bahwa gue baik-baik aja," Crystal tersenyum lalu mengusap pipi Jihan. "Jadi gimana masalahnya lo sampai perlu kapsul langka itu?" Pertanyaan Crystal membuat Jihan bingung.

"Maksud lo?"

"Itu lho yang dari paus ekor biru emerald. Katanya kamu yang butuh," Crystal malah ikutan bingung.

Saat hendak menjawab, Cornelius lebih dulu menepuk pundaknya sembari menatap Jihan dengan mata sayunya, "Kenapa dengan lengan Riska dan Ke mana Rita?"

"I-itu...."

°•°•°•°•°•°

TBC!!

The Most Wanted Vampire In HighschoolWhere stories live. Discover now