Empatpuluh Tujuh: Telinga Dan Mata

685 121 18
                                    



Magdeléne duduk dengan rahang mengeras demi melihat perempuan itu masuk. Matanya terpaku pada tangan Aymard yang menggenggam erat tangan perempuan itu. Dengusan tak suka Magdeléne terdengar Dharma, membuat lelaki itu menoleh dan memandangnya. Mata mereka bertemu dan Dharma paham istrinya tak bersenang hati. Dharma menghela nafas, meraih tangan Magdeléne, menggenggamnya. Magdeléne menyunggingkan senyum kaku namun tangannya balas meremas erat tangan sang Suami. Lelaki yang dibanggakannya itu masih menatapnya teduh.

"Bersabarlah, Sayang. Aymard pasti punya alasan kuat."

Magdeléne menutup mata sesaat, "Aku hanya ingin dia bahagia." desisnya.

Dharma tersenyum, "Maka bersabarlah menghadapinya. Kita bisa pelan-pelan membukakan matanya. Saat ini mungkin dia tengah mabuk kepayang."

Magdeléne mengangguk lemah, "Baiklah." katanya.

Seorang pelayan berjalan di muka, sementara dua orang lainnya membuntuti di belakang Aymard dan Aisha. Magdeléne tak menggelar makan malam di rumah. Tentu saja karena Aisha tak ia suka. Kediamannya hanya terbuka untuk orang-orang yang Magdeléne sukai dan ia nilai pantas. Arogansi mendarah daging yang melekat padanya tak mungkin luntur begitu saja. Meskipun Magdeléne masih cukup wajar dibandingkan banyak yang lainnya.

Aymard masih belum tahu bahwa kedua orangtuanya sudah mengetahui siapa perempuan yang akan ia kenalkan. Sempat ia kesal kala ibunda mengabari perubahan rencana, tapi ia memaklumi. Toh bukan kejutan besar jika Magdeléne tidak sembarang menerima seseorang yang belum ia kenal. Magdeléne memang selektif, Aymard tahu. Andai saja Aymard tahu apa yang sebetulnya, sudah tentu ia yang akan menjadi intoleran pada ibunda malam ini.

Ataukah justru ia bersedih hati seperti halnya Dharma malam ini? Lelaki paruh baya itu jelas gelisah dan tengah berada dalam dilema.

"Mama, selamat malam." sapa Aymard yang mendekat dan mencium pelipis ibunda.

Pada Dharma, Aymard mengangguk santun sebelum akhirnya menoleh pada Aisha dan meminta perempuan itu mendekat. Magdeléne diam bergeming, memandang Aisha berjarak. Dharma bangkit kemudian tersenyum pada Aisha yang nyaris menunduk.

"Selamat datang, Aisha. Silakan duduk."

Aisha mengangguk kaku. Dharma mengernyit, barusan ia merasa bukan kekakuan karena rasa tak percaya diri yang ia tangkap dari Aisha. Mau tak mau Dharma mengamati sejenak Aisha, rasa-rasanya perempuan ini lebih mirip sedang menahan diri untuk tidak meledak ketimbang ciut menerima keberjarakan Magdeléne.

"Mama sibuk apa hari ini?"

Magdeléne memandang Aymard, "Kamu yang sibuk apa? Kalau Mama sih, ya... biasa aja."

Aymard tertawa, paham benar ibunya sedang kesal,

"Aku mengurusi kesepakatan pelepasan tanah warga untuk Super Kontruksi, Ma."

Magdeléne memutar mata, "Alaric bilang kamu tidak bersamanya."

Aymard menelengkan kepala, "Tentu aja, Ma. Dia urus sektor C sementara aku sama Jaya urus sektor G."

Magdeléne tidak peduli, "Kamu jarang telepon Mama beberapa bulan ini." katanya dengan tak lupa melirik Aisha sinis.

Tahu tidak diterima oleh Magdeléne, Aisha meringis sejenak dan menggaruk telinganya. Dharma masih diam menilai. Aisha yang datang dengan gaun indah yang tak terbuka memang cantik. Bersanding di sisi Aymard pun ia layak dan tampak elegan terhormat. Dharma menghela nafas, tidak menjadi masalah seandainya usia Aisha tidak berpaut terlalu jauh dengan usia putranya. Andaikata Aisha belumlah pernah sempat berkeluarga dan beranak pinak. Demi Tuhan, Dharma hanya ingin menjauhkan kerumitan dari Aymard.

Into You [F I N]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora