Limapuluh Tiga: Bukan Diri Sendiri

726 109 18
                                    



Seharusnya Alaric dan Andjani ikut menyambut Sbastyn di resort dekat laut Selatan, menjadi Tuan Rumah. Tetapi Andjani mendadak jatuh demam akibat menangis semalaman. Alaric yang tidak pernah merasa bersalah atas segala hal seumur hidup, untuk pertama kalinya merasa menyesal dan perlu bertanggungjawab agar Andjani pulih seperti sediakala. Mengembalikan Andjani pada mode penuh percaya diri, menyebalkan dan penuh kendali.

Sebetulnya, Andjani tidak kehilangan sentuhan khasnya tersebut saat ini. Gadis itu tetaplah demikian. Hanya saja, Alaric tidak suka melihatnya menangis. Terutama jika disebabkan dirinya, meski secara tidak langsung. Alaric menyadari hal tersebut. Dan, demi segenap umat manusia abai di muka bumi, fakta ini adalah luar biasa.

Baiklah, terlalu berlebihan. Alaric tetaplah Alaric dimana ia berpikir dunia bekerja untuknya. Ia kesal dan gelisah sekaligus menyesal, sejujurnya, hanyalah karena ia tidak pernah suka melihat gadisnya menangis. Sekali lagi, baiklah. Andjani bukanlah gadisnya, tetapi tunangannya –namun, anggap saja demikian karena meski tak mengurusi cinta, tak bisa dipungkiri mereka serasi. Penyesalan Alaric, lebih bermuatan ketidaksukaan disertai rasa bersaing yang tak beralasan, karena mutlak menyadari kalau Andjani menangis semalaman demi mendiang mantan pacar yang –bahkan, abunya sudah disebar ke laut. Alaric memang sungguh masuk diakal, bukan? Alaric dengan segala sikap posesif dan protektifnya yang tak pernah pada tempat dan waktu yang tepat.

"Udah deh, Ni. Ayo kita berangkat. Kata Dono, Danti bilang mereka mampir dulu ke resort yang di Malangbong. Jadi kita punya waktu tambahan buat siap duduk manis menyambut si Sbastyn."

Sebuah bantal melayang dan mengenai bahu Alaric. Pemuda itu menggerutu dalam hati.

"Lo enak aja ngomong! Liat ini mata gue!" gerung Andjani menunjuk wajahnya.

Alaric menghela nafas sambil memandang wajah gadis itu yang meski sembab matanya tetaplah rupawan. Tanpa sadar, ia bersyukur untuk kecantikan Andjani yang tidak artifisial.

"Udah deh enggak usah dramatis, Ni. Sekarang, kita dapet tugas dari Tetua keluarga lo, pake huruf tebel-tebel dan garis merah di bawahnya, sebagai tugas resmi pertama kita buat bertemu Kepala Keluarga lo!"

Andjani menahan isaknya, "Lo kenapa ga bilang ada tugas itu?"

Alaric mengusap wajahnya dengan kedua tangan, "Ya gue mana tau??? Itu'kan agendanya elo yang pegang. Karena bunyi-bunyi mulu dari sore kemarin, makanya gue buka!"

Andjani berteriak sebal, "Ini gara-gara lo, tau! Jadi kacau semua. Coba kemaren lo ga maksa gue inget Sjön! Ogah gue! LO AJA YANG SAMBUT SBASTYN!"

"Ya mana bisa dong! Lagian ini kan keluarga lo. Masa gue menyambut si Sbastyn sendirian? Hai Sbastyn, aku tunangan sepupu jauh Anda, perkenalkan. Kita pernah bertemu tahun lalu sewaktu aku bermaksud mengejar sepupu-entah-darimana, yang satunya itu, yang namanya Aisha. Gitu?"

Sebuah bantal kembali melayang dan kali ini tepat mengenai wajahnya.

"NADJANI!" seru Alaric.

Andjani berhenti bergerak seketika padahal tangannya tengah siap melempar bantal lain ke arah Alaric.

"Gue enggak seneng muka gue– "

Bantal itu melayang, lagi-lagi mengenai wajah Alaric.

"LO NYEBELIN! SIAPA LO? Berani-beraninya LO TERIAK KE GUE!" seru Andjani meneriaki Alaric.

Alaric menarik nafas frustasi, tak habis pikir atas emosi meledak-ledak Andjani. Sungguh, ia merasa Andjani sangat kekanakan dua hari ini.

"LO sembarangan, Burik! Lo ngapain bikin gue inget Sjön?"

Into You [F I N]Onde histórias criam vida. Descubra agora