Limapuluh Enam: Nurani Yang Menjadi Nirmakna

738 119 27
                                    



status: filler


Seharusnya Andjani yang uring-uringan, bukan Alaric. Gadis itu yang tengah tidak baik keadaan fisik dan mentalnya, bukan Alaric. Menggelikan. Sangat tidak pantas seorang yang dewasa menggerutu hanya demi harga diri yang terluka, di hadapan seorang yang tengah gegar teringat masa lalu. Seorang yang kehilangan cinta, menyaksikannya tiada. Yang diperburuk prasangka bahwa kekasihnya memang sengaja mencari mati. Andjani selalu menyangkal pikiran tersebut namun sejak kemarin ia kembali pada situasi itu. Mungkin karena telah mengendap bertahun-tahun, ia menjadi lebih bisa tegar menghadapinya. Ia terkejut pada dirinya sendiri, tidak gila karena menyaksikan.

Sjön yang tidak mengikat erat papan seluncurnya. Sjön yang tak mengancingkan helmetnya. Sjön yang melompat tergesa sementara yang lain barulah ambil tempat untuk berancang-ancang.

Pedih kehilangan bercampur sakit hati, menciptakan nihil. Masa itu adalah titik terendah dalam hidup Andjani. Kalau tak menyangkal, maka Andjani harus menerima betapa nilai dirinya memang nihil bagi Sjön. Apa arti kebersamaan mereka yang serius? Jelas Sjön tahu kalau Andjani akan menyaksikan tiap langkah yang ia ambil. Lalu, jika benar ia bunuh diri, tanpa peduli luka yang akan menetap pada Andjani, maka Sjön tak sepadan untuk menerima cinta Andjani yang tanpa syarat.

Saling mengenal sejak kecil, bertemu kembali saat acara pertandingan Polo musim dingin pertama mereka, ketertarikan kuat di antara keduanya. Keluarga yang tak mempermasalahkan, kurang apa lagi? Cerita mereka berdua dipastikan akan manis. Andjani yakin akan demikian. Dan itu berkali lipat lebih ia inginkan daripada menghadapi kenyataan dirinya bersanding dengan Alaric. Sial, Andjani merasa absurd dalam waktu bersamaan. Bagaimana mungkin ia menempatkan situasi kehilangan Sjön yang dikategorikan epik, dengan kutukan tetua padanya ini? Meski menyakitkan dan nihil, Andjani tak rela menyandingkan hal apapun mengenai Sjön dengan segala hal berkaitan Alaric. Tidak sepadan.

Sungguh jelas kegamangan Andjani disebabkan hal yang mengakar kuat, jadi ini menggelikan kala memahami Alaric tak jua berubah walau jagad raya tengah bekerjasama untuk memberinya pelajaran. Keberadaan Andjani, keberjarakan Aymard, pelecehan Sbastyn dan hadirnya Aisha. Normalnya, seorang dalam usia Alaric mudah mengerti kalau akan tiba waktunya seseorang berinstrospeksi diri demi kebaikannya sendiri. Demi menjadi dewasa tanpa perlu ditegur keras oleh kenyataan. Sekarang Andjani gemas memandang Alaric yang masih terus mempermasalahkan perlakuan Sbastyn.

"Jadi sekarang mau lo apa, Burik?"

Alaric diam, memandang Andjani. Kumpulan kata-kata menguap dari ingatannya kala ia mendapati mata Andjani menyorot nyalang.

"Lo bener-bener ga memahami situasinya?"

Alaric berdiri canggung, mengepal tangannya yang berkeringat sambil menunduk.

"Lo boleh enggak suka sama Sbastyn. Lo berhak terhina sama perlakuannya. Tapi, balik lagi, lo harus tahu posisi lo ada di mana berhadapan Sbastyn!"

Alaric gusar, mengusapkan tangannya yang berkeringat pada sisi celana. Andjani bicara dengan wajah yang memerah.

"Dan gue, di sini, meski tunangan lo, keberatan dengan ocehan lo. Sbastyn menghina lo? Dari cerita lo sendiri gue enggak nemu titik di mana dia ngehina lo!"

Alaric berdecak, "Dia ngeremehin nama Dirdja, Ni!"

Andjani memandang lurus Alaric, menggigit lidahnya demi membiarkan Alaric purna menjelaskan.

"Dia suruh Mardi ganti nama pakai nama Proust! Bahkan dia bilang lebih bagus lagi kalau Mardi pakai nama di Orsini! Nama keluarga Mamie sebelum menikah!"

Into You [F I N]Where stories live. Discover now