Tigapuluh Dua: Purnama Yang Tersiakan

1.1K 161 24
                                    


Cukup gerah hari ini. Alaric tak menyangka terlibat rapat separuh hari, mengunjungi situs proyek sampai minum teh dengan Rahadi bisa semelelahkan ini. Meskipun ia sedikit terhibur menutup sore dengan pelayanan si Gadis Porselen, tetap saja ia merasa lelah.

Dan juga kosong.

Pertanyaan-pertanyaan remeh bersliweran tanpa permisi di kepalanya. Ia juga gelisah karena Shafina tidak mau menerima panggilan darinya. Semua texting yang Alaric kirim lewat berbagai aplikasi pun berbalas nihil. Ia peduli Shafina tapi yakin bukan cinta. Alaric hanya merasa perlu memastikan kalau Shafina baik-baik saja. Alasan kemanusiaan menjadi tajuk yang ia paksakan terhadap nuraninya.

Tapi, seakan kurang buruk harinya, Magdeléne mengirim pesan bahwa ia telah mempersiapkan makan malam kekeluargaan di rumah. Resmi. Denyut di kepala Alaric langsung terasa menusuk. Makan malam kekeluargaan versi Magdeléne selalu berbeda dengan kebanyakan orang. Di saat keluarga lain akan bersantai dengan nyaman, penuh senda gurau di meja makan, keluarganya akan menghadirkan Katarina. Mungkin hadir juga sepupu-sepupu yang Alaric kurang suka. Mereka senang menggodanya sampai merah padam dan marah.

Dulu, waktu kecil, Alaric pikir mereka iri mendapati kasih sayang Katarina tercurah penuh kepadanya. Tapi sekarang Alaric sering menganggap mereka mulai suka melecehkannya. Ia tak paham mengapa bisa sepupu-sepupunya itu tidak pernah menganggap pencapaiannya luar biasa. Sementara pada Aymard, mereka menaruh hormat. Sangat hormat.

"Aku harus permisi Om Rahadi. Ada makan malam keluarga."

Rahadi memandangnya dengan seulas senyum tipis, "Baik. Omong-omong, Mamamu masih suka mendikte?"

Alaric menarik malas sudut bibirnya membentuk senyum tidak tulus, "Begitulah."

"Tidak berubah. Tapi aku yakin, Magda hanya pemaksa terhadapmu."

Alaric yang sedang menelusuri notifikasi di gawainya, berhenti bergerak. Perlahan ia menoleh pada Rahadi. Ia lihat paman yang paling jarang ia jumpai itu tersenyum penuh arti. Memberinya perasaan tak enak berujung curiga. Dari mana Rahadi tahu?

"Sebenarnya, aku sedikit marah dengan perlakuan Magda dan Dharma. Mereka pura-pura tidak punya hubungan penting denganku."

Alaric mengangkat sebelah alisnya, tidak paham. Tak lama Rahadi tertawa keras, "Sudahlah, lupakan. Aku cuma sedang sedikit kesal mengingat Magda betul-betul seorang hipokrit dan ayahmu yang luar biasa itu malah membiarkannya."

Alaric berdehem, "Aku tidak tahu kenapa Om Rahadi bisa bicara begitu." ujarnya tersinggung.

Rahadi menatap tajam Alaric. Sejenak tersenyum culas sebelum berkata,

"Ternyata memang benar kabar yang aku dapat. Magda membuatmu hidup dalam kotak kaca supaya tidak teracuni hidup yang keras. Kau sadar tidak, kalau kau itu sangat naif? Menurutku, itu bukan hal yang membanggakan. "

Alaric merah telinganya. Air mukanya pun tak enak sementara satu tangannya mengepal, mencoba menahan emosi. Rahadi tahu itu tapi tak peduli. Ia menerima Teh Hijau murni yang disodorkan seorang perempuan Pelayan bertubuh sangat indah.

"Sebetulnya, aku sengaja berulah. Untuk memancing keluargaku sendiri mengunjungi aku. Kau tahu, Alaric? Tidak ada yang mau berurusan denganku."

Rahadi sejenak menghentikan kata-katanya. Demi melihat Alaric diam menahan emosi, ia menyeringai lebar sebelum melanjutkan.

"Tapi Dharma yang paling tidak sopan."

Alaric merasa tengkuknya dingin saat mendengarnya. Ia dapati pula mata pamannya itu berkilat saat mengatakannya. Membuat Rahadi tampak lebih culas dari biasanya. Alaric merasa sedikit gelisah saat sadar lututnya lemas. Entah kenapa ia merasa ketakutan melihat Rahadi yang seperti itu.

Into You [F I N]Where stories live. Discover now