Enampuluh Satu: Lapang Dada Kemudian Pulang

613 108 2
                                    


Kemarin, Alaric cukup lama tercenung di undakan amfiteater sepeninggalan Aymard. Pikirannya masih tetap jernih, hanya saja tidak hatinya. Langkah gontainya sangat perlahan mengantar ia kembali ke kamar. Entah mengapa, kemarin itu ia merasa sungguh remuk hatinya karena Aymard. Mendapati ekspresi asing Aymard dan kata-katanya yang tak masuk akal itu menyadarkan Alaric. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Namun, Alaric tahu penyesalannya ini diperburuk rasa bersalah yang menggerogoti. Ia berdiri gamang di kamar, tak tahu harus bagaimana. Dirinya kemarin hanya bisa memandang nanar sosok Andjani yang tengah terlelap. Ingin rasanya ia membangunkan gadis itu untuk kemudian menangis sejadi-jadinya. Ia tersadar, pada Andjani ia tidak pernah tampil pura-pura. Tapi kemarin itu tiga subuh, Andjani tengah lelap tenggelam dalam mimpinya. Maka, akhirnya Alaric perlahan sekali naik ke ranjang, mengambil tempat di belakang Andjani. Tanpa ragu ia surukan wajahnya tenggelam di pucuk kepala perempuan itu seraya menautkan jemarinya di depan perut Andjani. Alaric menangis lagi tanpa suara.

Dengan sendirinya Andjani terbangun, mengerjap bingung dan heran dengan keadaannya. Dipeluk dari belakang kala lelap oleh seorang Alaric tidak pernah ia harapkan. Sudah tentu ia akan mengamuk andai saja tak menyadari lelaki itu sesenggukan. Andjani kemarin memutuskan diam. Kemudian perlahan jemarinya menggenggam jari jemari Alaric di depan perutnya yang bertaut macam cengkraman putus asa. Andjani menahan nafas, apa gerangan yang bisa menyebabkan lelaki yang akan menjadi suaminya ini sampai begini? Selepas makan malam mereka beradu mulut tanpa solusi. Andjani bersikukuh Alaric tidak boleh egois sementara Alaric yang otaknya kena desak buih alcohol dari anggur yang tergesa ia minum meracau tak ingin menyiksa diri sendiri. Andjani, meski tahu Alaric kerap konyol, sangsi kalau tunangannya ini bisa menangis begini karena ditolak oleh Aisha.

Andjani biarkan Alaric begitu sampai akhirnya lelaki itu kelelahan menangis, jatuh tertidur. Saat semburat cahaya mulai tampak di langit kemarin, barulah Andjani bergerak lepas dari rengkuhan Alaric. Kala perlahan ia meletakan tangan Alaric, ia tertegun mendapati raut wajah lelaki itu. Seumur hidup Andjani melihatnya sangat percaya diri, kemarin dengan mata terpejam, Alaric kelihatan sangat rapuh. Membuat Andjani menghela napas masygul seraya memikirkan banyak hal berkaitan masa depannya yang berkaitan Alaric. Sebetulnya, kemarin, Andjani terkejut kalau ternyata ia tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan momen manusiawi dari Alaric. Kondisi Alaric dalam situasi apa adanya. Andjani memulai hari dengan gelisah, berulang kali menengok Alaric di kamar. Sampai akhirnya, menjelang makan siang Alaric terbangun. Matanya bengkak. Lucu. Tapi Andjani tak sampai hati tertawa ataupun sekedar menggodanya. Andjani tahu apa yang harus dia lakukan, menghibur Alaric. Jadi, beralasan menunggu waktu makan siang, Andjani memaksa Alaric menemaninya berjalan-jalan di pantai yang benar-benar sepi. Ia seperti seorang kekasih yang kegirangan sendiri bisa berlibur ke tempat baru. Sementara Alaric bak seorang lelaki yang lebih menikmati tawa ceria perempuannya ketimbang pemandangan spektakuler pantai berpasir kuning yang berselingan dengan karang-karang. Mereka mudah sekali berakting sebagai pasangan sempurna. Beberapa posting ke media sosial, potret bersama dengan tanpa malu-malu. Sampai akhirnya Alaric memandang Andjani intens.

Gadis itu balik memandangnya tajam kemarin itu. Dia perempuan dewasa yang tak mudah termakan keadaan, tahu pasti maksud Alaric. Alih-alih melempar senyum menggemaskan, Andjani malah mendekat, duduk di sebelah Alaric lalu bertanya,

"Kenapa?"

Alaric langsung tertawa kecut dan menunduk. Memasukan momen ini dalam memorinya supaya ia ingat kalau Andjani bisa membacanya.

"Kamu ditolak?"

Alaric menghela napas. Tangannya terulur ke belakang guna menopang tubuhnya, "Semacamnya."

Andjani memandangnya lekat. Alaric menahan napas, ia tak pernah tahu kalau Andjani seorang gadis yang mudah peduli.

"Semacamnya bagaimana?"

Into You [F I N]Where stories live. Discover now