Limapuluh Empat: Celah Probabilitas Untuk Dia Yang Tak Jua Pahami Cinta

699 119 14
                                    



Jujur saja, Alaric terkejut mendapati kehadiran Rahman di Baladiradja. Entah sudah berapa lama mereka tak bersua, tapi bocah itu tampak lebih dewasa daripada yang Alaric ingat. Potongan rambut kasualnya sudah sesuai dan tertata, khas campur tangan hairdresser bukan sekedar tukang potong rambut. Bocah itu bahkan mengenakan arloji mahal di pergelangan lengan kirinya. Alaric bersiul saat pertama melihatnya, memuji pilihannya. Sebuah komplimen kecil yang membuat Rahman tersenyum canggung, bagaimanapun jua ia masihlah bocah meski tampak mulai belajar untuk tampil layak sebagai seorang lelaki muda.

"Ini hadiah, dari Pak Daud. Keren ya?"

Alaric mengangguk.

"Aku tadinya enggak tau ini mahal banget. Kupake aja ke sekolah sama jalan-jalan bareng temen. Sekarang udah tau, malah ga berani asal pake." desis bocah itu sambil mengamati arloji tourbillon transparan yang dibuat limited tersebut.

"Om Alaric juga punya kan ya yang model gini? Yang talinya kulit sama bodynya item banget itu?"

Alaric mengangguk, "Iya. Om pakenya kalo lagi mau santai."

Rahman tersenyum, lalu suasana menjadi hening untuk seberapa saat. Hanya terdengar suara deru angin dan debur ombak di kejauhan. Rahman mengangkat kepala menyapukan pandang pada barisan pepohonan di belakang mereka.

"Di sini terpencil ya?"

Alaric mengikuti apa yang Rahman lakukan. Ia mengamati dan setuju dengan apa yang Rahman katakan, "Ya." sahutnya sambil mengangguk.

Mereka berdua sedang duduk-duduk menjelang sore, di panggung arena kecil yang dikelilingi beberapa rumah pohon mewah. Sebuah hutan yang disulap menjadi kawasan akomodasi eksklusif tepi pantai. Hutan tersebut homogen, dengan pepohonan kayu keras yang meliuk terkena angin, menjadikan bentuknya khas dan mudah diselipi beraneka rupa rumah pohon.

"Kalo yang kayak gitu itu, toiletnya gimana ya Om?" tanya Rahman seraya mengernyitkan kening.

Alaric tertawa, "Om aja baru sekarang datang ke sini. Bukannya Mamamu yang membangun ini?"

Rahman meringis, "Iya, emang. Tapi aku enggak mudeng ngeliat gambar rancangannya yang mpe ratusan lembar itu."

"Mama kamu yang rancang?" tanya Alaric terkejut.

"Lha? Om kenapa tanya Mama yang rancang? Aku mikirnya Mama sih cuma ngebossin aja. Yang rancang Arsitek yang sering ke rumah itu. Piye tho?"

Alaric tertawa lepas, "Oh... kirain Om, Mama kamu yang ngerancang. Soalnya kamu ngomong soal kertas-kertas."

Rahman tercenung, menggaruk kepalanya dan sedikit berpikir. Ia merasa absurd, tidak mengerti bagaimana bisa ucapan-ucapannya yang tak lagi ia ingat membuat Alaric berpikir seperti itu. Mamanya seorang Arsitek? Meski tahu ia memilihi seorang ibu yang tangguh dan mampu melakukan banyak hal, Rahman tak pernah sampai berkhayal kalau dalam sekejap Aisha menjelma menjadi seorang Arsitek hebat.

Rahman suka diam-diam mengamati apabila ibunya menggelar pertemuan dengan para Arsitek dan Konsultan. Dia tertarik pada dunia rancang bangun tersebut, menyebabkan ia mencari tahu seluk beluknya. Dan sebagai hasil pencarian dari rasa penasarannya tersebut, Rahman bisa berkesimpulan, bahwa, untuk menjadi seorang Arsitek Profesional terakreditasi dengan sertifikat, sehingga diperkenankan secara legal untuk merancang dan mewujudkan sebuah situs resort macam Baladiradja ini, seseorang haruslah belajar lama. Minimal, duapuluh tahun berkecimpung, dengan gelar spesialisasi dan jajaran portofolio yang membuat AIA terkesan. Meski tahu ibunya bisa menggambar dan melukis dengan baik, tentu Rahman realistis saja menghalau harapan mamanya seorang super jenius bisa jadi seorang Arsitek. Sebagai bocah, ia paham benar semua hal tidaklah instan, Aisha yang mengajarinya demikian. Tapi, kalau keberuntungan –sebagaimana yang dirinya alami kini, itu soal lain lagi.

Into You [F I N]Where stories live. Discover now