Lima Belas: Sumbu Cemburu

2.4K 200 16
                                    


Sudah lewat sebelas malam tapi nyala lampu di lantai teratas gedung perkantoran tersebut tidak meredup. Angin yang berembus kencang membawa gerimis malas-malas yang memercik pada jendela-jendela besarnya. Di dalam, empat orang memasang tampang serius sejak matahari tergelincir. Membahas berbagai hal yang harus segera dijalankan untuk kesusksesan proyek mereka. Asisten-asisten bersliweran baik dengan kertas, perangkat kerja atau malah stelan bersih untuk bersalin atasan masing-masing. Aisha ada di situ, mewakili AR Durlach dalam proyek bersama CorporatE dan Dirdja. Paket konstelasi kedua yang harus segera digelar mumpung orang-orang sedang sibuk mengurusi tawar menawar yang menghindari kemubaziran di lahan buatan wilayah Utara.

Bukan mega proyek hunian kali ini yang disasar Dirdja bersama Durlach dan CorporatE. AR Durlach meminta CorporatE mengeksekusi lahan di leher Jagakarsa dari negara lewat proses negosiasi alot karena berebut dengan naga-naga tua. Peruntukan kawasan industri berikat Jagakarsa menguntungkan untuk 10% saja dialihkan. Naga-naga tua jelas mengincar cluster tersebut sebagai peruntukan hunian kelas pekerja.

Yang begitu itu benar-benar pemikiran konservatif para Tuan Tanah masa lalu, menjual kepada pangsa pasar yang sudah jelas. Menggandeng CorporatE, tidak tanggung-tanggung AR Durlach mengajukan proposal Pembangunan Instalasi Pengelolaan Limbah yang beresiko.

Negeri ini masih gagap tentang visi misi. Salah satu divisi yang membesarkan Durlach adalah divisi Sumber Daya Energi Terbarukannya. Mereka terlibat dengan mega proyek Pemerintah Swedia; mengelola sampah jadi energi listrik. Mereka pemasok infrastruktur proyek ultra hitech Pemerintah Norwegia; Ladang Kincir Angin yang ditanam di Atlantik Utara. Urusan Samsøe Island di Denmark juga mereka terlibat, untuk di sana adalah tenaga Panas Bumi. Jagakarsa akan jadi pilot project mereka untuk pengolahan sampah industri skala besar di regional Asia.

Durlach punya visi misi, tentu saja tidak sekedar muluk menjadikan bumi lebih bersih dengan proyeknya. Konsep industri berwawasan lingkungan yang tetap menguntungkan adalah pakem mereka. Mungkin orang-orang konservatif mencibir, mengatai bunuh diri karena ini Indonesia. Negeri yang terlalu khas dengan tabiatnya. Sayang sekali, harus selalu orang dari luar yang melihat celah menguntungkan. Sederhananya, Durlach melihat kemungkinan mengolah sampah adalah bisnis menguntungkan. Pun para pelaku bisnis konservatif itu. Sayangnya, mereka terlalu culas untuk menyisihkan modal gendut mereka demi bisnis yang idealis. Malas dengan resikonya.

Menyuling air memang sangat mahal, tapi sebetulnya Merkuri yang bisa didapat pastilah bisa menjadi keuntungan yang luar biasa. Kasarnya, menambang dari sampah. Inilah salah satu pertimbangan AR, dengan tujuan memaksa semua pabrik penggelontor limbah menjadikan Durlach konsultan lingkungan mereka. Bagaimana caranya? Untuk itu Dirdja hadir di sini.

"Jaya sudah sempurna dengan mendapatkan situs untuk Instalasi kita. Aku akan perinci setiap hal bersama Madame, besok kita akan bicarakan selepas makan siang. Kuharap Dirdja bersiap, Ay."

Aymard mengangguk sambil mengangkat alis, "Siap, Ai. Cuma, aku pikir salah satu saja dari Pamanku yang membuka pandangan Presiden."

Jaya Emyr menoleh, "Kenapa satu kalau ada dua yang bisa yakinkan Presiden akan manfaat proyek ini?"

Aymard tersenyum simpul, "Nanti mereka akan langsung bergunjing kalau pengkondisian kita terlalu masif."

Jaya Emyr tersenyum juga sekarang, "Yo, masuk akal, Aymard. Benar. Jangan mudah bikin orang bergunjing lah."

Aisha mengangguk, melepas kacamatanya lalu berkata, "Paman kalian yang mana yang lebih didengar Presiden?"

Alaric meregangkan punggung. Dari tadi dia hanya mendengarkan dan manggut-manggut. Atau memijat pelipis saat mendapatkan angka-angka hasil kalkulasi yang besar sekali. Pantas saja Dharma menjuluki rencana proyek ini dengan Super Struktural.

Into You [F I N]Where stories live. Discover now