Limapuluh: Nouvel Argent, Vieil Argent! (*)

740 120 44
                                    



Alaric juga sedang tak bersemangat di awal minggu ini. Tak seperti ibunda, Alaric tahu pasti apa penyebabnya. Tentu saja karena semalam ia menyaksikan Aisha begitu jatuh cinta pada abangnya, Aymard. Semalam, kedua orangtuanya memang tak sama sekali menyatakan persetujuan mereka terhadap hubungan abangnya dengan Aisha. Tetapi, meski demikian, Alaric gemas karena semalam ketidak setujuan kedua orangtuanya tidaklah sebagaimana ia harap. Magdeléne kentara sekali tidak senang akan hubungan mereka, tetapi Dharma tetap hangat meski tidak sama sekali memberi dukungan pada Aymard. Alaric tahu bagaimana ayahnya yang hampir selalu memberi Aymard kesempatan membuktikan diri. Dan Alaric pun yakin kali ini Aymard akan beradu argumen dengan Dharma demi mempertahankan pendiriannya. Mempertahankan perempuan pilihannya. Semenjak kecil, Alaric tahu betapa Aymard akan sangat persuasif dan menjadikan segala hal yang keluar dari mulutnya menjadi logis. Hal yang Alaric tahu tidak ia miliki, dan itu membuatnya kesal sepanjang ingatannya.

Alaric belakangan bukannya tidak sadar kalau ia selalu diutamakan dan didahulukan karena hal-hal lain yang ia pikir kalah nilai dari kemampuan berargumen Aymard. Sungguh ia iri pada abangnya yang bersama Jaya Emyr dijuluki sebagai Midas. Diakui sebagai orang-orang yang menjadikan emas segala yang mereka sentuh, bahkan masalah sekalipun. Alaric selalu teringat Andjani yang kerap berkelakar, bahwa sebagai seorang dengan keberuntungan macam Alaric, seharusnya ia sibuk sedari dulu untuk mempersiapkan diri menangani segala masalah. Tidaklah perlu menjadi macam para Midas, tapi setidaknya belajar mengatasi berbagai masalah. Bukannya sibuk memoles diri untuk menjadi paling mentereng.

"Sebetulnya, lo itu udah mentereng dari lahir. Truly a prince to the bone. Tapi ya itu, malah ga fokus. Lupa buat menjadikan diri lo jadi lebih berkualitas."

Dengarlah Andjani, kembali berkata-kata pedas demi mengomentari level semangat Alaric yang mendekati limit terendah.

"Ini baru Senin pagi, My Dear."

Alaric memandang Andjani yang bersliweran melakukan hal-hal kecil. Belakangan, karena saran Magdeléne, Andjani diminta memberikan sentuhan feminim pada ruang kerja Alaric. Bukannya sejoli ini tak tahu, itu hanyalah upaya Magdeléne untuk menakar selera Andjani. Sekaligus upaya untuk sangat mengakrabkan mereka. Para Tetua dari pihak keluarga Andjani malah memberi Andjani agenda kerja bersama Alaric.

"Mama mertua sekarang lagi menuju Cirata. Harusnya lo juga meluncur ke Rajamandala, ga jauh dari Cirata. Terus, abis itu kita makan siang di Puncak. Di peristirahatan salah satu nenek gue, Maya Suriaderedja. Jangan tanya, gue enggak tau dari garis mana gue jadi cucunya." desis Andjani.

Alaric menyungging senyum geli melihat Andjani yang memutar bola mata berulang sambil membaca agenda mereka. Sejurus ia berpikir, perlukah ia bersyukur karena ternyata Andjani membuat pertunangan korporasi ini tidak terasa terlampau membebani? Alaric harus mengakui, perempuan menyebalkan satu ini justru sangat menyenangkan untuk menjadi seorang teman.

Teman.

"Oh iya, gue hampir lupa Burik. Ini udah bulan Juli, gue punya rutinitas jadi Putri Duyung sepanjang Musim Panas. Jadi, tolong ya, agenda ini kita selesaikan cepat-cepat?"

Alaric mengangguk pada Andjani yang meliriknya tajam sebelum membuka lemari pribadi Alaric.

"Di mana lo biasa jadi Putri Duyung, Ni?"

Andjani bergedik tanpa menoleh, "Tahun ini kita –maksud gue, gue ma temen-temen duyung gue, berencana menyelam sekitaran Gibraltar. Loic Allemagne et Lucien Amadeo bilang siapa tahu bisa nemu harta karun Atlantis. Ada Pilar Hercules di Gibraltar. Seru'kan?" katanya geli.

Into You [F I N]Where stories live. Discover now